Sore itu, kala malam menuju minggu. Semilir angin menyapa wajah sayu ku yang tengah menunggu terbenamnya sinar mentari ke peraduannya. Angin sepoi sepoi mengibas rambut pendek ku kesana dan kemari. Meski sempat dilanda rintik hujan sesaat, namun tak urung membuatnya kehilangan pesona sang jingga. Dihiasi oleh walet bersaudara yang melintas pulang kembali pada rumahnya, semakin membuat langit sore itu tampak memukau. Senja.
Sejenak mataku memejam kala menikmati aroma yang tersisa dari rintik hujan, diiringi lembayung merdu kicauan walet bersaudara yang semakin membuatnya syahdu. Oh tuhan, begini saja sudah membuatku tenang, damai, tak ada yang kupikirkan selain, betapa kuasanya tuhan menciptakan keindahan ini? Dan aku hanya tinggal menikmatinya saja.
Suara notifikasi dari ponsel yang berada di sampingku mengusik gendang telingaku, niatnya tak ingin kulihat pesan itu datang dari siapa sampai pada saat aku menyadari pesan itu datang dari nomor asing yang tak kukenali. Dari siapa gerangan? Sejenak terhenti kegiatanku menikmati senja di sore itu.
Alisku yang tebal berkerut, namun tak berselang lama sudut bibirku ikut tertarik ke atas kala membaca isi pesan singkat itu. Entahlah, semenjak hari dimana aku memberikan nomor ponselku pada seorang pria yang ternyata tak langsung menghubungiku itu, berhasil membuatku menunggu-nunggu pesan yang datang darinya. Kenapa aku menunggu? Tidak tau juga, kenapa. Ku akui namanya mulai mengganggu hati dan pikiranku, tatapan matanya yang selalu tertuju padaku, senyum tipis yang ia tampilkan padaku, ku akui hal itu cukup menggetarkan hati yang telah lama tak menemukan suarnya.
+628228525XXXX
“Selamat sore, Ayu. Ini aku, Sadewo.”
Haruskah kubalas segera pesan dari Sadewo? Kugigit bibirku menimbang-nimbang keputusan, aku takut dikira begitu sangat berharap dirinya mengirimiku pesan, nyatanya memang begitu, gengsi untuk mengakuinya.
“Hai, Sadewo.” Meski begitu, tetap saja jari jemari ini mengetikan kalimat balasannya. Dan tanpa ku sadari bibir ini tersenyum tipis.
Tak membutuhkan waktu lama, pesanku telah mendapatkan balasannya. Lincah sekali jemari pria itu membalas pesanku.
Aku menghela nafas kasar, kali ini pesan singkat itu berisikan kalimat klise yang membuatku terlalu malas untuk memberinya sebuah balasan.
“Sedang apa?”
Aku tau itu hanya sebuah kalimat basa basi sebelum beraksi pada intinya. Tapi apakah tidak bisa seseorang langsung mengutarakan saja maksud dan tujuannya? Kenapa harus berbasa basi yang basi.
“Malam ini kamu luang nggak? Aku ingin mengajakmu ke salah satu gerobak sate favoritku selama di Bandung, aku rasa kamu wajib coba hehe”
Itu dia! Pria itu ingin mengajakku menghabiskan malam menuju minggu dengan menyantap sepiring sate favoritnya. Bibir mungilku memanyun, haruskah ku terima ajak pria ini? Disatu sisi sudut ruang hatiku tengah beruforia, tapi dilain sisi ada kebimbangan yang menyelimuti. Akankah permulaan ini membawaku pada kisah bertanda tanya, tanda seru, atau tiada keduanya?
Tak ada salahnya mencoba bukan? Meski ujung dari perjalanan itu belum tampak. Atau tak akan pernah ada ujungnya?
“Boleh, kapan?” Balasku.
“Malam ini, setelah magrib, gimana?”
“Oke gas!”
“Tunggu aku menjemputmu.”
Senyumku merekah membaca kalimat terakhir yang ia kirimkan. Dan, hei! Jantungku berdegup kencang karenanya, kurasa semut yang tengah berbaris di sudut dinding ikut mendengarkan lantunan irama jantungku yang berdebar. Kudaratkan telapak tanganku di atas irami yang sedang bersenandung ria itu, pertanda apa ini tuhan? Setelah sekian lama tak kudengar lagi ia bergendang, hari ini, kali ini, detik ini, detak itu berbeda.
Tak ku balas lagi pesan dari Sadewo, biarlah. Toh nanti akan berjumpa. Kembali manik mataku menikmati sisa rona jingga dari senja yang masih terpampang nyata di cakrawala. Senja yang selalu ditunggu, meski kehadirannya hanya untuk sesaat.
Gelap malam mulai menyapa, tungkaiku terayun memasuki rumah. Sepertinya aku harus gegas bersiap-siap, pria itu akan menjemputku setelah magrib bukan?
Pintu kamar terbuka, menampilkan sosok sahabatku yang seharian ini tak kulihat batang hidungnya berada dirumah.
“Widih! Udah rapi aja, hmm wangi lagi?! Mau malam mingguan ya lo? Ama siapa?” Tanya Beby.
Pipiku memancarkan rona merah jambu, sial! Pertanyaan sederhana itu mampu membuatku tersipu malu.
“Enggak. Cuman mau makan sate doang, seharian kemana aja? Anak gadis baru pulang jam segini!” Candaku mengalihkan pembicaraan, semoga Beby tak ada keinginan melanjutkan pembahasan mengenai kemana dan bersama siapa diriku berselayar pada malam menuju minggu ini.
“Biasalah anak muda. Eh sama siapa? Ihiy! Aroma aroma masa jomblo akan berakhir nih!”
Benarkah? Apa kali ini masa kesendirianku akan berakhir, bersama seorang pria bernama Sadewo? Ah! Hanya makan sepiring sate, jangan berkhayal terlalu jauh nona!
Bibirku urung menimpali pertanyaan Beby kala telinga ku mendengar suara klakson sebuah sepeda motor dari arah luar. Sepertinya itu dia. Benar, Sadewo telah berada di depan rumah, pesan singkatnya baru saja terbaca olehku yang mengabarkan dirinya telah tiba untuk menjemputku. Alisku mengerut, pria itu cukup on-time juga.
Segera ku raih tas selempang yang menjadi temanku malam ini. Beby yang mengerti bahwa pria yang akan menjemputku telah tiba tersenyum jahil padaku, tak ku hiraukan, aku hanya memutar bola mataku malas.
“Sama siapa sih? Gue mau ngintip ah!” Seru Beby mengikutiku dari belakang. Gadis itu benar-benar merealisasikan rasa penasarannya dengan mengintip dari dalam melalui celah jendela rumah.