Utara ke Barat

Dina Oktaviani
Chapter #10

Hujan

Dimas duduk dan meletakkan kopi panasnya di meja belajar. Ia mengambil sebuah buku, lalu menulisnya dengan beragam harapan dan membuat jadwal kesehariannya. Beberapa hari kemudian, orang tuanya menyadari bahwa perilaku Dimas tampak berubah, mereka bahagia karena Dimas berubah ke arah yang lebih baik. Dimas tampak bangun lebih pagi dari biasanya, rajin membaca buku, rajin berolahraga, bahkan Dimas yang jarang bersih-bersih rumah sekarang menjadi rajin menyapu dan mencuci piring. Dimas sengaja menyibukkan diri karena tidak ingin terlarut dalam kesedihan dan kekecewaan yang menyelimuti hatinya.

Dimas berdiri di samping jendela kamarnya. Ia menyandarkan bahunya di tembok. Pandangannya fokus ke arah halaman rumah yang sedang diguyur hujan. Aroma hujan itu terasa sangat nikmat. Namun, sekelebat kenangan indah bersama Mala tiba-tiba hadir dan mengguncangkan perasaannya.

Mata Dimas berkaca-kaca menahan rindu. Tapi bagaimana ia menyatakannya, pesan darinya pun tak pernah dibalas oleh Mala. Ia menulis dan menceritakan perasaan rindunya di sebuah kertas. Keesokan harinya, Dimas pergi ke rumah Mala dengan membawa kertas yang sebelumnya ia tulis. Di perjalanan, ia berhenti di sebuah minimarket untuk membeli coklat.

Dimas mengetuk pintu rumah Mala, rumah itu tampak sepi. Ia memanggil nama Mala dengan suara yang kencang, tetapi masih tidak ada jawaban. Beberapa saat kemudian, salah satu tetangga Mala datang menemui Dimas. Ia memberitahu Dimas bahwa Mala dan keluarganya sedang pergi ke acara nikahan salah satu saudaranya. Sebelum pulang, Dimas meletakkan kertas ungkapan rindu dan coklat di atas meja yang ada di teras rumah Mala.

Malam harinya, Mala dan keluarganya pulang kondangan. Mereka berdiri di teras. Saat menunggu ayahnya membuka pintu rumah, entah kenapa tiba-tiba Mala menoleh ke arah meja dan melihat kertas dan coklat tergeletak di atasnya. Mala dengan cepat mengambil dan memasukkan ke dalam tasnya karena tidak ingin kedua orang tuanya tahu.

Setelah mandi, Mala mengunci pintu kamar. Ia segera mengambil tasnya, lalu mengeluarkan kertas dan coklat yang ia ambil sebelumnya. Mala membaca tulisan yang ada di kertas itu tanpa suara. Tangannya tampak sibuk mengusap air mata yang mulai berjatuhan. Setalah membaca tulisan itu, Mala jadi tahu apa yang sebenarnya dirasakan oleh Dimas.  

Mala hanya terdiam, memejamkan matanya, dan memeluk kertas itu sambil menangis. Ia sebenarnya juga sangat merindukan Dimas, rindu candanya, rindu senyumnya, rindu suaranya, intinya Mala rindu segala hal tentang Dimas. Setelah merasa cukup dengan tangisannya, Mala mengambil sebuah ponsel dan menghubungi Dimas.

“Dim…” ucap Mala lirih.

“Iya, La. Kamu sudah baca tulisanku ?” tanya Dimas. Ia terkejut sekaligus bahagia karena bisa kembali berkomunikasi dengan Mala.

“Sudah, Dim. Makasih ya coklatnya.”

“Sama-sama. La, terima kasih sudah bersedia membaca tulisanku. Jujur, aku butuh kamu, La. Jangan menghilang lagi ya, aku mohon.”

“Kapan kita ketemu ?” tanya Mala dengan antusias.

“Ha…secepatnya !” Dimas kaget mendengar pertanyaan Mala. Setelah berhari-hari pesannya tidak dibalas, setelah berhari-hari ia menahan rindu, tiba-tiba Mala mengajaknya untuk bertemu. Dimas tampak sumringah, matanya berbinar-binar, perasaan bahagia terpancar dari wajahnya.

“Besok ya,” ucap Mala.

“Kita ketemuan di mana ?”

“Nanti aku pikir dulu,”

“Yaudah, besok aku jemput ya ?”

“Jangan !” ucap Mala tegas.  

Lihat selengkapnya