Utuh tak Berjeda

Innuri Sulamono
Chapter #10

Utuh

Berdebar Tegar menunggu reaksi Arunia, wajah Arunia tidak berubah, tetap seceria saat mengabarkan bila papanya merestui hubungan mereka.

"Mas ingat ketika mengantarku pulang ke Singapura tiga bulan yang lalu?" tanya Arunia.

"Ya, ingat, kenapa?" tanya Tegar. Seorang pelayan restoran mengantar minuman yang mereka pesan, tetapi Tegar dan Arunia mengabaikannya dan membiarkan minuman mereka tanpa menyentuhnya, pun tak mengucap terima kasih seperti yang selama ini mereka lakukan.

"Waktu itu Mas Tegar mendesakku menjawab, apa yang membuatku mengagumi keluargamu, tapi aku hanya berjanji menjawabnya nanti," kata Arunia.

"Ya, sampai aku lupa Nia pernah janji seperti itu," kata Tegar.

"Aku akan jawab sekarang, sekaligus menjawab pertanyaan Mas Tegar barusan," kata Arunia.

"Ya, aku menunggu jawaban Nia nih," kata Tegar, merasa jauh lebih santai setelah melihat Arunia tetap tenang.

"Tiga hari aku di rumah Mas Tegar saat peristiwa kelam itu. Mestinya aku ketakutan dan trauma, tapi sebenarnya aku malah bersyukur karena aku bisa mengenalmu dan keluargamu dari dekat," kata Arunia. Tegar diam menyimak cerita Arunia.

"Aku memang sakit saat itu, tapi aku bisa merasakan kehangatan keluargamu dan melihat kebiasaan kalian setiap hari. Aku mengagumi cara kalian beribadah dan aku suka sekali melihat wajahmu setelah habis berwudu, Mas," kata Arunia melanjutkan, Tegar tidak menyela, menunggu Arunia melanjutkan ceritanya.

"Wajahmu menjadi berseri padahal kulitmu coklat sawo matang, apalagi setelah kamu selesai salat, wajahmu terlihat damai," kata Arunia lalu diam. Tegar semakin masuk dalam emosi Arunia dan merasakan kalimat-kalimatnya.

"Sejak saat itu aku ingin sekali menjadi muslim, Mas, tapi takdir berkata lain. Semakin lama aku merasa semakin jauh dari keinginan itu, hingga Tuhan mempertemukan kita kembali dan harapanku menjadi muslim hadir lagi," kata Arunia. 

Tegar merasa amat terharu mendengar pemaparan Arunia, batinnya berbisik, "Inikah jawaban atas doa-doaku selama ini, Tuhan?" Diraihnya tangan Arunia dengan kedua belah tangannya, lalu diciumnya dengan penuh rasa syukur.

"Boleh 'kan aku menjadi muslim, Mas? Papa juga sudah merestui," kata Arunia.

"Tentu boleh, Nia, bahkan aku senang sekali mendengarnya," kata Tegar. "Rasanya hari ini adalah jawaban atas perjalanan panjang cinta kita."

Apa yang menjadi kekhawatiran Tegar musnah semuanya, skenario di pikirannya porak poranda. Tak ada yang tahu tentang masa depan selain Dia sendiri. Manusia hanya menjalani hari ini dengan sebaik-baiknya, selebihnya urusan Tuhan.  

"Aku akan membawamu pada ibu dan minta restu beliau untuk segera menikahimu," kata Tegar karena terlalu gembira.

"Sekarang?"

"Ya, habis dari sini," kata Tegar.

"Aku sudah lama tidak bertemu ibu, Mas," kata Arunia, "Aku jadi grogi nih."

"Tak perlu takut, ibuku tidak menggigit kok," kata Tegar dengan perasaan yang amat sangat indah, sebongkah batu besar di dadanya seperti terlepas dan menghilang.

Lihat selengkapnya