Utuh tak Berjeda

Innuri Sulamono
Chapter #4

Pengakuan

Pagi yang dinantikan pun tiba. Ketika Tegar sarapan pagi dengan sayur lodeh kemarin yang dihangatkan ibunya, dia membayangkan Arunia pasti sedang sarapan juga, tentu menunya bukan seperti yang sekarang ada di meja makannya. 

Menu prasmanan ala hotel berbintang tentu lebih menggugah selera Arunia yang terbiasa hidup sebagai anak orang yang berkecukupan. Namun bagi Tegar, tak ada yang lebih nikmat dibandingkan masakan ibunya, apalagi sayur lodeh yang dihangatkan kembali, rasanya bumbunya menjadi lebih meresap.

"Mau pergi?" tanya ibunya ketika melihat Tegar sudah berpakaian rapi, sesuatu yang jarang sekali dilihatnya. Biasanya Tegar memakai kaos oblong saja, lalu sarapan di depan komputer, tidak di meja makan, apalagi dengan pakaian rapi.

"He-em," jawab Tegar mengiyakan. "Ibu mau titip apa?" tanyanya lagi.

"Titip salam saja," kata ibunya sambil tersenyum penuh arti.

"Kok tahu kalau aku mau bertemu seseorang?" tanya Tegar keheranan.

"Le, le. Ibumu ini sudah tua, sudah embah-embah, hafal sama gelagatmu," jawab ibunya santai. "Barangkali doa ibumu ini sudah waktunya terkabul," lanjutnya.

"Doa apa, Bu? Doa agar aku cepat nikah?" tebak Tegar.

"Ya, doa apalagi? Kamu sudah punya rumah, sudah punya kendaraan, penghasilanmu juga mencukupi, tinggal istri yang belum," kata ibunya. Tegar tak menanggapi kata-kata ibunya, sudah terlalu sering dia mendengar kalimat seperti itu. Dia segera mengakhiri sarapan paginya dengan meneguk segelas air putih.

"Ibu, aku berangkat dulu," pamit Tegar sambil menjabat dan mencium tangan ibunya. Dengan bernyanyi kecil dia menuju rumah di sebelah rumah ibunya, rumahnya sendiri yang dibiarkan kosong karena baru selesai dibangun, belum ada perabotan satu pun, hanya mobilnya yang dia parkir di garasi rumah itu.

Masih sambil bernyanyi kecil, Tegar mengemudikan mobilnya menuju alamat yang diberikan Arunia lewat pesan Whatsapp.

"Aku baru bangun," ucap Arunia ketika membuka pintu kamarnya lalu mempersilakan Tegar untuk duduk di teras kamar, pintu kamar itu pun tertutup lagi, menyembunyikan pemandangan seorang wanita dengan baju tidurnya memasuki kamar mandi dan mempersiapkan diri bertemu dengan kekasih masa remajanya.

Tegar menepuk jidatnya sambil membatin, "Ternyata aku kepagian." Diliriknya jam tangannya, jam delapan lebih empat puluh tujuh menit, sebenarnya tak kepagian, hanya Arunia saja yang barangkali tak terbiasa bangun pagi-pagi.

"Semalam aku tak bisa tidur, makanya bangun kesiangan, maaf ya jadi membuat Mas Tegar menunggu," kata Arunia begitu ke luar kamar dengan wajah segar nyaris tanpa make up, hanya goresan pelembab bibir yang membuat bibirnya mengkilat..

"Oh, belum sarapan? Aku temani?" kata Tegar menawarkan diri, padahal dari berangkat tadi Tegar mengira bila Arunia sudah sarapan di jam yang sama sepertinya. 

"Mas Tegar belum sarapan juga?" Arunia balik bertanya.

"Sudah, ibuku biasa menyiapkan sarapan pagi-pagi sekali, jam enam sudah matang semua. Sarapan di rumah merupakan salah satu caraku menghargainya," kata Tegar.

"Ya, aku ingat waktu di rumah Mas dulu, sejak subuh Ibu sudah di dapur," kata Arunia terkenang masa-masa mencekam itu lagi. Masa-masa yang membuat cintanya pada Tegar semakin kuat. Di rumah Tegar dia merasakan kedamaian dan kasih sayang, walau kehidupan mereka amat sederhana.

Restoran sudah sepi ketika Tegar dan Arunia sampai, hanya ada sepasang suami istri dan dua orang bapak-bapak yang sedang menikmati sarapan paginya. Ketika Arunia selesai mengambil hidangan dan duduk di kursinya, orang-orang itu satu per satu meninggalkan restoran, tinggallah Arunia dan Tegar yang hanya mengambil segelas kopi panas untuk menemani Arunia makan pagi.

"Mengapa Mas Tegar belum menikah juga?" tanya Arunia setelah keduanya terdiam lama, nasi di piringnya tersisa separuh dan tangannya sudah berhenti menyendok. Tegar tertawa mendengar pertanyaan itu.

"Pertanyaanmu seperti pertanyaan Ibu saja, Nia," katanya, Arunia jadi tersenyum, Tegar senang melihat senyum itu.

"Setiap hari pekerjaanku duduk di depan komputer, hanya berinteraksi dengan orang-orang luar yang memesan gambarku, itu pun secara daring. Di dunia nyata aku hanya berinteraksi dengan keluargaku saja, tak sempat berkenalan dengan cewek," kata Tegar. "Atau Nia punya seseorang untuk dikenalkan padaku?" lanjutnya sambil tertawa.

"Hmm ...." Arunia kehabisan kata-kata. 

Mendadak Tegar teringat Lily, cewek itu mudah sekali terlupakan karena kedatangan Arunia, ada sedikit rasa berdosa di hati Tegar. Bahkan dalam hati dia sudah berniat untuk membatalkan acaranya nonton bioskop bersama Lily hanya gara-gara kedatangan Arunia yang tak jelas untuk apa. 

"Setega itukah aku?" batinnya bergejolak. "Bukankah belum ada ikatan apa pun dengan Lily?" batinnya yang lain membantah. "Tapi kamu sudah berjanji dan memberi harapan pada gadis itu," pikir Tegar lagi. "Bukankah lebih baik sekarang diakhiri sebelum harapannya bertumbuh semakin besar?" pikirannya yang lain berargumen. 

Pikiran itu terus dan terus mempermainkannya dan berkata-kata sendiri, "Lantas apa rencanamu selanjutnya? Menyambung kembali hubungan dengan Arunia? Berarti kamu menjadi perebut istri orang? Nggak malu? Apa kata ibumu nanti?"

"Kok jadi melamun?" kata Arunia menyadarkannya.

"Hmm ... tidak kok, hanya melihat cara mereka membersihkan meja, cekatan sekali" kata Tegar mengelak sambil memandang pelayan restoran yang sedang menyemprot dan mengelap meja. Ketidakjujuran Tegar membuat Arunia tersenyum, senyum yang seolah menangkap basah bila Tegar berbohong.

Lihat selengkapnya