Uri, Suatu Hari di Ruang Bersalin

Ravistara
Chapter #22

Saksi Mata

Aku dan Ibu sedang duduk berhadapan di tepi ranjang. Setelah fase diam yang lama, akhirnya Ibu buka suara.

“Sudahlah, kamu berhenti saja.” Aku terkejut mendengar permintaan beliau. Susah payah kuliah nyaris enam tahun, bahkan mempertaruhkan nyawa di masa pandemi, masa aku harus mengundurkan diri?

“Hesty bisa kena denda berhenti di tengah kontrak, Bu. Malah bikin masalah,” ujarku tidak rela. Aku memang anak berbakti, tetapi juga tahu diri. Aku yakin, Ibu pasti takkan sudi membantu secara finansial jika aku sampai jatuh bangkrut.

“Kamu, 'kan, bisa buka praktik di rumah?”

Tidak semudah itu. Banyak persyaratan administrasi yang mesti kupenuhi, termasuk surat rekomendasi yang mungkin tidak bakal kudapat dengan mudah. Biaya pengadaan alat praktik pun tidak murah dan setara dengan uang muka beli rumah. 

“Hesty, kamu mau ke mana?” protes Ibu karena aku pergi saat pembicaraan belum selesai.

“Mandi dulu biar segar, Bu.” Aku berkilah. Namun, baru saja aku masuk kamar mandi, terdengar ketukan beruntun di pintu. Aku pun keluar dengan ekspresi terganggu. Ibu langsung menarikku.

“Ada tamu cari kamu,” kata beliau membungkam protesku. Tumben, jarang-jarang ada yang mencariku ke rumah. Sebelum aku bertanya lagi, Ibu mengajak aku mengintip lewat tirai penghalang antara ruang tamu dan tengah. Aku lantas membulatkan mata tidak percaya ketika tahu siapa yang datang. Buru-buru aku meminjam kerudung yang dipakai oleh Ibu–darurat–lalu keluar menemui tamu tadi.

“Jessika?” Aku menyapa. Dia sedang duduk di sofa bersama calon suaminya. Jessika pun langsung berdiri, lalu menghambur memelukku.

“Kamu tahu rumah aku dari mana?” Aku keheranan. 

“Kamu pernah cerita kalau Ibumu punya warung nasi bungkus deket sini, jadi aku bisa cari tahu. Nanya-nanya juga tadi sama tetangga kamu, mana warungnya Hesty, si bidan. Kamu yang nggak pernah ajak aku ke rumahmu. Pasti nggak mau traktir aku nasi bungkus.”

“Oalah.” Aku mengguncang tangan Jessika gemas. “Mana aku tahu kamu doyan nasi bungkus? Aku pikir, perut kamu cuma terima makanan mal.”

“Ngawur!” Jessika tersenyum masam. “Aku terima semua. Apalagi gratisan. Sudah, sudah. Bukan itu yang mau aku bahas sampai datang kemari.” Dia buru-buru minta dibikinkan teh sama Ibu sebelum ditawari. Meskipun tersenyum menanggapi, aku tahu kalau Ibu pasti terkejut melihat tingkah laku Jessika yang blak-blakan. Semoga Ibu tidak tersinggung.

***

Jessika membawa kabar bahwa kedua madu Bidan Retno sama-sama sedang hamil muda. Pantas saja sikap seniorku jadi aneh. Namun, aku bingung kenapa Bidan Retno malah melampiaskan cemburu buta padaku? 

“Maaf, aku nggak bisa bantu kamu di rumah sakit. Bojo minta aku fokus sama rencana pernikahan kami yang tinggal dua minggu.” Jessika melirik calon suaminya yang sedang duduk sendiri di pojok sofa. 

Aku paham posisi Jessika, maka aku pun tidak menuntut banyak darinya. Dia telah memberi informasi kunci yang berharga. Aku terharu karena sahabatku ternyata masih peduli akan nasibku.

“Aku juga sudah minta bantuan Dok Sam untuk menegur Bidan Retno, tapi dia menolak. Aku yang harus minta maaf dan mengakui kasus ari-ari itu sepenuhnya tanggung jawabku.”

Jessika geleng-geleng kepala. “Sudah jelas sumber keributan ini dari Bidan Retno yang main tuduh sembarangan. Jadi, pelaku sebenarnya belum ketemu sampai sekarang?” 

Aku mengangkat bahu putus asa. 

Lihat selengkapnya