Situasi setelahnya menjadi sangat tidak kondusif sehingga Dokter Sam menyuruhku pulang dalam kondisi syok. Untuk menghindari keluarga pasien yang marah-marah, aku terpaksa kabur lewat jalan belakang yang gelap dan sepi dekat kamar mayat. Bau busuk pun menyebar begitu aku melintasi area insinerator. Aku bergegas memutar menuju area parkiran depan untuk mengambil motor.
Intinya, aku pulang dalam status buron setelah Emma berhasil mengambilkan tasku dari kamar jaga. Keluarga pasien tidak terima karena yang tersisa dari ari-ari cuma tali pusat yang rencananya akan diserahkan ke bank donor.
Entah bagaimana nasibku kemudian. Setelah dimarahi Ibu habis-habisan karena pulang tengah malam, lalu mengalami night terror, aku terbangun dalam kondisi tidak siap menghadapi dunia. Aku berharap tidak perlu berangkat ke ruang bersalin dengan raga rontok dan mental terganggu, tetapi permintaan izinku tidak digubris oleh Bidan Retno. Aku bahkan ragu pesanku dibaca olehnya karena cuma bertanda centang satu. Bisa saja aku malah kena blokir, tetapi aku tidak berani menelepon untuk memastikan.
Aku sudah menyiapkan pembelaan diri sebaik mungkin. Kalau tidak bersalah, kenapa mesti takut? Aku lebih takut pada caci maki keluarga pasien yang menyayat hati. Maka, tuduhan keji dan tatapan dengki Bidan Retno akan kunikmati saja dalam senyap.
Namun, lutut ini goyah juga tatkala melangkah di lorong yang seolah merentang menjadi dua kali lebih panjang. Entah khayalanku saja atau setiap pasang mata yang kutemui seolah menghakimi. Prasangka buruk itu kian menjadi ketika aku melewati ruang bayi lantas menangkap sosok Jessika yang urung keluar pintu saat melihatku. Aku pun ragu memanggilnya.
Setelahnya, aku baru tahu bahwa catatan dosaku telah menyebar bagai virus ke seantero rumah sakit. Aku dicap sebagai bidan pencuri ari-ari. Aku bisa merasakan pandangan sinis dari mahasiswi-mahasiswi Akbid, rekan-rekan sejawat, keluarga pasien baru yang mungkin tidak tahu apa-apa tentangku, tetapi bisik-bisik itu bergaung mengganggu gendang telingaku.
***
Situasi sekonyong-konyong berubah tatkala Zul datang membawa sebuah kantung plastik, lalu menyerahkannya pada Dokter Seno dan Dokter Wibi yang tengah beraktivitas sediakala. Kami semua menutup hidung saat kantung itu dibuka. Aroma anyir yang busuk merebak memenuhi ruang bersalin.
“Kok tahu ini ari-ari?” tatap Dokter Seno penuh selidik pada si loper. Ari-ari bukanlah benda yang bisa dijumpai di sembarang tempat. Pun, tidak semua orang pernah melihatnya. Sesaat, kecurigaan mereka berpindah dariku ke Zul.
Zul memungkas dengan tenang. “Saya tahu karena sering melihat bidan-bidan di sini membersihkan ari-ari di kamar steril. Kadang, saya juga bantu membungkusnya sebelum diserahkan ke keluarga pasien.” Zul memang loper rumah sakit teladan.
“Memangnya, Mas nemu ini di mana?” Dokter Seno agaknya belum puas. Keterangan dari Zul pun terdengar miris dan membuat citraku berkali lipat lebih jahat.
“Di tong sampah dekat kamar mayat. Untung belum sempat diangkut ke insinerator atau dibongkar kucing liar.” Dan, menjadi ari-ari panggang atau nutrisi gratisan bagi anabul.
“Malam tadi dia lewat sana, ‘kan? Mungkin saja disimpan Hesty dalam tas, lalu dibuang untuk menghilangkan bukti.” Tuduhan berseri dari Bidan Retno berhasil merunyamkan suasana. Mataku memanas begitu menyadari perkataannya terdengar masuk akal dan memberatkan posisiku sedemikian rupa.
“Maaf, aku masih waras, Kak. Aku belum pikun sampai lupa menyimpan ari-ari itu di mana. Buktinya, termos isi tali pusat masih ada, ‘kan? Pasti ada orang iseng yang mau pansos lewat kasus ini atau mungkin mengalihkan isu kepadaku.”
Aku mestinya pintar membaca situasi ketika wajah Bidan Retno memerah. Aku bisa saja membalikkan tuduhannya seperti bumerang. Namun, dia berkilah dengan klise. “Aku sudah bilang kalau kamu nggak bakal becus mengurus program baru sampai kejadian begini. Nggak usah sok-sokan nggak mau dibantu. Kamu sendiri yang ngeyel, Hes.”
“Sudah, sudah.” Dokter Wibi melerai. “Ari-arinya sudah ketemu, Bu. Itu yang penting. Masalah sekarang clear. Ayo, kita kembalikan sekarang sama keluarga pasien. Kita kemas dengan rapi dulu, Mbak Hesty.”
Berbanding terbalik dengan pembawaan Dokter Seno yang mendadak apatis, Dokter Wibi seketika menjadi pahlawanku. Dia mengajakku menyisih dari kerumunan, lalu mencarikan kotak kardus dan mengemas plasenta itu dengan rapi sebelum diantarkan pada keluarga di ruang nifas.
Sejenak, aku tergerak oleh kebaikan hatinya. Namun, rupanya itu hanya ilusi belaka. Dokter Wibi menjadikan momen penyerahan tersebut sebagai pencitraan. Dia meminta maaf karena lalai mengawasi hingga terjadi kasus memalukan seperti ini di ruang bersalin. Sikapnya berlebihan. Urusan ari-ari bukan tanggung jawab PPDS, tetapi karena yang bicara adalah dokter yang sempat menangani persalinan pasien, maka mereka percaya.
Aku terlihat bagai pengecut di sisi Dokter Wibi yang tanggap situasi. Rekorku sudah telanjur buruk di mata suami pasien walaupun aku meminta maaf atau bersujud ribuan kali. Kesalahpahaman ini telah membunuh citraku dengan kejam.