Uri, Suatu Hari di Ruang Bersalin

Ravistara
Chapter #19

Fitnah Keji

Ada beban yang menahanku pulang ke rumah. Para bidan senior bahkan turut berjaga hingga Dokter Sam kembali ke ruang bersalin beberapa jam kemudian. Dokter Seno dan Dokter Wibi pun sudah berhasil dihubungi. Mereka muncul dalam kondisi penat dan tertekan. Terlihat dari lingkar dan kantung mata yang membuat mereka sepuluh tahun lebih tua.

“Apa yang kalian kerjakan sampai ada kasus begini? Saya serahkan tanggung jawab ruang bersalin sama kalian, tapi tidak becus! Jika memang tidak sanggup, silakan angkat kaki. Saya tidak butuh orang yang tidak punya etika!” Dokter Sam menggebrak meja hingga terdengar keluar ruangan. Lelaki itu benar-benar marah karena PPDS tidak berada di tempat saat darurat. 

Dokter Seno dan Dokter Wibi tertunduk manakala Dokter Sam bergantian menatap mereka. Bias-bias keberanian memudar menjadi rona pucat di wajah keduanya. Tidak ada alasan logis apa pun yang mampu menghapus kelalaian mereka saat itu. Kasus ruptur uteri hingga berujung pada histerektomi adalah kasus terbesar yang pernah kami jumpai. Hampir-hampir kasus ini tidak bisa ditoleransi karena justru terjadi di fasilitas kesehatan rujukan seperti rumah sakit kami. Beruntung, saat itu Dokter Sam bisa segera datang karena hotel penyelenggara simposium berada tidak jauh dari RS. Pasien masuk ruang operasi tepat waktu. 

Sebuah keberuntungan yang tipis, mengingat rahim pasien mengalami kerobekan di sisi lateral, di mana terdapat banyak pembuluh darah di sana. Repair gagal menghentikan pendarahan yang cepat mengisi rongga perut sehingga satu-satunya pilihan untuk menyelamatkan nyawa ibu adalah dengan mengangkat rahimnya. 

Bayi mengalami hipoksia saat berhasil dilahirkan lewat operasi caesar. Bayi itu kini sedang dirawat intensif di NICU. Kesehatannya masih terombang-ambing karena skor APGAR-nya belum membaik hingga sekarang.

Akan tetapi, kesalahan tidak sepenuhnya ada pada PPDS. Aku yakin. Hanya soal waktu, akan tiba saatnya giliran kami menjalani interogasi dokter Sam. 

“Tidak usah menangis, Mbak. Air matamu tidak ada gunanya.” Kata-kata dokter Sam yang getas menciptakan rengat di hatiku. Aku mungkin takkan pulih untuk waktu yang lama setiap kali mengenang kejadian ini. Memang betul, profesi bidan bukan untuk kaum berhati lemah, tetapi situasi ini mendorong kekuatanku hingga ke ambang yang tak sanggup lagi untuk meregang tanpa terburai.

“Maafkan saya karena waktu itu saya lengah, Dok. Saya sedang mencuci plasenta di belakang, makanya saya tidak tahu saat ada kerabat pasien menyusup masuk, lalu memberi pasien ramuan rumput fatimah."

Ya, inilah keterangan yang berhasil kami gali dari keluarga pasien setelah kejadian. Herbal ini dianggap mampu melancarkan persalinan, tetapi belum ada penelitian yang bisa mengukur khasiatnya secara klinis. Jadi, bukannya membantu, salah-salah berisiko menyebabkan kontraksi berlebihan. Celakanya, saat itu pasien pun sedang diinduksi lewat infus. 

“Tentu saja kelalaian pengawasan ada pada Mbak-mbak sekalian. Saat itu, Mbak Retno dan Mbak Yaya ada di mana?”

“Maaf, saya sedang salat Isya, Dok.” Bidan Cahaya mengaku jujur. Dia memang terkenal suka salat tepat waktu. 

“Haruskah masalah ini dilimpahkan sepenuhnya pada kami, Dok? Keluarga pasien sendiri sudah mengakui kesalahan mereka. Kasus ini tidak bakal terjadi kalau mereka patuh sama aturan RS dan tidak kasih ramuan sembarangan!” Semua pandangan tertuju pada Bidan Retno ketika perempuan itu melemparkan kesalahan pada keluarga pasien.

“Dari laporan, saya dengar Mbak Retno bersikap kasar sama keluarga pasien. Mereka memang salah, tapi tugas kita adalah sebagai nakes, bukan hakim. Penanganan pasien lebih diutamakan. Saya butuh bicara secara pribadi pada Mbak Retno mengenai hal ini.” 

Aku masih ingat betapa marahnya Bidan Retno saat itu. Dia sampai memanggil satpam untuk mengusir si ibu tua. Si satpam juga tidak luput dari amukannya karena kecolongan mengawasi tamu menjelang akhir jam besuk. Bidan Retno dan keluarga pasien akhirnya disuruh keluar kamar agar aku dan Bidan Cahaya bisa bertindak dengan tenang. Mereka lanjut berseteru di lorong hingga sif jaga berikutnya sibuk mendamaikan. 

Secara mengejutkan, Bidan Retno malah menunjuk ke arahku.

Lihat selengkapnya