Tak sadar, mata Tegar membelalak, antara percaya dan tidak. Jemari tangannya yang panjang spontan mengucek kelopak matanya, menajamkan lagi pandangan, betulkah wanita di seberang sana adalah Arunia? Ataukah hanya kemiripan saja?
Diamatinya terus wanita di seberang sana, rambut berpotongan shaggy panjang dibelah samping, sebagian terurai ke depan menimpa pipi, menutup separuh mata. Itu gaya Arunia, bahkan sejak remaja, model rambutnya tak pernah berubah, begitu pun panjangnya yang melewati bahu terurai cantik meskipun hanya disisir menggunakan jemari. Hidung Tegar pun memutar memori betapa dulu bila berdekatan dengan Arunia, bahkan dia bisa mencium harum rambut itu, wangi yang membuatnya merasa sangat damai.
Wanita yang diamatinya berbalik, lalu melangkah dengan anggun menuju kasir, mendorong troli yang hanya berisi beberapa barang. Tak ingin kehilangan jejak, Tegar melangkah cepat mengejarnya, hatinya begitu yakin ketika melihat gaya berjalan wanita itu, sudah pasti dia adalah Arunia. Siapa lagi wanita dengan wajah oriental yang saat berjalan langkah kakinya segaris dan gemulai bak penari? Dia pasti Arunia.
"Nia," panggil Tegar ketika posisinya sudah berada tepat di belakang wanita itu, suaranya bergetar, tiba-tiba batinnya disergap keraguan setelah tadi merasa amat yakin. Wanita itu menoleh, jantung Tegar berdetak kencang, wajahnya menegang sambil mengamati rupa wanita yang sedang beradu pandang dengannya.
"Mas Tegar?" kata pemilik suara lembut itu, mata sipitnya melebar, lalu tangannya menyibak belahan rambut yang menutupi sepertiga wajahnya.
Bila posisi mereka tidak berada di tengah supermarket yang ramai, Tegar pasti sudah memeluknya.
"Kapan datang?" kata Tegar berbasa-basi.
"Baru kemarin malam," jawab Arunia sambil memindahkan belanjaannya dari keranjang ke meja kasir.
"Sama siapa? Suamimu? Bagaimana kabar Mama, Papa dan Koko?" Tegar menghujani Arunia dengan pertanyaan.
"Sendirian," jawab Arunia.
"Hmm ...," gumam Tegar. Mengabaikan pertanyaannya yang belum berjawab, dia mengeluarkan sebuah kartu debit dari dompetnya.
"Biar aku saja," kata Tegar berniat membayar semua belanjaan Arunia, disodorkannya kartu di tangannya ke kasir, tetapi Arunia menahannya.
"Jangan. Aku bawa cash," kata Arunia. Malas berdebat membuat Tegar membiarkan Arunia dengan kemauannya.
"Bolehkah aku minta waktu Nia sebentar?" tanya Tegar ketika mereka berdua berjalan meninggalkan kasir.
"Boleh," jawab Arunia tenang, ketenangan yang tak bisa meredam dada Tegar yang bergemuruh. Keduanya memutuskan untuk mengobrol di Food Court di lantai paling atas mal itu.
Suasana masih sepi ketika keduanya sampai, mungkin karena belum jam makan siang. Hanya ada beberapa orang yang terlihat duduk menikmati makanan mereka. Tegar membiarkan Arunia memilih tempat duduk, dia hanya berjalan mengikuti.
Hanya memesan dua cangkir capucinno, keduanya kini duduk berhadapan, tak tahu bagaimana memulai percakapan. Kadang keduanya bertemu pandang, lalu menunduk, atau berpura-pura memandang ke tempat lain, padahal isi hati mereka berdua penuh dengan kata-kata. Akhirnya Tegar tak bisa menahan kerinduan untuk menatap sepuasnya wajah wanita yang pernah menghiasi hari-hari dan mimpinya.
Tiga belas tahun yang lalu mereka pernah dalam posisi seperti ini, duduk berhadapan dengan berjuta kata yang hanya tersimpan di kepala mereka masing-masing. Seperti saat ini pula, Tegar hanya memandang Arunia. Yang berbeda mungkin tatapan mata Tegar.
