Apa kau pernah ingin membunuh ayahmu?
Atau setidaknya kau berharap ia menghilang begitu saja, dan segalanya akan terasa lebih baik.
Aku ingin membunuh ayah ku, seperti Oedipus membunuh ayah nya dan menikahi ibunya.
Aku tidak ingin menikahi ibuku.
Aku hanya ingin dia berhenti menangis. Tidakkah ia sadar, wajahnya begitu jelek dan memuakkan saat dibanjiri air mata seperti itu.
Sekarang aku paham bagaimana perasaan Oedipus saat itu. Jika ia tidak dengan sengaja membunuh ayahnya, maka ayahnyalah yang akhirnya akan membunuh Oedipus dan sekaligus Jocasta.
Sedikit berbeda denganku. Seandainya aku membunuh ayahku, ibuku pasti akan mengutuki aku, lalu mati bunuh diri. Ibuku mencintai ayahku sampai mati, dan aku mencintai ibuku sampai mati.
Kadang rasa cinta itu berubah menjadi rasa kasihan.
Kata nenek, rasa kasihan adalah bentuk lain dari cinta. Nenek dulu menikahi kakek karena rasa kasihan melihat kakek tetap kembali melamarnya walau sudah ditolak berkali kali.
Apakah ayah tidak mencintai ibu?
Apa mungkin sebenarnya ayah mencintai ibu, tapi otak nya lah yang tidak waras, sehingga cara mengekspresikan rasa cintanya sedikit menyimpang dari manusia kebanyakan, karena setahuku, tamparan, tendangan, dan makian bukan cara manusia normal menyatakan cinta.
Tangan kurus yang seperti cakar burung itu tidak mengenal rasa kasihan. Ukurannya yang kecil membuat sepasang tangan itu lincah bergerak kesana kemari, menampar pipi kiri, lalu ganti pipi kanan, lalu menjambak rambut, menariknya kesana kemari seperti bocah nakal yang bosan dengan boneka nya, lalu menghantamkan kepala tempat rambut itu tumbuh ke tembok dengan keras. Suaranya berdebum. Seperti teredam. Kadang aku seperti mendengar suara keretak tulang, entah tulang hidung atau tulang lain di wajah ibu. Jika keadaan sudah seperti itu, yang bisa dilakukan seorang anak umur 3 tahun hanyalah menangis sekeras kerasnya. Biasanya ibu datang tergopoh gopoh, memelukku sambil minta maaf dan menangis menderu deru. Dibalik bahunya, aku melihat siluet ayah yang kurus dan jangkung, berdiri memandang ku. Tatapannya dingin. Tidak ada rasa bersalah. Tidak merasa melakukan dosa. Ia hanya berdiri mematung, lalu pergi. Membanting pintu. Meninggalkan aku dan ibu yang masih sama sama menangis.
Begitulah yang terjadi selanjutnya. Adu mulut, bunyi pergulatan, bunyi tamparan, pukulan, dan diakhiri dengan debuman. Lalu aku menangis keras, ibu menghampiri, dan ayah cuma diam di tempat, berbalik, dan pergi entah ke neraka lapis berapa, aku tak ingin tahu.