“Baru tiga bulan lahiran, sudah isi. Si Lala ini memang enggak kapok bikin anak, ya? Kita yang ketiban repotnya!”
Bidan Retno mengomel tatkala membaca sebuah buku pink berisi pantauan kehamilan pasien lama kami. Waktu setahun nyatanya tidak mampu melunakkan lidah tajamnya. Mungkin, aku yang terlampau naif mengharapkan Bidan Retno berubah menjadi selembut ibu peri. Bidan Retno tetaplah Bidan Retno, meskipun versi barunya kini jauh lebih bersahabat terhadapku.
“Namanya juga masih muda, Kak. Masih energik. Enggak ada salahnya kalau Lala mau tambah anak biar sekalian capeknya.
“Pasti dia nempel ke lakinya mulu. Kesuburan cewek gatel memang di atas normal!”
Entah dia marah pada siapa. Sepertinya, suasana hati Bidan Retno sedang tidak kondusif lantaran kebahagiaan sedang menghampiri Lala dan para istri muda suaminya. Diam-diam, seniorku pasti juga ingin dapat momongan seperti mereka. Kasihan, dia.
“Siklus haid Kakak lancar? Belakangan ini, Kakak sering betul kena PMS.”
“Kamu mau bilang aku dekat menopause?” Sepasang matanya membulat galak.
Duh, aku salah bicara.
“Ya sudah, kamu nggak dapat lumpur surga gratis hari ini.” Bidan Retno baru pulang dari luar kota dan membawa oleh-oleh ke ruang bersalin. Aku terpaksa menelan ludah. Sabar ….
“Permisi, Bu Bidan. Istri saya mau melahirkan, tolong dibantu.”
Saking serunya berdebat, kami sampai tidak menyadari kedatangan pasien baru. Karena emosi Bidan Retno sedang tidak stabil karena harus mengirim Lala kembali ke ruang operasi, lebih baik aku saja yang turun tangan.
“Iya, P–” Namun, otot-otot mulutku membeku ketika melihat sosok suami pasien. Begitu pun lelaki itu. Matanya terbuka lebar seakan tidak percaya.
“Hesty, kok malah bengong?” Bidan Retno menepuk punggung tanganku dengan gemas. Beruntung, Bidan Retno bukan tipe yang sensitif akan situasi dan perasaan orang.
***
“Hes, kamu kerja di sini?”
Aku tidak menyangka dia berani menemuiku di meja jaga, mencuri kesempatan saat mengurus administrasi yang harus diserahkan ke loket pembayaran rumah sakit. Padahal, dia baru saja memiliki seorang bayi perempuan yang cantik dan aku tadi yang menolong persalinan istrinya. Aku mencoba berprasangka baik.
“Iya.” Aku melirik seragam militer yang dia kenakan sekilas. Sungguh pas di badannya yang kian gagah dan sanggup membuat kaum hawa meneguk ludah. Tanpa perlu bertanya, aku tahu sekarang dia adalah bagian dari angkatan bersenjata. Memang tak disangka-sangka, sama seperti pertemuan kami yang bagaikan takdir ini.
“Aku tidak tahu kalau kamu serius mau jadi paramedis.”
“Kamu hilang kabar.” Tuduhan itu meluncur dengan cepat tanpa sempat kupikirkan ulang.
“Maaf, aku fokus dinas karena ingin cepat-cepat lulus, lalu ….” Dia terdiam sejenak seolah menimbang untuk berkata jujur atau tidak.