Utopis Karya X dan Ikan Blenny

Yuditeha
Chapter #1

Satu

Hari itu akan menjadi hari berbeda bagi Kama, karena teman lamanya yang bernama Maksim datang menemui di kantornya. Maksim adalah teman masa kecil. Dulu mereka sama-sama tinggal di kampung Harjosari, Sragen. Namun kebersamaan mereka hanya sampai tamat SD, karena setelah itu Kama dan keluarganya pindah ke Solo. Selanjutnya kisah pertemanan itu meredup seiring berjalannya waktu.

Setelah Maksim bertanya sana-sini, beruntung bertemu salah satu penjaga di UNS yang baik hati. Petugas itu sudi menghubungi Kama untuk meyakinkan perihal kedatangan Maksim yang sebelumnya mengaku sebagai teman Kama. Mereka akhirnya bertemu. Pada pertemuan itu Maksim tidak banyak basa-basi, bahkan di saat Kama masih heran atas kemunculan temannya itu, Maksim sudah bercerita panjang lebar, termasuk di antaranya perihal dirinya, yang katanya sudah menikah dengan perempuan bernama Talis, dan dikaruniai seorang anak laki-laki berumur dua belas tahun, bernama Salinga.

“Hanya kamu satu-satunya yang kuharap bisa membantuku,” kata Maksim.

 Ketika mendengar pernyataan itu, Kama tidak bisa menerka maunya. Menurut Kama jika ada teman masa silam tiba-tiba muncul biasanya tidak jauh-jauh dari perihal utang dan kenangan. Terkait Maksim, Kama berpikir positif, menganggap kedatangannya karena kenangan. Tapi pikir Kama lagi, jika benar tentang kenangan, lalu kenangan macam apa.

“Ini bukan tidak sengaja. Aku benar-benar mencarimu, terlebih setelah kudengar kamu jadi pejabat fakultas budaya di kampus ini,” tambah Maksim.

Pernyataan Maksim baru saja membuat Kama heran, karena seingat dia, setelah lulus SD, Maksim tidak melanjutkan sekolah. Dengan kenyataan seperti itu, tiba-tiba kini Maksim menyampaikan sesuatu dengan menyebut kampus dan fakultas budaya dengan fasihnya, hal itu menjadi sesuatu yang jauh dari bayangan Kama.

“Aku tidak ingin mengulur waktu, yang tentunya hanya akan membuatmu semakin bingung. Ini perihal anakku.”

“Ada apa dengannya?”

Maksim tidak segera menjawab. Dia berdiri, berjalan mendekati deretan buku yang tertata di rak ruang kerja Kama. “Jika aku melihat deretan buku-buku tebal seperti ini, ingatanku langsung tertuju pada Salinga,” kata Maksim sembari memindai buku.

Kama tidak menanggapi, tapi mengulangi pertanyaannya. Maksim tetap tidak menjawab pertanyaannya itu, bahkan justru balik bertanya: “Bolehkah aku buka-buka bukumu ini?” 

“Tentu saja boleh. Buku memang bukan pajangan,” sahut Kama.

“Kau beruntung bisa sekolah tinggi, bahkan sekarang jadi dosen,” kata Maksim sambil merabai buku-buku itu.

Kama hanya diam, lebih tepatnya bingung bagaimana harus menanggapi. Jika Kama mengatakan sesuatu, bisa jadi tidak berkenan bagi Maksim, dan Kama takut Maksim tersinggung. Terlebih Kama belum tahu, apa yang terjadi padanya. Kama tidak ingin berkata banyak sebelum mengerti apa maunya. Maksim masih merabai dan melihat buku-buku di rak. Kama tidak melihat, begitu pun ketika tangan Maksim berhenti pada buku berjudul Utopis, karya X. Maksim sempat menarik buku tipis itu, tapi kemudian dimasukkan lagi, lantas melanjutkan merabai deretan buku itu dan berhenti lagi pada buku berjudul Ensiklopedia Sastra Dunia. Pada saat itu Kama melihat, termasuk ketika Maksim akhirnya mengambil buku itu, dan membawanya. Maksim berjalan ke tempat semula, lalu kembali duduk. Kama membiarkan Maksim asyik membuka-buka buku itu.

“Kau sudah baca buku ini?” tanya Maksim membuat Kama kaget.

Pertanyaan Maksim bisa jadi sangat menyinggung Kama, tapi dia tidak menuruti rasa itu karena dia pikir Maksim belum tahu keadaan Kama sekarang, dan pertanyaan Maksim tidak bermaksud meledek. Kama menganggap pertanyaan itu memang murni pertanyaan, yang intinya Maksim ingin tahu apakah Kama sudah membacanya atau belum, itu saja.

“Sastra Dunia, itu salah satu mata kuliah yang kuampu, Sim.”

“Aku memang bodoh, dan orang bodoh hanya bisa bertanya dengan pertanyaan bodoh.”

Lagi-lagi Kama tidak berani menanggapi. Kama tidak mau membuat Maksim semakin merasa kecil. Karena jika Kama salah menanggapi justru bisa menambah ruwet.

“Sebenarnya ada apa dengan anakmu, Sim?” Dengan sangat halus Kama bertanya. Kama mencoba berusaha mengembalikan ke masalah yang ingin Maksim sampaikan di awal. Usai Kama bertanya, Maksim melepaskan pandangannya dari buku, lalu menatap Kama tapi pandangannya seperti kosong. Kama melihat pupil hitam mata Maksim tampak tidak fokus. Dalam bayangan Kama, di sana seperti ada rongga gelap yang selama ini belum pernah sekalipun orang berkunjung.

“Kama, kumohon bantulah aku. Hanya kamu yang kupercaya.”

“Katakanlah, Sim.”

Maksim kembali berdiri, melangkah ke deretan buku, lalu mengembalikan buku yang dia ambil ke tempat semula, lalu dia berucap: “Mungkin bisa jadi ada hubungannya dengan buku-buku.”

“Maksudmu?”

“Banyak orang bilang anakku sakit jiwa. Setidaknya mereka sering menyebut Salinga aneh. Sebagian dari mereka mengatakan jika tidak segera mendapat penanganan khusus, Salinga bisa beneran gila.”

“Sebenarnya tidak sederhana untuk sampai kesimpulan itu.”

“Nah, iya kan?”

Lihat selengkapnya