“Permisi, Bu Bidan. Infus kamar sepuluh katanya habis.”
Meskipun kondisiku sedang suntuk, aku memaksakan diri tersenyum pada lelaki yang barusan melapor ke kamar jaga. Makin santai dari rutinitas padat yang biasanya kujalani di ruang bersalin, ternyata membuat otakku jadi lembek, melempem, dan haus akan keseruan tindakan. Penampilanku pasti kelihatan bagai pertapa yang merenung sekian abad sehingga dipanggil “Ibu Bidan” oleh pasien. Padahal, baru beberapa minggu aku pindah ke ruang rawat inap.
Bergegas aku mengikuti lelaki itu, lalu mengganti botol infus yang sudah nyaris mencapai tetesan terakhir. Seorang ibu hamil menjelang akhir trimester kedua berbaring gelisah di ranjang perawatan. Aku mengernyit melihat posisi telentang si ibu yang alih-alih tampak lega, tetapi malah membuat dia megap-megap.
Seketika aku merasa posisi tubuhnya agak kurang nyaman. Aku menepuk-nepuk si ibu, lalu dia membuka mata dengan wajah pucat dan lemas. Dia mengeluh pegal sambil tangannya meraba-raba ke balik punggung.
“Mari, sini saya bantu, Bu aku bergegas menolongnya untuk berguling ke samping. Dia bergerak susah payah seraya terengah menyangga perut dan separuh badan bagian atas. Pasien ini datang dengan keluhan plasenta letak rendah yang secara medis disebut plasenta previa. Dia dirawat inap untuk observasi dan tirah baring karena sempat mengalami perdarahan per vaginam. Dalam kasus ini, dokter berusaha mempertahankan kehamilan selama mungkin sampai janin siap dilahirkan. Tinggal kepatuhan ibu dan keluarganya agar pasien bisa beristirahat total selama masa penantian.
Rupanya, ibu ini sudah mulai bosan bolak-balik di ranjang. Posisi tidurnya pun mulai kacau.
“Posisinya sudah enakan, Bu?” tanyaku penuh empati karena melihat tanda-tanda kelelahan yang sangat di wajahnya.
“Sekarang pusing, Mbak,” keluhnya berganti. Aku langsung bergegas mencari pengukur tensi digital. Tekanan darahnya memang rendah, lalu kuperhatikan juga konjungtiva ibu itu tampak pucat.
“Saya periksa pembalut dan perut Ibu, ya.” Aku berbicara sambil memasangkan selang oksigen padanya. Tanda-tanda preeklamsia memang tidak ada, tetapi aku khawatir kalau dia kembali mengalami perdarahan seperti waktu datang ke sini pertama kali. Namun, pembalutnya juga bersih. Tidak ada bercak darah.
“Bayinya masih sering bergerak, Bu?” Aku mencoba mencari detak jantung janin pada bagian bawah perut ibu–posisi yang lumrah pada kasus plasenta previa. Aku tersentak ketika menyadari kecepatan detak yang kudengar di atas normal. Aku takut terjadi komplikasi akibat sindrom aortocaval–gangguan pada ibu hamil yang pernah dijelaskan oleh Bidan Retno dahulu. Setelah mewanti-wanti pasien agar tetap berbaring miring ke kiri, aku pun bergegas ke nurse station dan menghubungi ruang bersalin, lalu menanyakan residen yang bertugas hari itu.
Emma yang menerima laporan. Dia menganggap aku mengigau karena melaporkan ada kasus indikasi gawat janin dari ruang rawat inap yang butuh tindakan segera. Untunglah, kemudian Dokter Wibi menanggapi dengan baik, meskipun pada awalnya dia berpendapat bahwa aku mungkin saja telah berlebihan menegakkan diagnosis. Dokter Wibi sampai datang sendiri untuk memeriksa kondisi pasien, selagi ruang operasi bersiap-siap.
Di malam menegangkan itu, janin berhasil diselamatkan, meskipun butuh perawatan intensif di inkubator karena lahir prematur. Sementara itu, si ibu kembali ke ruang nifas untuk pemulihan pascaoperasi dan perdarahan pascasalin.
Aku melupakan kasus itu untuk beberapa saat sampai suatu hari, Bidan Retno terlihat memasuki area ruang rawat inap. Jantungku sempat berdegup kencang karena berpapasan dengan senior yang pernah menjadi rivalku dulu.
Kejutan tidak berhenti sampai di situ. Aku kemudian mengetahui bahwa pasien pasca-op akibat plasenta previa tempo hari adalah saudari Bidan Retno. Tidak disangka, rentang usia mereka cukup jauh, meskipun cukup masuk akal karena pasien termasuk kelompok risiko tinggi alias di atas 35. Wajah keduanya juga tidak ada mirip-miripnya. Entah aku lantas bersyukur karena pasien itu selamat ataukah telah terbebas dari masalah dengan Bidan Retno karenanya. Aku tidak mampu membayangkan andaikata kami kecolongan dalam kasus kemarin. Bukan hanya aku yang akan merasa bersalah pada keluarga pasien, tetapi juga bakal bermasalah dengan Bidan Retno.
Syukurlah, Tuhan amat bermurah hati kepadaku.
***
Saya tunggu di Hotel Borneo petang ini.
Notifikasi yang muncul di bagian atas layar tampak singkat dan padat. Namun, aku kecut ketika tahu siapa pengirimnya. Jelas tidak bisa kubantah. Aku menghela pasrah. Di antara kelakuan Dokter Sam, ini termasuk salah satu yang paling absurd. Tiada angin atau hujan, dia mengundangku makan malam di sebuah hotel yang lokasinya berada di puncak mal. Tempat hiburan kelas atas yang pernah kurekomendasikan pada Dokter Wibi dahulu.
Ingin rasanya kuabaikan undangan itu. Aku bisa berpura-pura tidak membacanya, lalu meminta maaf lain waktu. Tapi, siapalah aku? Menolaknya sama saja dengan mencari masalah di kemudian hari.
Ketika pelayan mengantarkan aku ke meja Dokter Sam, aku sendiri belum punya gambaran tentang tujuannya mengundangku. Aku duduk dengan canggung, sementara lelaki di hadapanku dengan santainya bersilang kaki. Ruang restoran yang begitu mewah dan mirip ballroom pun membuatku makin gugup karena merasa seperti Upik Abu tersesat di istana kerajaan.
“Santai, Mbak Hesty. Saya mau traktir dinner, bukan mau makan Mbak.” Dokter Sam menyeringai saat aku tersenyum kecut menanggapi guyonannya yang ambigu. “Sebetulnya, bukan saya yang bermaksud mengundang Mbak kemari, tapi Bidan Retno.”