Tegar tak tahu bila Lily pernah tanpa sengaja melihatnya makan berdua dengan Arunia di sebuah warung di pasar Klewer. Kala itu Arunia ingin sekali makan tengkleng yang terkenal di daerah itu. Melihatnya, Lily begitu kecewa dan langsung meninggalkan tempat, urung membeli tengkleng pesanan ibunya.
Namun demikian, karena peristiwa itulah dia menemukan jawaban sikap Tegar yang berubah dari penuh perhatian menjadi tak acuh tiba-tiba. Terasa sesak dada Lily menyadari kenyataan itu.
Ketika Tegar hampir membatalkan acara nonton mereka berdua dan menggantinya dengan nonton berempat, itu sudah membuat Lily bertanya-tanya, ada apa sebenarnya? Setelah acara itu, belum sekali pun Tegar berkirim pesan Whatsapp, padahal sebelumnya Tegar sering menyapanya walau sekedar mengucap salam.
Menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Tegar bersikap mesra pada Arunia, Lily sadar bila dirinya telah tercampakkan. Sakit hati dirasakan Lily ketika harapan yang semakin tumbuh itu musnah begitu saja.
Tak mau menyerah memperjuangkan cinta Tegar, Lily berpikir keras bagaimana cara merebut perhatian lelaki idamannya itu. Dia mencoba berkirim pesan dulu, dan dijawab Tegar dengan kata-kata pendek yang disingkat-singkat. Semakin kesal Lily dibuatnya.
Pernah pula Lily mengirim kue-kue buatannya ke rumah Tegar, tetapi hanya bertemu dengan ayah Tegar. Ibu Tegar sedang menjaga kios buah sedangkan Tegar tak ada di rumah. Lily hampir kehabisan ide bagaimana membuat Tegar kembali memperhatikannya, sampai terpaksa nekad mengadu pada ibunda Tegar.
Memang Lily nekad, tetapi penuh perhitungan. Lily tahu bila wanita itu berpihak kepadanya, maka Lily berpura-pura belanja buah-buahan di kios ibu Tegar, setelah itu meluncurlah ceritanya bila beberapa hari lalu tak sengaja melihat Tegar bersama wanita bermata sipit dan terlihat mesra.
Buntut dari strategi Lily, Tegar harus berhadapan dengan ibunya sendiri.
"Aku hanya menemani Arunia selama dia di sini, Bu. Sekarang dia sudah kembali ke Singapura, Ibu tak perlu sekhawatir itu, bila Ibu tak merestui aku dan Nia, aku nurut kok," kata Tegar berusaha memaklumi sikap ibunya. Setelah itu dia menyesal telah menjanjikan hal yang dia sendiri pun ragu apakah bisa menepatinya.
"Bukannya Ibu tak merestui, perbedaan keyakinan itulah yang mengganjal di hati Ibu," kata ibunya.
"Ya sudah, tapi boleh 'kan aku berteman dengan dia?" kata Tegar akhirnya.
"Siapa yang menjamin kamu hanya berteman saja bila kalian terus berhubungan seperti itu," kata ibunya.
"Aku memang tak bisa menjamin, Bu, tetapi sisi kemanusiaanku yang tak bisa meninggalkannya untuk saat ini. Percayalah, Bu, soal aku menikah dengan siapa, itu nanti akan selalu atas dasar restu Ibu," kata Tegar.
"Ibu boleh melarangku menikah dengan Nia, tetapi kuharap Ibu juga tak memaksaku menikah dengan Lily," lanjut Tegar menegaskan bila dirinya tak akan menurut bila dipaksa.
Ibunya diam saja. Melihat ekspresi wajah ibunya yang terlihat kecewa, Tegar jadi merasa bersalah. Lembut Tegar berkata lagi, "Tapi bukankah Ibu percaya bila jodoh, maut dan rejeki itu hanya Allah yang tahu?"
"Ya, ya, terserah kamu, tapi jangan abaikan Lily, ntar dia diambil lelaki lain," jawab ibunya masih saja mempertahankan Lily. Tegar tertawa kecil, Lily dan Lily lagi, cewek itu saja yang ada di pikiran ibunya.
