Jodoh adalah bagian misteri dalam hidup. Kendati aku sadar bahwa usiaku makin bertambah, tetapi bukan berarti aku serampangan saja menerima setiap lelaki yang berusaha mendekat. Sudah kubilang di awal, jika aku harus memilih seorang pendamping, maka aku punya kriteria sendiri. Ibu tidak boleh main seenaknya menyodorkan aku pada lelaki asing.
Alhasil, pembicaraan pun berakhir debat. Sekalipun Ibu membeberkan segudang prestasi yang dimiliki oleh lelaki itu, pendirianku tidak goyah. Aku tidak ingin dijodohkan–dalam kondisi terjepit, pula. Aku cukup belajar dari sekitar bahwa pernikahan bukanlah jawaban, tetapi sebaliknya. Contoh saja Pak Gun, dia menikahi dua perempuan selain Bidan Retno untuk memiliki keturunan. Apakah itu menyelesaikan masalah? Tidak. Istrinya malah menjadi sumber bencana bagi perempuan lain.
Aku, aku yang jadi korbannya!
Pada keesokan hari, aku bertekad untuk menghadapi masalah secara langsung. Aku tidak ingin terus bersembunyi seperti tikus terjepit di lubang, sebuah perumpamaan yang menyedihkan.
Bidan Retno tampak tidak suka ketika aku menampakkan diri di hadapannya, apalagi saat aku berusaha mengajaknya berbicara dari hati ke hati. Sebagai sesama bidan dan perempuan. Semua orang merasa risi dan menyisih tatkala interaksi kami kian tegang siap berperang. Situasi ini bagiku mengalahkan rasa mual dan begah akibat sembelit berhari-hari.
“Aku tahu rahasia Kak Retno.”
Dia terperanjat mendengar tuduhanku. Lebih-lebih saat kuceritakan tentang rekayasanya mengenai ari-ari yang hilang.
“Kamu nggak punya bukti.” Dia berkilah meski ada nada keraguan dalam volume suaranya yang merendah. Selain itu, aku bisa melihat jejaknya semakin jelas pada otot-otot rahang Bidan Retno yang mengeras. Bola matanya seakan ingin melompat menerkam.
Aku mendengkus tajam. “Malam itu, Kak Retno keluar dari VK, ‘kan? Aku sama Kak Yaya saksinya. Kak Retno bahkan memanfaatkan situasi darurat di saat kami sedang lengah untuk beraksi.”
“Kamu nggak usah ngarang, Hes. Semuanya sudah diklarifikasi di depan Dokter Sam. Aku sedang jajan ke depan.”
“Tapi, sebelumnya Kak Retno pasti ke belakang dulu. Aku sudah hafal rumah sakit ini. Kak Retno mungkin punya seribu cara untuk berdusta, tapi alibi Kak Retno yang paling lemah. Dok Sam pasti sadar, tinggal menunggu waktu sampai Kak Retno terbukti bersalah.”
“Cukup! Sekali lagi kamu ngomong gitu, aku nggak tanggung jawab!” Dia maju menggertak tiba-tiba sehingga kakiku refleks melangkah mundur. Sampai di situ, Bidan Retno pun masih belum puas mencaci. “Dasar anak kemarin sore, berani sekali kamu menantangku, heh?”