“Ibu bangga sekali sama kamu, Hes.”
Ibu seolah akan menitikkan air mata bahagia seraya menatapku penuh haru hingga sekujur tubuhku merinding.
Aku terkejut karena Ibu mendadak muncul di ruang bersalin pagi ini. Namun, bukan sebab itu saja. Arus kedatangan pasien padat sejak tadi malam. Staminaku sedang terkuras.
“Tapi, Ibu enggak perlu repot-repot bawain sarapan segala. Satu jam lagi Hesty pulang,” protesku.
“Tidak apa-apa, Hes. Ibu juga mau lihat putri Ibu sedang bekerja.” Senyum cerahnya langsung memudarkan rasa bersalahku. Tenyata, keinginan Ibu amat sederhana. Aku mesti sering-sering ajak Ibu ke sini. Semenjak kembali ke ruang bersalin, dunia kerjaku seolah memasuki fase ketenteraman. Berbaikan dengan Bidan Retno, tidak ada lagi gangguan dari Zul ataupun Yusuf, kecuali ….
“Sementara Bidan Hesty menyelesaikan pekerjaan dan sarapan, mau saya antar keliling rumah sakit dulu, Bu? Kebetulan, saya ada waktu sebelum morning report–laporan pagi.”
Dokter Khadafi menyapa dengan senyum terbaiknya. Snelli yang dia kenakan pun wangi dan licin usai diseterika. Disandingkan dengan seragam bidanku yang lecek dan sedikit bernoda setelah dipakai ‘bertempur’ dengan darah semalaman, penampilannya berkilau tiada tara. Hati ibu mana yang tidak kesengsem dibuatnya? Sekilas pandang pun, aku bisa tahu bahwa Ibuku sudah bertekuk lutut.
“Agresif juga Dokter Khadafi. Langsung tembak camer begitu masuk target.” Bidan Retno berbisik asal lalu di sampingku. Terserah. Aku jadi bisa fokus menuntaskan pekerjaan tanpa perlu khawatir memikirkan Ibu. Aku bergegas kembali ke ruang sterilisasi dengan tangan masih tertutup handscoon. Sempat kudengar Bidan Retno mengangkat panggilan di telepon genggamnya. Panggilan pribadi. Pasti dari suaminya. Hebat juga karena dia masih sanggup mempertahankan pernikahannya yang panas dingin.
Sejak awal, sudah kubilang, bukan, kalau aku tidak tertarik menguliti urusan pribadi seseorang? Tidak ada waktu. Nyaris tidak ada, bahkan untuk diriku sendiri. Kabar baiknya, aku sekarang punya Ibu untuk menggantikan tempat Jessika yang kini sudah jadi milik suaminya.
Napasku membentuk uap kecil dalam dinginnya AC sentral. Daya tahan tubuhku telah mencapai batas. Belum pernah rasanya perutku bergejolak saat mengaduk ari-ari dan membersihkannya di bawah air keran mengalir. Tiba-tiba saja, ujung jariku tergelincir di dasar baskom karena menabrak sebuah benda keras yang licin.
Bidan Retno masuk dan bergabung di sebelahku. Bunyi denting bersahutan saat dia menyusun baskom kosong dalam tumpukan dengan kesal seraya mengomel. “Dok Sam belum tua tapi udah pikun, ya? Salah dia sendiri yang ceroboh menyimpan cincinnya sebelum operasi. Masa tadi dia telepon, tanya-tanya aku? Hanya karena mirah delima itu sebelumnya punyaku, bukan berarti aku tahu sekarang ada di mana. Dok Sam nuduh aku?”
Aku tidak menjawab pertanyaannya karena jariku sedang sibuk merogoh di bawah ari-ari.