Ketika aku pulang, Ibu sedang memindahkan panci-panci besar berisi sisa kuah ketupat kandangan dan lauk masak habang dari warung ke dalam rumah. Tempat ibu biasa menjajakan kuliner khas banjar itu kini sudah rapi. Etalase tunggalnya sudah ditutup dengan kain bekas reklame. Tidak ada daun pintu dan hanya tersedia dua bangku panjang menghadap ke arah jendela berterali kawat. Penampilannya pun tidak berubah sejak dulu. Bagi Ibu, estetika bukan faktor utama untuk menggenjot omzet, melainkan cita rasa. Terbukti, warung kami tetap konstan berjualan dan laris manis sampai sekarang.
Begitu pula perutku, tiada bosan merasakan masakan itu-itu saja. Malah bisa dibilang aku cukup beruntung karena bisa menjajal kuliner andalan Kalimantan Selatan ini tiap hari. Aku juga beruntung karena bisa memenuhi kotak bekal dengan isi yang lebih enak daripada menu rumah sakit. Favoritku adalah masak habang, terutama lauk hati berikut jeroannya. Namun, aku mendadak merasa mual tatkala membuka tutup panci hingga tercium aroma gurih yang kuat. Warnanya merah pekat. Aku membayangkan, jika ari-ari ditumis dalam sambal merah, kira-kira beginilah penampakannya.
“Kamu kenapa?” Ibu meletakkan panci terakhir di atas kompor, lalu memandang curiga padaku yang malah terpaku di depan meja dapur. Sepertinya, ekspresi mual terpancar jelas dari wajahku.
“Ada lauk lain, Bu?” tanyaku enggan. Ibu pun mengernyit.
“Cuma sisa itu. Biasanya kamu nggak cerewet mau makan apa. Aneh!”
Aku meneguk ludah karena sedang kehilangan selera total. Semua masalah rumah sakit seolah berkumpul dalam rongga perutku dan mendesak asam lambungku keluar. Susah payah aku berusaha agar tidak muntah. “Hesty istirahat dulu, Bu. Nggak enak badan.”
“Ya, itulah jadinya kalau suka pulang larut malam. Apa kata orang? Anak gadis, kok, kelayapan. Kamu kerja apa, sih, Hes? PNS aja nggak segitu repotnya kayak kamu, lembur tiap hari.”
Kata-kata Ibu menusuk ego sekaligus hatiku. Namun, aku tidak berminat membela diri karena posisiku akan makin bersalah di matanya. Jadi anak tidak boleh banyak membantah.
Alhasil, aku kemudian malah bolak-balik gelisah di tempat tidur. Gagal bertemu Jessika untuk curhat rasanya sungguh merongrong jiwa. Aku lantas mengetik pesan singkat dan bercerita soal perlakuan tidak menyenangkan Yusuf siang tadi. Namun, perbuatan itu berujung menambah beban pikiran. Cukup lama aku mengirimkan pesan, tetapi Jessika sama sekali belum membacanya.
Hingga satu jam kemudian, aku bangkit salat Asar. Badanku masih jauh dari rasa segar karena pikiran yang melantur ke mana-mana. Aku memikirkan sebuah ide brilian yang mestinya kulakukan sejak awal. Aku menunggu momen yang tepat untuk kabur saat situasi rumah hening. Sekejap saja, aku sudah duduk di atas motor yang melaju menuju pusat kota.
***
Aku sedang berada di ruang tunggu praktik Dokter Sam. Dari balik pintu yang terbuka, aku bisa melihat isi ruangan itu dengan jelas. Tata ruangnya sungguh apik. Di seberang pintu, pasien akan disambut oleh meja berlapis kaca hitam mengilap dengan kursi gelap senada; ada vas bunga besar warna gading mengapit yang isinya adalah tanaman gandum sintetis, sehingga perpaduan warnanya memberikan kesan mewah sekaligus hangat. Sisanya sama seperti fasilitas praktik obgin lain, tetapi ada tambahan layar televisi datar berukuran sekitar 30 inci yang ditempel di sisi atas ranjang pemeriksaan.