Dulu tatap mata Tegar adalah tatapan mata kehilangan, karena pertemuan mereka saat itu adalah yang terakhir, setelahnya dia tak akan pernah melihat Arunia lagi. Kini tatapan mata itu berbeda, menjadi penuh pertanyaan yang dibarengi dengan kerinduan setelah sekian lama berhenti berharap.
Tegar masih ingat betul kalimat yang diulang-ulang terucap dari bibir Arunia tiga belas tahun yang lalu.
"Padahal Mama berhutang nyawa kepadamu, kepada keluargamu, tetapi mengapa? Mengapa? Padahal tanpamu mungkin Mama dan aku hanya tinggal nama yang terukir di batu nisan." Arunia mengucapkan itu sambil berurai air mata.
"Nia, kamu dan Mama tidak berhutang apa pun kepadaku, semua itu sudah ditakdirkan, sudah tertulis jauh sebelum kita dilahirkan ke dunia ini. Manusia hanya sekedar menjalani saja," kata Tegar berusaha menghibur, tetapi tak membuat gadis di depannya berhenti menangis.
"Mama pasti tahu yang terbaik untuk putrinya. Aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu," kata Tegar sambil menenangkan Arunia dengan membelai lembut tangannya yang putih langsat. Sementara dirinya sendiri pun perlu ditenangkan, karena tak kalah sedih dibandingkan dengan gadis di depannya.
Kejadian itu sudah diduganya, jauh sebelum mereka berdua menjalin cinta, Tegar sudah pernah mengingatkan bila hubungan mereka tak akan berhasil. Namun Tegar tak tega mengecewakan Arunia. Tegar tak tega mematahkan hati gadis yang sejak kecil menjadi teman bermainnya itu. Biar mengalir saja, entah bagaimana nasib akan membawa cinta mereka.
Hubungan keduanya memang unik, tak seperti kebanyakan remaja, cowok yang mengejar si cewek. Yang terjadi malah Arunia yang duluan mengajak Tegar berpacaran. Tegar memang menyukai Arunia, tetapi baginya hanya mimpi bersanding dengan gadis itu, terlalu banyak perbedaan dan dirinya pun terlalu rendah diri untuk memulai hubungan. Bila bukan Arunia yang memulai, mungkin hubungan cinta di antara mereka tak pernah terjalin.
Tegar hanyalah anak seorang karyawan di usaha milik mama Arunia. Mama Arunia punya sebuah toko kue di kota itu dan ibu Tegar bekerja di sana. Cerita yang indah untuk dikenang, bagaimana awal keduanya bertemu dan menjadi akrab.
Saat itu Tegar masih duduk di SD, dia terlalu gembira karena menang lomba menggambar dan ingin menunjukkan piala kemenangannya kepada ibunya. Dia mengayuh sepeda pancalnya menuju sebuah kompleks pertokoan. Setelah sampai, melewati lorong di samping untuk menuju pintu belakang.
Tegar memang sering menemui ibunya di situ, teman-teman kerja ibunya cukup ramah dan pernah suatu kali bertemu dengan mama Arunia, pemilik toko itu, dan beliau malah memberi Tegar kue-kue.
Sambil menggendong pialanya yang tinggi, Tegar melongok melalui pintu yang terbuka separuh, aroma harum kue dari pemanggangan merasuki indra penciumannya. Tegar tak menemukan ibunya, mungkin sedang membantu melayani pembeli di depan. Dia malah melihat seorang gadis kecil bermata sipit sedang mempermainkan adonan kue di tangannya.
Melihat wajah Tegar yang muncul dari balik pintu, gadis itu tersenyum lalu melambai menyuruh Tegar masuk dan mendekatinya.
"Hai Nia!" sapa Tegar sambil tersenyum, dia sudah tahu nama gadis kecil itu karena ibunya sering bercerita tentangnya, Tegar juga sering melihat Arunia, hanya Arunia yang tak melihatnya.