Utuh tak Berjeda

Innuri Sulamono
Chapter #5

Kembali

Tegar masih kaget dengan kehadiran Lily, sampai kakinya diam terpaku enggan beranjak dari posisinya. Wajahnya tak bisa menyembunyikan perasaannya, semua itu tertangkap mata Lily, wanita itu tersenyum merasa berhasil mengejutkan Tegar.

"Siapa yang ulang tahun?" tanya Tegar tak bisa menahan rasa penasarannya.

"Masak tidak hafal sama ulang tahun ibu sendiri?" kata Lily sambil melirik lelaki yang sejak dulu dikaguminya diam-diam.

Tegar merasa tak enak mendengar perkataan Lily, di rumah ini tak pernah ada pesta ulang tahun, apalagi ulang tahun ibunya, jadi Tegar pun tak pernah tahu hari ulang tahun ibunya. Yang Tegar tahu malah weton ibunya, karena ibunya sering membuat bubur merah di momen hari lahir dan pasaran Jawa setiap anggota keluarganya.

"Oh, tumben ibu merayakan ulang tahun," kata Tegar sambil berjalan masuk ke ruang tamu dengan langkah pelan.

"Ibu juga tak tahu kok, tiba-tiba saja Lily datang bawa kue ulang tahun, ibu sendiri lupa kalau ini hari ulang tahun ibu," kata ibunya. Tegar sendiri pun tak habis pikir, bagaimana Lily bisa tahu hari ulang tahun ibunya? dari mengintip kartu keluarga mereka? atau bertanya pada seseorang di keluarganya?

"Ya sekali-sekali merayakan ulang tahun," kata ayahnya yang muncul dari ruang tengah sambil mengancingkan baju, rambutnya basah, rupanya lelaki itu habis mandi. Melihat ayahnya berkata seperti itu, spontan batin Tegar berprasangka, barangkali acara ini hasil kesepakatan antara Lily dan ayahnya. 

"Entahlah," batin Tegar menepis segala pikiran yang bermain-main di kepalanya.

Hanya berempat mereka merayakan ulang tahun ibu Tegar, menikmati kue ulang tahun buatan Lily. Lily bercerita bila sekarang dia menerima pesanan kue-kue secara daring, selain tetap menerima pesanan produk-produk rajutan.

"Biar bisa bekerja sambil merawat ibu, Mas," kata Lily. Ibu Lily seorang janda pensiunan PNS, tentunya masih ada pemasukan untuk kebutuhan sehari-hari di samping pendapatan Lily yang tentunya tidak besar. 

"Bagus sekali, Dik Lily," kata Tegar mengomentari kegiatan Lily. "Ibu sama siapa kalau ditinggal begini?" tanya Tegar karena tahu Lily hanya berdua dengan ibunya.

"Ada anak tetangga yang langganan aku mintai tolong jaga Ibu, Mas. Kalau aku keluar untuk belanja ini itu juga dia yang jaga Ibu," kata Lily sambil membersihkan pisau yang belepotan butter cream dengan menggunakan tisu.

"Oh, baguslah," kata Tegar.

"Ya, dia pun senang karena dapat uang saku tambahan," kata Lily sambil tertawa kecil, gigi geliginya yang putih dan rapi tampak mempermanis wajahnya yang lembut dan keibuan.

Ibu dan ayah Tegar meninggalkan mereka berdua di ruang tamu, seperti ingin memberi kesempatan untuk bisa mengobrol dengan leluasa agar keduanya lebih akrab. Namun Tegar merasa inilah saatnya untuk memberi sinyal kepada Lily bila hubungan mereka berdua hanya sebatas teman dan saudara saja.

"Jadi kita nonton Sabtu besok, Mas?" tanya Lily, pertanyaan ini ditunggu-tunggu Tegar, karena dia sudah menyiapkan jawabannya.

