Di kursi di ruang tengah yang biasa berfungsi sebagai ruang keluarga sekaligus ruang belajarnya dan Kelana, Tegar melihat mama Arunia merintih sementara ibunya sendiri mengoles leher wanita itu dengan larutan pembersih luka. Leher itu memerah melingkar dan di bagian samping kulitnya mengelupas dan mengeluarkan darah. Melihat itu, Tegar seperti ikut merasakan perih, sampai spontan dia menggigit bibirnya sendiri.
Arunia ke luar dari kamar dan berlari mendekati mamanya, setengah menjerit lalu menangis begitu melihat mamanya luka.
"Lukanya tidak dalam kok, cuma perih saja," kata mama Arunia menenangkan anak gadisnya. Arunia seperti tak mendengar perkataan mamanya, malah mendekatkan wajahnya lalu mengamati barisan luka yang melingkari leher mamanya
"Tadi ada yang menarik kalung Nyonya sampai luka seperti ini," kata ibu Tegar menjelaskan.
"Sungguh kejam," kata Arunia geram. "Kalung peninggalan Ama?" lanjutnya.
"Ya iya, cuma itu kalung yang selalu Mama pakai, yang penting Mama selamat," kata mama Arunia. "Untung ayahnya Tegar segera datang dan menyelamatkan kami. Puji Tuhan kita semua diselamatkan," lanjutnya.
"Papa sama Koko yang belum ketahuan nasibnya," kata Arunia.
"Mereka mengungsi ke hotel, tadi sempat menelepon, sekarang ayahnya Tegar mengecek keberadaan mereka," kata mama Arunia sambil meraba-raba lukanya sendiri, sesekali wanita itu meringis menahan perih.
Mendengar jawaban mamanya, Arunia merasa lega sekali, berarti mereka sekeluarga terselamatkan.
"Ce Nia, nasinya," kata Kelana mengingatkan bila Arunia belum sempat menyentuh nasi yang diambilkan Tegar. Dengan kedua tangannya menyodorkan nasi yang disiram sayur bayam berlauk tempe mendoan ke Arunia. Kelana berjongkok untuk menyamakan posisinya dengan Arunia yang masih duduk berlutut mengamati kondisi mamanya.
"Kamu masih panas, Nia," kata mama Arunia sambil meraba kening anak gadisnya.
"Ya, kalau habis minum obat, panasnya turun, nggak berapa lama naik lagi," jawab Arunia.
"Ya minum obat penurun panas lagi, begitu 'kan kata Dokter?" kata mama Arunia.
"Nia musti makan dulu sebelum minum obat," kata Tegar menyela pembicaraan ibu dan anak itu.
Arunia lalu duduk di kursi, menerima piring yang disodorkan Kelana dan makan dengan amat pelan. Melihat itu rasanya Tegar ingin menyuapi kekasihnya, tetapi tak akan dilakukannya di hadapan mama Arunia dan ibunya sendiri. Mereka berdua tahu bagaimana cara menyembunyikan jalinan cinta di antara mereka.
"Nia tiduran di kamar saja ya, kamu harus banyak beristirahat," kata Tegar setelah Arunia minum obat.
"Iya, Tegar benar, kamu istirahat sana," kata mama Arunia.
Namun bagaimana bisa istirahat dengan tenang sementara Arunia sedang menantikan kepastian kabar tentang papa dan kokonya. Arunia tak juga beranjak dari tempat duduknya, dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi kayu yang keras dan sederhana itu.
"Nia mikirin Papa dan Koko," katanya lirih.
"Papa dan Koko baik-baik saja, Nia. Tak usah dipikirin, kamu istirahat saja seperti kata Tegar," kata mamanya membujuk Arunia.
"Mama istirahat juga dong, Mama juga sakit," kata Arunia.
"Iya, Nyonya, silakan di kamar saya. Tempat tidurnya cukup kok buat berdua," kata Tegar.
Namun mama Arunia bersikeras menunggu ayah Tegar pulang sampai mendapat kepastian tentang keadaan suami dan anaknya. Arunia patuh, beristirahat di kamar Tegar, pengaruh obat membuatnya terlelap di siang yang panas. Tegar menyiasati hawa panas di kamarnya dengan kipas angin kecil yang dia sorotkan pada dinding, agar Arunia tak terkena langsung hembusan anginnya.