Sudah 2 tahun ayah pergi. Kali ini ia betul betul pergi ke tempat itu. Tempat yang jauh sekaligus dekat. Tempat yang kita sebut sebut di alkitab, namun setengah mati kita usir dari alam sadar.
Tentang kematian, sering aku berpikir. Bagaimana rasanya mati? Apakah seperti terbangun dari tidur panjang, dan semua kehidupan yg kita jalani hanyalah mimpi yang bahkan samar samar kita ingat? Ataukah sakit? Apakah begitu terbangun di dunia orang mati, malaikat segera datang menginterogasi, sambil bawa cambuk, untuk jaga jaga kalau kita salah jawab?
Apakah ayah sudah dicambuk? Bukankah selama ini ia telah berdosa pada ibu? Apakah hukuman itu langsung ia dapat? Atau seperti di alkitab, penghakiman menunggu saat setelah kiamat, dimana semua manusia dibangkitkan kembali dari kejatuhannya?
Ayah, aku hanya ingin kau mendapat keadilan, atas apa yang kau lakukan pada ibu. Ia wanita yang mencintaimu, jadi kau pantas dihukum karena menyakitinya.
Anehnya, setelah kematian ayah, rasa lega yang kunantikan itu tak kunjung tiba. Aku pikir, langkahku akan lebih ringan, dan wajahku akan lebih cerah. Faktanya, aku merasa tidak ada yang berubah. Tubuh ini seperti menyeret bola besi yang beratnya dua kali lipat berat tubuhku. Apakah itu amarah ayah yang masih tersisa di dunia orang hidup? Ataukah itu amarahku, yang belum benar benar padam bahkan setelah ayah pergi?
Berbeda denganku, ibu terlihat lebih ikhlas. Walaupun rasa ikhlas tidak dapat digambarkan, namun setiap pelayat yang datang waktu itu, bisa melihat ekspresi ibu yang tegar. Ibuku terlihat lebih muda beberapa tahun setelah ditinggal mati suaminya.
Hanya tiga hari aku tinggal di rumah, setelah itu, aku kembali ke Surabaya. Cuti ku hanya untuk tiga hari, sengaja tidak kuperpanjang karena aku benci pulang. Rumah itu penuh kenangan tentang ayah. Berada di dalamnya, aku sering mimpi buruk.
Sekarang dua tahun telah berlalu, namun mimpi buruk saat pulang ke rumah tidak pernah hilang dari kepalaku. Ibu sering sekali menyuruhku pulang saat akhir pekan. Aku selalu menghindar.
Hidupku disini sudah cukup tenang. Jauh dari segala hal yang membangkitkan kenangan kenangan buruk tentang ayah. Gajiku cukup, dan aku punya pacar. Namanya Juna. Ya Arjuna. Tampan, sedikit flamboyan. Orangnya hangat, suka ketawa, sopan pada siapa saja, dan tahu cara menyenangkan wanita. Sifatnya itu akan sangat membantunya jika saja ia mau mencoba bekerja di bidang marketing. Ia jago memikat hati dan penampilannya meyakinkan. Andai saja sifatku seperti Juna, klien ku pasti membludak. Sayangnya aku tidak seperti itu, walau aku tidak terlihat kaku kaku amat. Aku cukup murah senyum, to the point, dan logis. Jika bertemu klien yang tidak suka basa basi, biasanya kita cocok dan berakhir deal. Namun sepertinya manusia jaman sekarang suka sekali dipuja puji. Suka mendengar yg baik baik. Mereka mulai merasa tidak nyaman jika aku berbicara tentang ketidakpastian, resiko dan kegagalan, seolah olah, hidup mereka selama ini dibangun diatas sekumpulan keberhasilan. Hasilnya setiap bulan aku selalu jadi bahan bulan bulanan supervisor krn targetku yang hancur. Tinggal tunggu waktu aku ditendang ke divisi lain, the worst case, aku di pecat.
Sudah satu setengah tahun aku bekerja sebagai sales asuransi, dan semakin lama aku semakin tidak paham untuk apa aku bekerja. Perasaanku kosong dalam 8 jam sehari. Lama lama hampir seharian rasanya hampa, bahkan ketika jam kantor selesai, dan aku pulang ke kos, rasanya seolah masih bekerja. Aku tahu ini sudah mulai tidak sehat, tapi aku butuh uang untuk tetap hidup di kota ini. Aku masih belum siap untuk kembali ke rumah, menemani ibu sambil mencari pekerjaan di kota kelahiranku. Banyak kasak kusuk di acara pertemuan keluarga, bahwa aku anak tunggal yang tidak tahu diri dan durhaka, membiarkan ibunya yang mulai tua hidup sendirian. Itulah alasan kenapa bahkan saat lebaran, aku hanya dua hari di rumah. Aku tidak keberatan melewatkan lebaran sendirian di Surabaya, tapi rasa bersalahku meninggalkan ibu di hari semua keluarga sedang berkumpul, selalu membuatku berpikir ulang tentang keputusan tinggal di kos saat hari raya.
Mungkin ibu mulai berpikir bahwa anaknya memang benar benar durhaka, atau ia tahu yang sebenarnya, bahwa luka yang ditinggalkan ayah terlalu merah dan dalam. Bahkan kematiannya tidak serta merta membuat goresan itu kering. Aku harap ibu mengerti, bahwa aku masih belum bisa memaafkan ayah....dan dirinya, untuk tetap mencintai orang yang menghancurkannya....hancur?? Apakah ibu hancur??? Atau aku??
Bunyi telepon.
Juna.
" hei, ada apa, tumben telpon di jam kantor?"
Aku bicara sambil bisik bisik. Di meja sebelah, kolegaku melirik sekilas.
"Oh kenapa? Kok baru sekarang ngomongnya?
Dia membatalkan janji temu. Lagi.
"Apa nggak bisa diundur kumpul komunitasnya?"
Tidak. Komunitas moge adalah hidup matinya. Aku cuma remah remah.
"Oke"