Uri, Suatu Hari di Ruang Bersalin

Ravistara
Chapter #29

Senjata Makan Tuan

Bibirku menguncup. Pengakuan awal Bidan Retno bagai membuka kembali kilasan memori tentang Zul. Sepertinya, aku tahu pembicaraan ini sedang mengarah ke mana. Aku menangkap kegelisahan luar biasa di wajahnya, hingga aku turut memikirkan sejauh apa dampak yang akan ditimbulkan oleh rahasia tersebut jika terungkap ke permukaan. Hidup kami ke depannya mungkin takkan sama lagi. Baik untukku, buruk untuk Bidan Retno. 

“Zul senang memata-matai karyawan rumah sakit, Dok. Dia juga sempat mengancam saya.” Namun, entah kenapa aku tergerak untuk membuat pengakuan yang mungkin akan meringankan Bidan Retno. Jika kata-kata Bidan Retno sebelumnya tulus, maka seseorang yang harus dikambinghitamkan dalam kasus ini adalah Zul. Yusuf juga bersalah karena dia sedari awal memang ingin merusak nama baikku.

“Tampaknya, Zul dendam karena saya telah menolak perasaannya.”

Dokter Sam tertawa tanpa suara. Tatapannya menyipit geli. “Ada dua pria sakit hati gara-gara Hesty hingga kejadian seperti ini. Apakah kasus kuyang pertama dulu, Mbak Retno juga diancam?” selidik Dokter Sam. 

Bidan Retno menggeleng lemah. Kasus pertama murni adalah kesalahan perempuan itu. 

“Hesty, apakah kamu akan menuntut Mbak Retno?”

Duh, andai tidak perlu melibatkan nurani, pertanyaan semacam ini tidak perlu susah-susah kujawab. Jujur, aku masih marah karena dia belum pernah meminta maaf. Namun, aku dan Bidan Retno sejawat. Aku tahu betul perjuangan seorang bidan untuk meniti karier. Haruskah aku balas dendam sekarang?

Aku menggeleng. “Tidak, Dok. Tapi, saya punya satu syarat. Kak Retno harus menceritakan semuanya agar tidak terjadi kesalahpahaman yang sama di lain hari.”

Aku bisa melihat riak kecemasan dalam binar mata Bidan Retno tatkala kami bertemu pandang. Namun, kecemasan itu kini tidak sedahsyat di awal dan ada luapan rasa terima kasih yang terpancar di sana. “Baik, Hes,” ucapnya gemetar. 

Apakah ini adalah akhir perseteruan kami berdua? Ah, semoga saja.

***

“Kenapa harus darah ari-ari, Mbak Retno?” Dokter Sam terperanjat. Cepat atau lambat, lelaki itu pasti akan mengetahuinya dari Zul, maka Bidan Retno pun mengakui perbuatannya penuh sesal.

“Karena awalnya saya pikir cara biasa tidak manjur, Dok. Suami saya terus mengungkit-ungkit soal Hesty.”

Aku menggaruk kerudung kesal. Pak Gun memang keterlaluan. Aku tidak rela dijadikan target berikutnya. Pantas saja Bidan Retno uring-uringan. Pasti dia menyangka aku berniat merebut suaminya.

Tanganku terangkat tinggi lantaran keberatan.

“Saya bersumpah tidak pernah berniat mendekati suami Kak Retno. Saya juga bersumpah tidak pernah merebut suami orang.”

Dokter Sam berdeham keras. Sumpahku pasti amat menyinggung kondisinya bersama Frida. 

“Cukup, Mbak Hesty. Di sini bukan pengadilan.” Dokter Sam lantas menatap tajam Bidan Retno dan menggeleng. “Cukup sekali ini saja. Jangan bikin kegaduhan lain kali.”

Bidan Retno langsung mengangguk seraya berurai air mata.

Saat keluar dari ruangan Dokter Sam, aku bagai terlahir kembali. Ruangan itu seperti sudah kukenal bertahun-tahun. Aku sampai hafal letak setiap perabotnya, termasuk aroma kulit dari kursi yang kami duduki. Jika sebelumnya aku merasa kehabisan udara berada di sana, kini belum pernah rasanya dada dan kepalaku terasa seringan kapas. Juga terasa manis bagai gulali di ujung lidah. Sebuah resolusi–yang sungguhan. 

Pintu menutup di belakang kami. Siapa menduga jikalau hari ini kami berdua keluar dari ruangan ini bukan lagi sebagai musuh. Kutatap sendu mata Bidan Retno yang masih basah. Hati perempuan mana yang tabah tatkala menceritakan hasrat sang suami untuk membagi cinta? Pak Gun memang selalu menjadi titik lemahnya. 

“Duh, kira-kira Dokter Sam bisa menangani Zul, enggak, ya?” Bidan Retno mengeluh tak tenang. Dia pasti tidak ingin rahasia terlarangnya diketahui banyak orang. Sudah amat beruntung bagi Bidan Retno karena Dokter Sam seakan menutup mata terhadap perbuatan nyelenehnya. 

“Aku yakin bisa. Yusuf saja tadi tidak berkutik di depan Dokter Sam. Mereka harus menerima keadilan yang pantas agar insaf,” kutukku geram. Bibir Bidan Retno melekuk ke bawah. Mungkin dia punya harapan yang lebih dramatis daripada aku.

“Konyol banget, sih, aku, sampai ada kejadian kayak gini. Kalau sampai suamiku tahu, aku bakal jadi bulan-bulanan dia.” 

“Bukan salah Kak Retno. Pak Gun aja yang enggan bersyukur. Kurang apa lagi, sih, tiga istri? Mana yang dua sedang hamil, pula.” Aku menggeleng seraya berdecak, lantas berhenti karena sudut alis Bidan Retno terjungkit. Sedikit banyak, dia pasti tersindir karena aku menghakimi suaminya. 

Buru-buru aku meralat, “Maksudku, aku paham bagaimana sifat pria, Kak. Kak Retno berbuat begini karena juga ada sebabnya, ‘kan?”

Lihat selengkapnya