"Waduh, maaf ya Dik. Seandainya kita batalkan saja gimana? Aku banyak acara," kata Tegar sambil berharap Lily tidak terluka karena ucapannya. Namun harapan Tegar tak kesampaian, wajah Lily terlihat kecewa, Tegar merasa sangat berdosa sekaligus merasa menjadi pecundang, karena dialah yang memulai, sekarang dia pula yang mengingkari.

"Sebentar, aku lihat jadwalku dulu ya, mungkin bisa aku seting ulang," kata Tegar sambil membuka telepon genggamnya, pura-pura melihat kelender, padahal dia sedang memikirkan bagaimana cara mengelak tanpa melukai perasaan Lily.

"Bagaimana bila kita nonton hari ini saja? Dik Lily bisa?" tanya Tegar, begitu tiba-tiba sebersit ide itu melintas di kepala Tegar.

"Bisa, Mas," jawab Lily, walau dia kaget karena tak menyangka Tegar jadi memajukan acara mereka, secepat ini pula.

"Baiklah, aku akan pesan tiket online ya, ini ada jam tujuh," kata Tegar sambil mengusap-usap telepon genggamnya, Lily hanya diam mengamati tingkah Tegar.  Setelah itu Tegar masuk ke dalam dan berbicara dengan kedua orang tuanya. Lily menunggunya di ruang tamu.

"Sambil merayakan hari ulang tahun Ibu, kita ajak Ibu dan Bapak sekalian tak apa-apa 'kan?" kata Tegar begitu muncul kembali ke ruang tamu. Tegar sedang mengeluarkan jurusnya, jurus agar tidak pergi berdua saja dengan Lily. Rasanya inilah langkah yang tepat untuk meluruskan kembali persaudaraan mereka agar Lily tidak terlalu berharap kepadanya.

Suka atau tidak suka, Lily menyetujui ide Tegar.  

"Aku sudah pesan empat tiket," kata Tegar lalu meletakkan telepon genggamnya di atas meja.

"Baik, Mas. Aku akan pulang ganti baju dulu ya," kata Lily.

"Ya, nanti aku jemput," kata Tegar saat melepas kepergian Lily yang meluncur pulang dengan sepeda motornya.

Tegar merasa sangat bersyukur bisa membujuk ayah ibunya untuk nonton ramai-ramai dengan Lily, padahal seumur-umur mereka tak pernah nonton di bioskop. Kedua orang itu tak tahu bila semua hanya akal-akalan Tegar saja untuk menghindari berduaan dengan Lily. 

Di hati Tegar juga ada rasa khawatir bila ketahuan Arunia pergi berduaan dengan Lily dan membuat wanita itu terluka. Sore itu Tegar merasa sangat lega.

Malamnya setelah pulang dari menonton, Tegar tak bisa berkutik ketika ibunya menceramahinya dengan setumpuk materi tentang berumah tangga.

"Seharian tadi ketemu siapa sih? Ibu kira kamu tadi ke rumah Lily, lah kok ternyata Lily datang sendiri bawa kue tar," tanya ibunya menyelidik. 

"Ya, ketemu seseorang lah Bu," jawab Tegar.

"Seorang gadis? Siapa kalau Ibu boleh tahu?" tanya ibunya lagi memojokkan Tegar.

Tegar memang tak bisa membohongi ibunya, dia berterus terang bertemu dengan Arunia dan mengatakan keseriusannya untuk menunggu Arunia sampai berpisah dengan suaminya. Tegar menceritakan semuanya, semua kisah yang dialami Arunia selama ini.

"Kasihan sekali nasibnya," kata ibu Tegar bersimpati. "Kekayaan dan keberlimpahan harta tak menjamin kebahagiaan."

"Ya, tetapi kemiskinan lebih dekat dengan penderitaan, Bu," kata Tegar sambil tersenyum.

"Kita miskin tapi ibu bahagia," kata ibunya.

"Aku tak pernah merasa miskin, Bu. Rasanya kok seperti tidak bersyukur bila menyebut keadaan kita ini miskin ... hehe," kata Tegar mengoreksi perkataan ibunya.

Lihat selengkapnya