Hal yang menyenangkan bagi Mala adalah saat berkumpul bersama keluarga. Sejak pagi, Mala dan Lingga asyik bermain sepeda di halaman rumahnya. Tawa mereka menenangkan hati sang ayah yang sedang duduk bersantai di teras rumah sambil menikmati secangkir kopi. Hari itu ayahnya sedang tidak ada jadwal mengajar, adiknya juga sedang libur sekolah.
“Kamu lanjut main sepedanya sendiri ya, nanti kakak liatin dari teras,” ucap Mala lalu memarkirkan sepedanya.
“Oke, Kak.” Lingga mengayuh sepedanya.
Mala duduk di teras, di samping ayahnya yang sedang membaca berita lewat ponsel. Pandangannya fokus ke arah gelas kopi milik ayahnya yang berada di atas meja. Sebenarnya ia tidak ingin minum, tetapi aroma kopi itu membuatnya tergoda.
“Minta sedikit ya, Yah,” ucap Mala. Ia mengambil dan menyeruput kopi milik ayahnya.
“Buat lagi aja,” Ayah Mala menoleh.
“Enggak ah, aku lagi gak mau minum.”
“Lha terus kenapa kopi ayah diminum ?”
“Kepingin nyoba, dikit banget kok, Yah. Gapapa kan ?”
“Iya…iya…”
“Yah, aku mau tanya,”
“Kamu mau tanya apa sama ayah ?” meletakkan ponselnya di atas meja.
“Aku pingin tahu tentang cerita waktu ayah ketemu sama ibu, terus sampai akhirnya bisa yakin bahwa ibu cocok untuk dijadikan istri itu gimana ?”
“Jadi, waktu itu ayah lagi main bareng teman ayah, pakde kamu.”
“Pakde Joko ?”
“Iya. Setelah selesai main, ayah mampir ke rumahnya untuk pertama kali. Nah, saat sedang ngobrol di ruang tamu, ibumu datang membawa minuman dan camilan untuk menjamu ayah. Dalam hati ayah bertanya-tanya, siapa wanita cantik itu ?”
“Hmmm…terus ?” tanya Mala.
“Terus ayah kenalan. Semakin lama ayah mengenalnya, rasanya semakin yakin dan gak mau kehilangan. Singkat cerita, akhirnya ayah menikah he…he... ” ucapnya sambil meringis karena berbunga-bunga mengingat masa lalu.
“Hi…hi…” Mala tertawa gemas.
“Kenapa ketawanya gitu ?” tanya ayahnya sambil memandangi wajah mala.
“Lucu aja,” Mala melirik ayahnya.
“Kamu pacaran sama Dimas ya ?” tanya ayahnya yang mencondongkan tubuhnya ke arah Mala.
“Hah… ?” Mala kaget.
“Ayo, ngaku aja.”
“Iya…” jawab Mala dengan suara lirih lalu tertunduk malu.
“Ayah sama ibu sebenernya sudah menduga hal ini sejak kamu pulang malam bersama Dimas beberapa waktu yang lalu. Kenapa kamu nggak cerita langsung sama Ayah dan Ibu ?”
“Gimana ya, Yah. Aku sebenarnya juga gak kepikiran bakal ketemu lagi sama dia. Terus rasanya cepet banget, apalagi aku baru seminggu di sini. Aku masih mencari waktu buat cerita. Jadi, baru sekarang ceritanya.”
“Ayah sebenarnya nggak melarang kamu dekat dengan siapapun. Sekarang kamu sudah dewasa, yang penting jaga diri baik-baik. Ada sikap, prinsip, dan nilai-nilai yang harus kamu pegang erat-erat. Kamu ini buah cinta ayah dan ibu. Ayah hanya berharap yang terbaik untuk masa dapan kamu.”
“Iya, Yah.” Mala menanggukkan kepalanya.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara gabruk dari halaman rumah. Mala dan ayahnya langsung menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Lingga jatuh dari sepedanya.
“Are you okay ?” Ayahnya berlari mendekat, lalu mengangkat sepeda yang menimpa Lingga.
“I’m okay,” ucap Lingga sambil membersihkan bajunya yang sedikit kotor.
Mala menggandeng adeknya untuk masuk ke dalam rumah. Ayahnya mengikuti di belakang sambil menuntun sepedanya.
“Adek jatuh ?” tanya ibunya yang berdiri di teras.
“Iya, Bu,” jawab Mala.