Utuh tak Berjeda

Innuri Sulamono
Chapter #2

Solo Membara

Tegar diam, menunggu Arunia berbicara atau menjawab pertanyaannya, perlahan dia menyentuh gelas di depannya, cukup panas, ditariknya kembali tangannya, lalu tatapan matanya kembali ditujukan pada Arunia. Tegar tahu, ada kesedihan yang berusaha disembunyikan Arunia, dia tak akan memaksa bila itu semakin membuat Arunia merasa terpojok.

"Kau tak perlu menjawabnya bila tak ingin menjawab. Maafkan aku, sudah membuatmu tidak nyaman," kata Tegar memecahkan kesunyian di antara mereka berdua. Padahal Tegar cuma menanyakan kabar, tidak sulit untuk menjawabnya.

"Mama sudah meninggal," kata Arunia. Jawaban yang membuat Tegar maklum, mengapa Arunia tak kunjung menjawab pertanyaannya yang sekedar pertanyaan basa-basi

"Oh, aku ikut bela sungkawa, Nia," kata Tegar dengan nada menyesal.

"Kena kanker kelenjar getah bening."

"Pasti berat buatmu, tapi kau pasti kuat," kata Tegar sambil menepuk lembut punggung tangan Arunia yang terkulai di atas meja.

"Papa menikah lagi dan tinggal bersama istrinya, Koko juga sudah menikah dan sekarang mengelola usaha keluarga," kata Arunia. Perlahan tangannya mengaduk minuman di depannya dengan sendok kecil, merusak motif daun yang meliuk di permukaannya. Tegar menikmati setiap gerakan yang dibuat Arunia, baginya itu terlihat begitu indah.

"Suamiku baik-baik saja, aku yang tidak baik-baik saja," kata Arunia, terdengar mengejutkan di telinga Tegar, terasa sesak dada lelaki itu mendengar pengakuan Arunia. Terjawab sudah kecurigaannya akan wajah murung Arunia yang seolah menyimpan beban. Namun dia bingung harus berkata apa.

"Seandainya aku bisa membantumu, katakanlah apa yang bisa aku bantu?" kata Tegar akhirnya. "Bila itu tak dianggap mencampuri urusan rumah tangga orang lain," lanjut Tegar.

"Mungkin aku hanya butuh seseorang tempat aku bercerita yang bisa aku percaya, tapi aku pasti menangis bila menceritakannya," kata Arunia menyiratkan bila di sini bukan tempat yang enak untuk mencurahkan isi hati.  Tegar jadi kembali teringat akan masa dulu, saat-saat Arunia selalu menceritakan apa pun kepadanya.

"Nia bisa bercerita di rumahku, kalau Nia mau. Di sana sepi, ibu dan bapak masih di pasar jam segini, pulangnya sore," kata Tegar.

 "Kelana?" tanya Arunia, Tegar tersenyum mendengar pertanyaan ini, mungkin Arunia masih mengira keadaan di rumah Tegar tetap seperti dulu, ada bapak, ibu, dirinya dan Kelana, adiknya.

"Kelana sudah menikah dari lama, menghasilkan seorang keponakan yang ganteng buatku, mereka sekeluarga tinggal di Yogya," kata Tegar sambil tersenyum.

"Oh, aku sampai lupa menanyakan kabar keluargamu, Mas," kata Arunia.

"Semua baik-baik saja, Nia. Bapak dan Ibu mengelola kios buah-buahan di pasar, bermodalkan uang pemberian mama kamu waktu itu, usaha mereka lancar sampai sekarang," kata Tegar.

"Oh, syukurlah. Mas Tegar sendiri? Tak adakah yang cemburu melihat kita berdua di sini?" 

"Ada yang cemburu pasti, tetapi dia tidak tahu kok, paling jam segini dia sedang bermalas-malasan di rumah," kata Tegar.

"Oh, istrimukah, Mas?" tanya Arunia menebak.

"Hmm ... namanya Ussy."

"Dia pasti cantik dan baik."

"Dia memang cantik dan baik. Dia kucingku, Nia," kata Tegar sambil tertawa kecil, disusul tawa Arunia. Untuk pertama kalinya Tegar melihat wajah Arunia berseri, mungkin pengakuan langsung dari Tegar bila dia masih sendiri membuat wanita itu merasa senang.

"Kamu belum menikah, Mas? atau ...."

"Aku belum menikah, tepatnya belum pernah menikah. Tak ada yang mau dengan bujangan tua sepertiku, Nia. Sudah kadaluwarsa," jawab Tegar berseloroh, Arunia tersenyum lebar mendengarnya.

"Aku seharusnya tidak mengajakmu ke sini, suamimu yang pasti cemburu," kata Tegar.

"Rasanya tidak," kata Arunia cepat-cepat.

"Bagaimana bisa seorang suami tidak cemburu bila istri cantiknya berbincang hanya berdua dengan lelaki lain, Nia? Aku minta maaf ya," kata Tegar, "Tapi percayalah, aku tidak punya niat jahat, hanya ingin sekedar berkabar dengan teman lama," lanjut Tegar.

"Dia tak pernah cemburu, Mas. Seperti kataku, dia baik-baik saja, akulah yang tidak baik-baik saja," kata Arunia. Untuk kedua kalinya Tegar mendengar kalimat itu, bila Arunia tidak baik-baik saja,

"Dengan senang hati aku akan menjadi tempatmu bercerita, Nia. Jadi kita ke rumahku?" tanya Tegar.

"Bagaimana bila ...?" Arunia ragu hendak meneruskan ucapannya.

"Bagaimana bila apa? Katakan saja, tak usah sungkan, aku masih sama seperti dulu, Nia. Aku sahabatmu," kata Tegar mencoba meyakinkan Arunia untuk tidak ragu meminta apa pun kepadanya.

"Bagaimana seandainya Mas Tegar yang datang ke hotel tempatku menginap besok?" tanya Arunia.

Lihat selengkapnya