Utopia

Patricia Dian
Chapter #2

DUA

Gadis manis bernama Dara yang masih berstatus sebagai pelajar SMA itu memiliki ketertarikan pada dunia visual sejak duduk di bangku sekolah dasar. Katanya buah itu tak jauh dri pohonnya, barangkali inilah yang membuat darah seni mengalir pada diri Dara. Ya, mewarisi darah seni dari sang mama yang dulunya adalah seorang penulis.

Bakat menggambar Dara sudah terlihat sedari usianya belia. Kala itu orang tuanya berhasil menangkap pesan yang disampaikan putri kesayangannya. Ya, dulu waktu kecil Dara gemar sekali mencorat coret tembok rumahnya dengan spidol atau krayon . Dari sinilah kemudian orang tuanya menyadari jika coretan tangan Dara memiliki makna yang mungkin hanya dimengerti mereka.

Tak ingin membuang momen ini begitu saja, orang tuanya berusaha memfasilitasi Dara dengan hobi corat coretnya ini. Dan gayung pun bersambut, semakin hari coretan Dara terlihat bukan coretan biasa. Bahkan saat SD kemampuan menggambarnya tidak bisa dipandang sebelah mata. Dara semakin menggilai dengan dunia visual khususnya gambar. Pensil, penghapus dan sketchbook selalu menjadi benda wajib yang harus dibawa kemana pun ia pergi.

Beruntung Dara memiliki orang tua yang mendukung hobinya. Untuk itulah ia selalu berusaha membuat orang tuanya bangga. Hampir sepuluh tahun Dara menekuni hobi menggambar, berbagai lomba sudah diikutinya. Entah sudah berapa piala berjejer menghias lemari kaca di rumahnya. Bahkan skillnya kini semakin meningkat setelah mengenal media gambar digital.

Bagi Dara menggambar sudah menjadi separuh hidupnya. Tak ingin begitu saja melewatkan talenta yang dimiliki, Dara terus melatih skill menggambarnya. Sebagai referensi sesekali Dara melakukan rekreasi visual, salah satunya dengan rajin membaca komik. Sebab dari sanalah idenya bermunculan.

Dara sadar betul menggambar memang sesuatu yang menyenangkan baginya, meski demikian ia tak lantas melupakan kegiatannya yang lain. Sejak duduk di bangku kelas XII nyaris seluruh aktivitas Dara di sekolah vakum. Bahkan ekskul yang hanya seminggu sekali juga sudah jarang diikutinya. Kini Dara lebih banyak mengisi waktunya untuk ikut bimbel setelah jam sekolah selesai.

“Daraa!”

Gadis itu menoleh ke belakang, dilihatnya tiga orang berseragam putih abu-abu berjalan mendekat. Nindi, Aini, dan Bella, mereka bersahabat sejak pertama kali masuk SMA. Meski harus terpisah karena beda kelas, mereka selalu menyempatkan bertemu usai kelas selesai. Dara melambaikan tangan pada sahabatnya.

 “ Thanks, Ra komiknya.” Bella menyodorkan setumpuk komik Hagemaru yang dipinjamnya dua minggu lalu.

“Kok aku nggak yakin ya Bell kamu baca semua nih komik?” seru Dara. Mendengar ucapan Dara, Bella mengernyitkan dahi. Nindi dan Aini kompak tertawa meledek.

“Hihihi emang. Kamu kan tau Ra, aku lebih seneng buat baca novel.”

“Trus ngapain juga pake acara pinjam komik?” timpal Aini. Bella hanya meringis tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

 

“Jalan yuk.” Suara itu keluar dari bibir Aini.

“Yuk ah, suntuk eike Nek.” saut Bella cepat.

“Kamu gimana, Ra?” Aini, Bella dan Nindi menatap Dara yang sedang sibuk memasukkan komik Hagemaru ke dalam tas.

“Hah kenapa?” jawab Dara meringis.

“Yuk Ra jalan ke mall, ngadem makan es krim gelato.”

“Yuk..ayuuk..ayuk” kompak Aini dan Nindi mengiyakan.

“Paragon Ra, katanya mau ke Miniso?”

Dara melirik jam tangannya, sejenak pikirannya terombang-ambing antara mengikuti teman-temannya atau mengikuti les Kimia.

“Heloo Daraaa, kok malah bengong.”

“Gays, sorry aku ada les Kimia sama Pak Iwan setelah kelas.”

“Yah, Dara.”

“Have fun ya say.” jawab Dara sembari mencubit pipi Bella, sahabatnya yang paling comel.

“Nggak asik ah, nggak jadi deh.”

“Iya, next time aja kalau gitu.”

Lihat selengkapnya