Uri, Suatu Hari di Ruang Bersalin

Ravistara
Chapter #18

Kasus Fatal

Baskom di tanganku nyaris terpelanting. Isinya adalah ari-ari yang baru akan kubersihkan. Pasalnya, Bidan Retno meminta sesuatu yang tidak masuk akal dariku. “Tidak perlu kamu donorkan semua,” katanya. “Kamu bisa bilang ke Dok Sam kalau tidak semua pasien setuju untuk donor tali pusat.”

“Maaf, Kak. Aku cuma menjalankan tugas. Lagi pula, aku tidak bisa berjaga setiap waktu.”

“Dasar penjilat!” Bidan Retno mengumpat. “Dibilangin, kok, ngeyel, sih, Hes! Gajimu juga nggak bakal naik walaupun kamu susah payah ngumpulin ari-ari tiap hari.”

Kerutan-kerutan amarah menyebabkan kecantikan Bidan Retno memudar ataukah hanya perasaanku saja? Lapisan bedaknya retak di sana sini hingga kulitnya terlihat tidak mulus seperti mengalami dehidrasi. 

Agar kami berdua tetap waras, aku memutuskan untuk mundur dari perdebatan. Namun, tidak disangka kalau sikapku yang demikian malah diartikan Bidan Retno sebagai pembangkangan. Tangannya bergerak ingin merebut baskom dariku. Rupanya, hanya itu satu-satunya tujuan dalam pikiran Bidan Retno. Dalam pandanganku, tindakannya tak ubah seperti anak kecil yang ingin merebut mainan setelah dilarang oleh orang dewasa.

Aku pun berkeras mempertahankan baskom itu dan perebutan kami baru berakhir setelah seorang mahasiswi Akbid melongokkan kepalanya di kamar sterilisasi. Kebetulan sekali, mahasiswi itu datang di waktu yang tepat. Bidan Retno segera menarik tangannya kembali. 

“Bu Retno?” panggilnya takut-takut. “Dicari Dokter Seno. Sedang ada partus gemelli spontan di bilik 3.” Mau tidak mau, Bidan Retno mengindahkan panggilan mendesak dari PPDS. Sepeninggal mereka, aku bergegas membersihkan ari-ari untuk dikembalikan pada keluarga, lalu menyimpan bagian tali pusat yang akan didonorkan dalam termos pendingin yang nantinya akan diambil oleh petugas bank donor. 

“Mbak.” Suara seorang laki-laki mengejutkanku, lalu kulihat Zul berdiri di depan pintu. “Saya disuruh mengambil tali pusat sama bank donor,” katanya. 

Aku tidak serta-merta percaya. Zul memang loper, termasuk dalam urusan sirkulasi barang, tetapi mengantarkan donor tali pusat bukan tugas sembarangan. Setelah aku berhasil mengonfirmasinya langsung dengan petugas berwenang via telepon, barulah spesimen itu kuserahkan pada Zul dengan pesan tidak boleh dibuka sampai diantar. Zul bersikap berlebihan saat mengiakan dengan wajah berseri. 

Aku pun segera bergabung di ruang tindakan bersama Dokter Seno dan Bidan Retno. Tidak ada dokter muda di sana, tetapi kami juga telah terbiasa akan ketidakhadirannya. Bayi pertama sudah lahir dan sedang dalam penanganan perawat dari ruang bayi. Dokter Seno baru saja selesai memeriksa posisi bayi kedua dengan USG portabel miliknya yang lebih mahal dari harga motorku. Posisi bayi melintang dalam rahim sehingga harus diputar lebih dahulu agar letaknya membujur, lalu bisa masuk ke rongga panggul. Tidak mau mengambil risiko gagal dan berakhir operasi, dia langsung melakukan versi dalam, sementara alat USG sebagai pemandu kini dioperasikan oleh Bidan Retno.

“Dokter sedang berusaha mencari kaki janin dalam rahim, lalu menariknya agar menjadi presentasi bokong.” Aku menjelaskan tentang tindakan Dokter Seno kepada para mahasiswi Akbid yang juga mengikuti proses persalinan. Bilik tidak cukup lebar untuk menampung semua orang, jadi mereka hanya memantau dari ambang pintu. Sementara itu, suami pasien dipersilakan menunggu di luar setelah informed consent. Praktis, hanya nakes berkepentingan termasuk dua orang perawat bayi yang siaga menunggu.

Mereka menahan ekspresi ngeri saat tangan kanan Dokter Sam masuk ke liang vagina pasien.

“Jadi, sengaja dibikin persalinan sungsang, Kak?” tanya seorang mahasiswi dengan kritis. 

“Iya, karena tingkat keberhasilannya lebih tinggi daripada melahirkan kepala.” Ini adalah kesempatan bagus. Jarang-jarang kami menangani persalinan kembar spontan karena biasanya kasus ini langsung dioper ke ruang operasi. 

“Mbak Bidan, oksitosin!” Dokter Seno memberi instruksi begitu berhasil menstabilkan posisi bayi. Aku bergegas masuk lalu bergerak cepat melakukan induksi lewat jalur infus. 

Persalinan kedua dimulai. Ibu diminta mengejan bersama dengan kontraksi rahim yang kembali menguat. Tiga puluh menit kemudian, anak kedua lahir menyusul saudara kembarnya dengan selamat. Aku menyuntikkan oksitosin pada paha ibu dan juga dalam infus. Bidan Retno tampak senang ketika dia diserahi tugas untuk melakukan traksi tali pusat terkendali. Setelah ari-ari lahir, adik-adik mahasiswi mulai mendekat untuk mengamati cara Bidan Retno merawat luka episiotomi dan menjahit perineum yang robek. 

“Ada yang perlu kubantu, Kak?”

“Tidak usah.” Dia menolak tawaranku. Pasien ini juga bukan target program donor tali pusat. Maka, aku tidak perlu terlibat dalam mengurus ari-ari karena Bidan Retno tampaknya juga tidak berniat melimpahkan tugas itu padaku. Seolah dia ingin menyimpan ari-ari itu untuk dirinya sendiri.

Karena tenagaku tidak dibutuhkan lagi di sini, aku pun keluar, lalu melihat Mbak Anna di pintu masuk ruang bersalin. Aku mengenalnya sebagai sekretaris obgin dan dia tergopoh-gopoh mendatangiku. “Mbak, ada bidan yang lowong? Ada invoice asuransi yang mesti ditandatangani Dokter Sam secepatnya. Saya nggak bisa keluar karena ada rencana meeting dengan manajemen. Beliau sedang menghadiri simposium.” Mbak Anna menyebutkan acara di sebuah hotel bintang lima. 

Lihat selengkapnya