“Sekar Ayudia Ningsih, biasa di panggil Sekar.” Ucapku membalas senyuman pria yang bernama Sadewo ini.
“Kalau aku manggilnya Ayu, boleh?”
Aku terkejut, disaat yang lain memilih untuk ikut memanggil namaku Sekar, kenapa Sadewo memilih memanggil namaku dengan sebutan Ayu? Karena menurutku tidak sembarang orang kuizinkan menyebut namaku dengan sebutan Ayu, hanya si Mbah saja yang kuperbolehkan.
Mataku mengerjap beberapa kali namun belum juga memberikan jawaban pada pria didepanku ini.
“Ayu?”
Sadewo memanggilku, menyadarkanku dari Kebisuan. Dia benar-benar merealisasikan keinginannya memanggil namaku dengan panggilan Ayu.
“Ah, ya? Oh boleh kok hehehe…” Kutarik tanganku yang masih berada di genggaman tangan besar milik Sadewo. Astaga tangan pria itu benar-benar 2 kali lipat lebih besar dariku! Apa Sadewo keturunan buto ijo?!
Sampai pada giliran Beby yang akan berkenalan dengan pria itu.
“Aku, Beby Auliya. Di panggil Beb juga nggak papa ehe.” Ucap Beby dengan cengir kudanya.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatku satu ini, kalau liat yang bening bening tingkah genitnya langsung keluar. Malam itu kami habiskan dengan berbincang santai, tak jarang antara Regi ataupun Rizal suka usil mengeluarkan aksi komedinya yang berhasil membuatku kram perut. Aku paling suka momen seperti ini, kumpul bersama, saling bercerita, ada gelak tawa, hangat sekali rasanya. Tak perlu tempat-tempat mewah untuk menemukan kebahagiaan, cukup bertemu dan menghabiskan waktu luang bersama orang-orang tersayang seperti ini bagiku sudah cukup. Aku sayang menyayangi sahabat-sahabatku ini, apalah aku tanpa mereka?! Mereka lebih banyak membantuku dari pada aku yang membantu mereka.
Sejak tadi kusadari ada sepasang mata yang sedang memperhatikanku, terkadang manik hitam itu juga tertangkap oleh mataku. Aku bukannya terlalu percaya diri, tapi juga tidak bodoh. Manik hitam itu selalu mencuri pandang melihat kearahku, sang pemilik mata yang sejak saat itu mulai mengganggu ketenangan hatiku.
Malam semakin larut, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Cemilan di hadapan juga sudah ludes oleh mulut-mulut rakus kami. Sejenak hening merasuk dalam dinginnya malam. Suara yang tadi saling bersahutan kini diam membisu.
“By the way, Sadewo fakultas apa?” Tanyaku memecah hening.
“Aku fakultas teknik, ngambil jurusan Informatika.” Jawab Sadewo yang senyuman tak pernah putus dari bibirnya.
“Oh, pinter dong?”
“Haha...nggak juga, biasa aja.”
Aku menganggukkan kepala.
“Eh pada mau jagung bakar nggak? Kalau iya biar gue beli di simpang jagung mentahnya, biasanya sih jam segini masih ada ya,” Seru Rizal
“Boleh! Gue sama Sekar biar bagian nyiapin bumbu.” Timpal Bebi girang, jagung bakar salah satu cemilan favorit kami.
“Yaelah, bumbunya mentega doang nggak ribet!”
“Dih si Regi mah nggak tau, bumbu kita berdua mah spesial! Ya nggak, Kar?”
“Kalau gitu biar gue bagian buat arangnya.” Sadewo menyahut. Sesaat tatapan kami beradu pandang, sial! Kenapa jantungku menggila karena ditatap pria ini?! Aku membuang pandanganku ke sembarang arah, menelan saliva ku dengan susah payah.
Demi tuhan, aku bukan tipe orang yang percaya dengan jatuh cinta pada pandangan pertama. Lantas apa yang terjadi denganku malam ini? Pertemuan pertama dengan seorang pria yang juga merupakan teman dari salah satu sahabatku, tak ada yang istimewa kulihat darinya. Namanya bagus, kuakui ‘Sadewo’ meski tidak tampan tapi pria itu, manis!
Sudahlah, Sekar! Jangan terlalu besar kelapa! Bisa saja ada yang aneh pada dirimu makanya Sadewo sampai melihatmu sebegitunya. Bukan karena dia tertarik padamu! Oke baiklah, akan aku terima fakta satu ini.
Beby masih di dapur berkutat dengan perbumbuan spesialnya. Aku memilih untuk menunggu jagung yang sedang dibeli oleh Rizal dan Regi, namun langkah kakiku mengarah pada seorang pria yang tengah berjongkok berupaya menghidupkan bara api.
Aku merutuki diriku sendiri. Kaki sialan ini kenapa malah menuju pada Sadewo sih?! Terus kalau sudah begini mau apa?! Aku ikut berjongkok disebrangnya menyulurkan tanganku untuk merasakan hangatnya bara api yang telah di siapkan oleh Sadewo.
Lagi lagi aku merasakan manik hitam itu memperhatikanku. Demi tuhan, bukan aku yang terlalu percaya diri, tapi faktanya begitu. Aku pura-pura tidak mengetahuinya, sibuk dengan kegiatanku menghangatkan diri akibat diterpan angin malam.
“Ayu?”