Sebelum semuanya kembali sibuk dengan kuliah dan pekerjaan, Mala dan sahabatnya berkumpul di rumah Tuti. Mereka tampak asyik bercanda di ruang makan. Tuti membuka kulkas dan mengeluarkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat seblak.
“Ini baksonya tolong dipotong ya, La” ucap Tuti. Ia mengambil pisau dan melatakkannya di atas bakso.
“Oke.” Mala beranjak dari tempat duduk, lalu mengambil bakso itu dan memotongnya menjadi beberapa bagian. Tuti mengambil sebuah cobek dan meminta Tina untuk meracik bumbu seblak. Tina dibantu Nia mengupas bawang dan kencur, mencucinya, kemudian menumbuknya menjadi bumbu seblak.
Irma masih duduk menunggu di ruang makan. Ia menyandarkan kepalanya di telapak tangannya sambil memperhatikan sahabatnya yang sibuk memasak. Irma diam bukan karena ia tidak mau membantu, tetapi karena memang tidak ada lagi yang harus dikerjakan.
Tuti mengambil sebuah wajan dan menuangkan sedikit minyak di atasnya. Setelah itu, ia mengorak-arik telur dan bumbu yang sebelumnya sudah dihaluskan oleh Tina.
“Hmmm…aromanya enak banget.” Irma berjalan mendekati Tuti dan berdiri di sampingnya.
“Ir, tolong ambil air ya, sebaskom.” ucap Tuti.
“Nggak kebanyakan sebaskom ?” tanya Irma.
“Kan kita masaknya buat berlima, jadi banyak,” jawab Tuti.
“Oiya.” Irma mengambil sebuah baskom dan menuangkan air ke dalamnya hingga penuh. Ia pelan-pelan membawa baskom itu menuju Tuti.
“Langsung tuang aja ke wajan, pelan-pelan ya,” ucap Tuti.
“Iya,” ucap Irma.
“Cukup.” Tuti mengaduk kuah seblak itu dengan perlahan. Setelah agak mendidih, ia memasukkan bakso dan bahan lain.
Tina, Mala, dan Nia duduk di ruang makan. Beberapa saat kemudian, seblaknya matang. Nia menyiapkan lima buah mangkok dan membagi rata seblak itu.
“Enak banget ini, mantap !” ucap Irma setelah mencicipi seblak. Semuanya sibuk menghadap mangkuknya masing-masing. Hanya Mala yang matanya berair dan bibirnya memerah, ia memang tidak terlalu kuat dengan pedas. Meskipun begitu, ia terus menyantap seblak itu sampai habis.
Setelah selesai makan dan kenyang, mereka duduk bersantai di sofa yang ada di ruang tengah. Tuti mengambil sebuah remot, menyalakan televisi, lalu menonton film bersama. Beberapa camilan dan minuman tampak tergeletak di atas meja yang ada di samping sofa.
Saat sedang hening dan fokus menonton, Tuti merasa sedikit mulas dan kentutnya sudah berada di ujung. Saat hendak beranjak menjauh dari ruangan itu, kentutnya malah keluar. Ia pun kembali duduk. Meskipun kentutnya tidak bersuara, tetapi hal itu justru malah membuatnya menjadi khawatir. Aroma tidak sedap tiba-tiba datang. Fokus mereka menjadi pecah. Apa yang dikhawatirkan Tuti akhirnya terjadi.
“Siapa yang kentut ?” tanya Nia sambil menutup hidung.
“Iya ih, bau. Kamu kentut, La ?” tanya Irma. Ia kemudian menarik kerah bajunya untuk menutupi hidungnya.
“Enggak kok,” jawab Mala. Ia menoleh ke kanan dan kiri sambil menutup hidung. Semuanya bangkit dari tempat duduk kecuali Tuti.
“Maaf, aku kelepasan. Tadi aku sudah berencana kentut di luar, tetapi pas aku mau keluar kentutnya malah keluar duluan. Ini kayaknya gara-gara aku sarapan singkong, mungkin singkongnya baru bereaksi sekarang.” ucap Tuti.
“Tuti lagi…Tuti lagi, ha…ha…” ucap Tina sambil menutup hidungnya dengan kedua tangan.
“Yaudah kita keluar dulu, yuk,” ucap Tuti.
“Ada-ada aja kamu, Tut. Ayo kita duduk di luar, nggak ilang-ilang nih baunya,” ucap Nia.