Dokter Sam sama saja dengan Bidan Retno. Mereka sepaket, jadi aku tidak bisa mengandalkan lelaki itu. Aku tahu siapa yang bisa, meskipun pilihan ini berisiko tinggi. Namun, rasanya patut dicoba. Aku bahkan tidak perlu meminta pendapat Jessika lebih dulu. Apalagi Ibu.
Tatkala menatap pintu di hadapan yang tertutup rapat, hatiku sempat mencelus. Menurut kabar yang aku dengar, sosok ini memang jarang di tempat. Selain menjabat posisi struktural, dia juga mengabdi di Poli Penyakit Dalam. Namun, tidak ada salahnya dicoba, bukan?
Butuh keberanian setebal baja bagiku untuk mengetuk pintu itu. Belum lagi rasa malu jika kehadiranku dianggap mengganggu. Seluruh tekanan itu pun membeku ketika seorang perempuan berwajah kaku menyambutku. Sosoknya amat terkenal di kalangan rumah sakit. Di mata orang-orang, perempuan ini tidak punya toleransi terhadap siapa pun. Dokter senior sekalipun. Apalagi aku yang cuma berstatus tenaga kerja kontrak.
“Ada apa?” tanyanya tanpa basa-basi dengan alis berkerut hingga membuatku terintimidasi. Sikapnya mengingatkanku akan Bidan Retno.
“Permisi, Mbak. Saya ingin bertemu Pak Direktur. Apakah Beliau sedang ada di tempat?”
“Ada kepentingan apa?” tukasnya ketus. Mungkin dia berharap aku berubah pikiran dalam situasi normal. Namun, harapannya tidak akan terkabul.
“Urusan rumah sakit, Mbak. Penting.”
Kerutan di wajah perempuan itu kian menjadi. Tatapannya menyusuri sosokku dari atas hingga bawah. Alasanku mungkin terdengar mengada-ada dan agak memaksa. Sungguh, aku tidak peduli. Aku hanya ingin bertemu direktur dan berharap solusi bijak meskipun peluangnya tipis.
“Dari SMF mana?” tanyanya lagi sambil mencari nametag di seragamku.
“Obgin, Mbak. Saya bekerja di VK.” Ya, tadinya, posisi yang masih ingin kuperjuangkan di titik ini.
“Bidan?”
Aku mengangguk, sedangkan perempuan itu langsung menggeleng seraya memegangi pangkal hidungnya yang kini mungkin terasa sakit.
“Sudah bicara dengan kepala SMF–siapa itu?” Aku yakin dia hanya berpura-pura lupa.
“Dokter Samudra.”
“Ya!”
Lantas kujelaskan bahwa tindakanku di luar pengetahuan atasanku. Meskipun perempuan itu bersikeras bahwa bukan kapasitasku untuk menghadap langsung ke direktur, tetapi niatku tidak kandas. Kami bersilang pendapat untuk waktu yang tidak sebentar. Aku berusaha meyakinkan bahwa dia hanya beruntung berada di posisi yang lumayan. Selebihnya, kami sama-sama tenaga kontrak di rumah sakit ini, tetapi berbeda profesi. Kemudian, lisannya mendadak terkunci. Begitu pula arah pandangnya. Aku pun menoleh ke belakang. Sosok yang kutunggu-tunggu sudah berdiri di sana.
“Ada apa ini, Mbak-Mbak? Kenapa mengobrol di sini?” tanya sang direktur ramah. Rambut setengah beruban membingkai wajah perseginya yang memancarkan ketenangan.
“Tidak apa-apa, Dok. Hanya persoalan kecil SMF.”
Reaksi menyepelekan sang sekretaris tampaknya disengaja. Perempuan itu sedang berusaha mengendalikan keadaan.
“Betul?” selidik lelaki di hadapan kami dengan sikap yang mulai serius. Aku pun tersenyum kecil. “Perkenalkan, Dok. Nama saya Hesty, bidan VK yang dituduh kuyang oleh satu rumah sakit.”
Jawaban lugasku membuat sang direktur dan sekretarisnya menahan napas. Terutama perempuan itu. Kenekatanku membuat tindakan antisipasinya berantakan. Dia segera membuat jarak seolah-olah takut terkena virus menular dariku.
“Oh, anak buahnya Dokter Sam?” Direktur menodong dan langsung kujawab dengan anggukan tegas. Ketika lelaki itu mempersilakan aku masuk dan duduk agar kami bisa berbicara dengan tenang, sang sekretaris menyingkir ke mejanya. Namun, aku yakin kupingnya pasti tetap bekerja dengan baik untuk menyimak. Semoga dia bukan mata-mata Bidan Retno.
“Mbak, tolong pesankan saya kopi atau teh dingin. Panas betul tadi di prodi. AC-nya rusak.” Pak Direktur menyuruh sekretarisnya. Perempuan itu sempat mendelik ketika aku juga ditawari minum, tetapi aku tolak dengan alasan tidak akan berlama-lama. Satu-satunya yang bisa melegakan perasaanku sekarang hanyalah didengarkan.
Setelah diberi izin oleh beliau, maka aku pun mengutarakan ketidakadilan yang telah kuterima. Hanya itu. Aku tidak melontarkan tuduhan pada Bidan Retno ataupun permasalahan pribadi Dokter Sam. Aku hanya bicara seperlunya dan tidak berusaha membangun opini tentang orang-orang yang telah menjerumuskanku.
“Jadi, tuntutan apa yang Mbak ajukan dalam masalah ini?” Aku menghela napas lega. Kabar bahwa direktur kami adalah sosok bijaksana memang bukan isapan jempol. Dengan sabar, beliau bahkan menyimak keinginanku.
“Saya hanya meminta diperlakukan adil sebagaimana sesama manusia, Dokter. Sebagai manusia yang punya harkat dan martabat untuk membela diri karena saya yakin bahwa saya tidak salah.”
Sang direktur mengangguk-angguk setelah mendengar perkataanku. Sudah kuungkapkan segala hal yang mengendap dalam benak. Dia langsung menghubungi Dokter Samudra. “Bisa langsung datang ke ruangan saya?” pintanya. Dia mungkin melihat kekhawatiran di wajahku dan berkata secara tidak langsung di telepon. “Saya hanya ingin meluruskan beberapa hal terkait hoaks yang tersebar di rumah sakit.”
Aku mencoba untuk tidak menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh Dokter Sam untuk sampai ke ruangan direktur. Aku hanya mencoba berfokus pada nasibku yang tidak menentu. Sang sekretaris membukakan pintu dan menyambut lelaki itu dengan keramahan yang tidak kuperoleh sebelumnya. Lantai yang kupijak pun seakan meleleh kala tatapanku bertentangan dengan milik Dokter Sam. Aku sadar telah mengumpankan diri ke dalam masalah.