Uri, Suatu Hari di Ruang Bersalin

Ravistara
Chapter #23

Kode Keras

“Bagaimana Mas bisa tahu?”

Zul tersenyum karena berhasil menarik perhatianku sepenuhnya. Di mataku, senyumnya itu tampak bebahaya, tetapi aku tidak bisa menjelaskan kenapa. 

“Kalau Mbak mau tahu, ikut saya.” Zul berbelok mendorong troli ke arah selasar kosong yang belum ditempati. Dia berhenti di sudut yang agak tersembunyi di balik sebuah tiang besar. 

“Mari, Mbak.” Dia berbalik untuk memberi isyarat dengan gerakan kepala. Duh, sikapnya amat mencurigakan. Tanganku meremas tali tas dengan gelisah karena ragu memenuhi ajakan itu, tetapi aku sungguh membutuhkan informasi apa pun yang dia punya jikalau itu memang bisa membantu. 

Akhirnya, tubuhku mengalah pada keinginanku. Aku menyusul Zul dengan langkah pelan dan takut-takut. Rupa-rupanya, dia bisa membaca kegelisahanku dan berusaha meyakinkan dengan lebih sabar, “Saya nggak bakal macam-macam, kok.” 

Aku merutuk kenapa harus kalah mental dari pekerja rumah sakit satu ini? Apa karena rambut jabriknya yang tampak tidak ramah? Apa karena penampilannya yang membuatku insecure kalau-kalau dia adalah residivis yang menyamar?

Sebelum pikiranku beranak ke mana-mana, lebih baik kueksekusi saja. Sudah sejauh ini, aku harus memperoleh informasi dari Zul. Aku pun nyaris lari di luar kendali ketika Zul merogoh sesuatu dari kantung celana. Ternyata itu adalah gawai model terbaru yang lebih berkilau daripada milikku. Berapa, sih, gaji dia sebulan?

“Saya mengimpan semua bukti dalam sini. Silakan lihat, Mbak.” Zul menyodorkan gawainya padaku. Dengan penasaran, aku memutar video yang terpampang di sana. Video itu diambil dalam suasana gelap, sumber pencahayaannya hanya berasal dari lampu yang menerangi lorong rumah sakit, tetapi aku masih bisa mengenali perempuan dengan rambut dicepol sedang melempar kantung plastik hitam ke dalam tong sampah besar berdinding semen, tetapi lemparannya luput dan keresek malah terpental ke samping. Namun, perempuan itu seakan tidak peduli dan lekas berbalik pergi dengan terburu-buru seolah dikejar hantu. Kantung plastik itulah yang kemudian diserahkan Zul pada kami.

Hatiku sesak setelah menonton, tetapi aku tidak menyesal karena jadi tahu apa yang dilakukan oleh Bidan Retno di belakangku. Aku menatap Zul dengan pandangan penuh terima kasih. Video ini bisa menyelamatkanku.

“Kamu mau bantu aku bersaksi dengan video ini?” pintaku penuh harap. Serta-merta Zul mengambil gawainya dariku. Dengan berat, aku relakan benda itu berpindah ke tangan pemiliknya. Perasaanku berdebar aneh ketika melihat senyum ganjil di wajah Zul.

“Ini tidak gratis. Ada syarat yang harus Mbak Hesty penuhi.”

Jantungku rasanya berdentam tidak keruan. Ternyata, tidak semudah itu Zul menyerahkan barang bukti berharga yang aku butuhkan. 

“Berapa Mas jual? Aku akan bayar,” tekadku. 

Zul menggeleng. “Bukan dengan uang, tetapi perjanjian.” Sepasang matanya menyorot tajam hingga menimbulkan perasaan tidak nyaman. Firasat jelek menghinggapi hatiku.

“Mbak Hesty mau jalan denganku dan jadi pacarku.”

Innalillahi. Bagai disambar geledek, aku syok dan tidak mampu bereaksi untuk sesaat. Tubuhku serasa oleng lantas ditelan bumi. Aku teringat lagi pada perlakuan serupa dari Yusuf tempo hari. Duniaku ternyata dikelilingi oleh para lelaki penuh tipu daya.

“Ka-kalau aku enggak mau?” tanyaku gugup. 

“Video ini akan saya hapus.”

Tidak, tidak. Aku mengatupkan gigi dengan marah. Aku tidak boleh memenuhi keinginan Zul yang keterlaluan. Aku bahkan tidak berminat ingin menanyakan alasan di baliknya. Aku beranjak meninggalkan si loper.

“Mbak Hesty!” Zul menyusul, lalu mengadang langkahku hingga aku buru-buru mengerem agar tidak berakhir ke dalam pelukannya.

“Minggir!” Aku membentaknya dengan perasaan terluka. Awalnya, dia tidak bersedia menyingkir sedikit pun, tetapi gerakan refleks memeluk lenganku sendiri sebagai upaya untuk bertahan, membuat Zul jadi canggung. Aku memperlakukannya seperti penjahat mesum yang pantas dijauhi lantaran berpenyakit menular.

Zul berupaya membujukku. “Mbak Hesty jangan buru-buru menolak. Coba pikirkan baik-baik. Aku akan menunggu.” Dia mulai berani berkata “aku”.

Konyol! Tentu saja aku tidak mau. Siapa yang sudi menukar harga diri dengan sebuah barang bukti? Kisah hidupku bukan film atau sinetron picisan, ya.

Lihat selengkapnya