Uri, Suatu Hari di Ruang Bersalin

Ravistara
Chapter #27

Suatu Hari di Ruang Bersalin

Seumur-umur, aku belum pernah melihat kuyang dengan mata kepala sendiri, meskipun mitos makhluk setengah siluman ini amat populer di Kalimantan. Namun, jika sampai beredar rumor ada kuyang berkeliaran di rumah sakit, maka aku tahu persis siapa tersangka utama yang patut dicurigai. 

Siapa lagi kalau bukan Bidan Retno? Lihat saja kulit kencang dan mulus miliknya di usia yang hampir separuh abad. Orang-orang pun akan percaya jika dia bilang umur kami sepantaran. Ditambah video dari Zul yang sayangnya tidak bisa kumiliki sebagai bukti. 

Kuabaikan peringatan Jessika agar tidak menantang senior. Sejauh ini, tidak ada bukti yang menguatkan tuduhan Bidan Retno padaku hingga aku pasrah difitnah olehnya. Kuabaikan juga larangan dari Dokter Sam padaku untuk mendekati VK. Mentalku bisa terganggu jika lama-lama mendiamkan mulut jahat perempuan itu.

Aku masuk lewat jalan belakang. Lalu-lalang penunggu pasien di lorong seolah menyamarkan sosokku. Kemudian, aku berdiri di depan nurse station seperti hantu. Koas perempuan tak kukenal yang pertama menyadari kehadiranku. Dia sempat menyapa di tengah pekerjaannya mengisi rekam medis, lalu satu demi satu rekanku terpaku. 

“Hesty? Ngapain ke sini?” Begitu Bidan Cahaya menyebut namaku, koas itu mundur beberapa langkah ke arah lemari obat, lalu berpura-pura menyibukkan diri di sana. Jelas ada sesuatu yang salah. Citra diriku kini pasti menakutkan. Jangankan koas baru, rekan-rekan sejawat pun demikian. Sebentar lagi, aku tidak heran jika mereka semua mulai melancarkan demo agar aku keluar dari rumah sakit. 

“Kak.” Aku mendekat dalam gerakan lambat, khawatir jika mereka bergegas menyingkir seperti bidan-bidan lain di ruangan pagi tadi. Aku bukan virus, ya. Aku hanya korban fitnah tidak masuk akal. 

“Mana Kak Retno?” tanyaku dengan nada bicara tanpa emosi. Aku telah belajar bahwa pendekatan yang keliru hanya akan memperburuk situasi. Tidak akan terulang kembali. 

“Sedang bicara dengan Dokter Sam.” Bidan Cahaya beringsut pelan ke ujung nurse station. Kami berhadapan di sana. “Sebelum kabar tidak sedap makin liar, sebaiknya cepat kamu luruskan, Hesty.”

“Terima kasih, Kak.” Syukurlah, Bidan Cahaya tampaknya tidak terpengaruh rumor tersebut. Namun, bisa saja terjadi jika aku tidak berhasil keluar dari masalah ini hidup-hidup. 

***

“Mbak Hesty dan Mbak Retno ini memang kayak magnit. Sudah saya pisah jauh-jauh, tetap saja nempel lagi,” sindir Dokter Sam mengawali pembicaraan. 

“Maklum, Dok. Ada kuyang mondar-mandir di rumah sakit. Kuyangnya tahu betul cara pansos di waktu yang salah. Malah saya yang ketiban sialnya buat nutupin jejak si kuyang tersesat.”

Seketika, hawa memanas akibat ucapanku. Sepasang mata Bidan Retno yang kali ini tampil garang bercelak hitam, mendelik tajam padaku. Kepalang tanggung. Genderang perang sudah ditabuh. Aku pun tidak malu-malu untuk melancarkan serangan pertama. Mustahil akan ada gencatan senjata setelahnya. 

“Kuyang memang enggak butuh sopan santun, ya. Pantas sama dengan predikatnya. Makhluk sesat enggak butuh izin buat eksis.”

“Mbak Retno! Mbak Hesty!” Urat-urat pelipis Dokter Sam bertonjolan. “Jika tidak mau bicara secara dewasa, apa perlu saya karantina Mbak berdua? Silakan bertengkar terus sampai puas.”

Dokter Sam berhasil membungkam mulut kami. Kata-kata yang dia lontarkan sungguh menusuk. Dokter Sam mungkin sudah habis kesabaran. Bukan salahku. Aku hanya membela diri. Kulihat, Bidan Retno mulai menutupi wajahnya yang memerah penuh amarah. Aku sendiri telah meneguhkan hati untuk tidak menangis. Air mataku terlalu berharga untuk ditumpahkan olehnya. 

“Baiklah, Dok. Saya akan bicara terus terang. Kedatangan saya ke sini untuk mengklarifikasi tuduhan salah alamat dari Kak Retno ke saya. Saat pasien melihat kuyang, kejadiannya dua hari yang lalu, bukan? Saat itu, saya sedang di Hotel Sunrise, bertemu Dokter, untuk mencicipi dinner yang katanya hadiah dari Kak Retno. Jadi, bagaimana mungkin saya bisa ada di dua tempat berbeda dan cosplay jadi kuyang?”

Penjelasanku menampar muka Bidan Retno, sementara Dokter Sam mengangguk paham–kuharap kadar kepercayaannya kini melonjak jadi seratus persen. 

“Kuyang, ‘kan, memang harus berada di tempat aman agar bisa beraksi,” kilah Bidan Retno menggumam. Tatapannya menghindari aku dan Dokter Sam seakan ragu dengan ucapannya sendiri. 

Lihat selengkapnya