"Ya kalau dia diambil lelaki lain, berarti dia bukan jodohku 'kan Bu?" kata Tegar ingin segera mengakhiri perdebatannya dengan sang ibu. Melihat ibunya lagi-lagi hanya diam dan termenung, Tegar merasa iba, didekatinya wanita terkasihnya, lalu tangan kanannya memeluk pundak wanita itu.
"Ingatkah Ibu ketika Ibu mengajariku untuk tidak melekat pada siapa pun? hanya melekat pada Allah?" kata Tegar. Ibunya jadi tersenyum, Tegar sedang membalikkan posisi, anaknya sedang menceramahinya dengan kalimat yang sering dia gunakan.
"Ya, kamu mau bilang kalau Ibu sudah melekat pada Lily 'kan?" kata ibunya.
"Lah itu Ibu bilang sendiri," kata Tegar sambil tertawa, ibunya ikut tertawa.
"Jangan khawatir, Ibu ada temannya kok. Aku juga menyadari kalau aku terlalu melekat pada Nia, makanya aku sekarang mengalir saja terserah takdir akan membawa aku dan Nia ke mana. Aku hanya ingin membantunya, karena saat ini dia membutuhkan aku," kata Tegar. Tegar pun ingin dipahami bila dia hanya mencintai Arunia, ibunya harus tahu, sulit baginya menerima wanita lain walau wanita itu disodorkan ibunya sendiri.
"Ya, terserah kamu. Ibu suka lupa kalau kamu sudah dewasa," kata ibunya.
"Aku ini bukan dewasa lagi, Bu, sudah menjelang tua," kata Tegar sambil tertawa. "Aku janji setelah urusan perceraian Nia selesai dan mental Nia cukup stabil, aku akan mengakhiri hubunganku dengan Nia," janji Tegar melegakan sang ibu.
Usai perbincangan itu, Tegar merenung lagi. Bisakah dia memenuhi janjinya? Bila dia tak bisa memenuhi janji, berarti dia benar-benar melekat pada Arunia.
Namun Tegar merasa dia hanya mencintai, bukan melekat. Antara melekat dengan mencintai, itu dua hal yang berbeda. Melekat berarti tak mau dipisahkan, sedangkan mencintai itu bisa tanpa syarat, hanya berharap kebaikan untuk yang dicintai.
Tegar merasa tak masalah berpisah dengan Arunia, asalkan Arunia bahagia. Yang dia tak bisa justru melihat Arunia bersedih dan menderita. Apakah itu berarti dirinya masih melekat?
Bahkan terhadap orang yang dibenci pun bisa melekat, karena para pembenci selalu mengikuti berita dari orang yang dibenci, bukankah itu melekat namanya? Makanya ada yang bilang bila antara benci dan cinta itu hanya terpisah serambut dibelah tujuh. Terlalu cinta bisa berubah menjadi benci, juga sebaliknya.
Namun siapakah di dunia ini yang tidak melekat? Barangkali hanya orang-orang suci. Kebanyakan manusia melekat, karena tidak tahu bila kemelekatan adalah sumber penderitaan.
Penderitaannya bersama Arunia juga karena orang-orang yang terlalu melekat. Ibunya yang terlalu melekat pada keyakinannya, keluarga Arunia yang melekat pada etnis dan kepercayaannya.
Tegar jadi teringat sahabatnya, Toto. Senasib dengan dirinya yang jatuh cinta pada wanita keturunan Cina, bedanya Toto berhasil menikahi Sandra karena keberanian Sandra mendobrak tradisi dan siap keluar dibuang dari lingkaran keluarganya.
Toto dan Sandra adalah potret pasangan yang menggunakan cinta mereka sebagai kekuatan. Toto bahkan mempelajari pola pikir keluarga Sandra, dan itu menjadi pengetahuan baru bagi Tegar. Bedanya,Tegar bisa memaklumi pola pikir keluarga Arunia, sementara bagi Toto itu merupakan tantangan untuk membuktikan kepada keluarga Sandra bila dia pun bisa sukses dan bisa membahagiakan Sandra.