Dimas dan Elina berjalan di tengah hutan lebat. Angin yang bertiup sepoi-sepoi membuat suara gemerisik saat menerpa pepohonan mengiringi langkah kedua insan itu, ditambah kicauan merdu dari burung-burung yang saling bersahutan. Tak ada percakapan baik dari Dimas dan juga Elina, mengingat keduanya baru saja bertemu. Tak lama terasa akhirnya mereka tiba di sebuah kebun buah.
Elina melihat hamparan beberapa semak beri lalu menarik tangan Dimas. Gadis penyembuh nampak antusias dan ceria, saat memberitahu mana yang dapat dimakan langsung atau dijadikan obat. Namun, pria Bumi itu hanya diam membisu dengan wajah yang murung.
Elina menepuk pundak lelaki itu dan tersenyum. “Kenapa kamu melamun? Ada masalah apa?”
Dimas hanya menghela napas panjang dan menunduk. Alisnya berkerut dan tatapannya terkesan sendu. Ia masih belum percaya bahwa dirinya kini sudah berpindah ke dunia lain. Tidak hanya di situ. Bagaimana reaksi temannya nanti, jika tahu pria itu tiba-tiba menghilang dan tidak pernah kembali. Tapi bibirnya terasa kaku untuk mengungkapkannya.
Elina menatap lekat wajah Dimas dan tersenyum lembut. “Kalau kamu mau cerita, silakan saja. Mungkin aku bisa sedikit membantu.”
“Aku…. Aku hanya…, khawatir dengan orang-orang di dunia asalku, Bumi,” jawab Dimas kelu, tanpa mengangkat wajahnya sama sekali. Ia menghela napas lalu menambahkan, “Mereka pasti sangat khawatir, jika aku tiba-tiba menghilang dan tidak pernah kembali.”
Elina hanya mengangguk pelan tanpa mengatakan apa-apa, seakan mengerti perasaan lelaki dari dunia lain tersebut. Tak disangka Elina memetik sebuah beri lalu memasukannya ke mulut Dimas. “Makanlah. Aku yakin makanan manis bisa mengurangi kesedihanmu,” ucap gadis pirang itu dengan senyum lembut.
Pria Bumi itu sempat tertegun karena tidak menyangka apa yang terjadi barusan, lalu mengunyah buah beri di mulutnya. Kedua matanya terbuka lebar dengan iris yang nampak berbinar-binar. “Waw. Beri ini benar-benar enak sekali.”
“Benar apa kataku,” ucap Elina dengan bangga. Dia kembali menyuapi beri kepada lelaki yang bersamanya. “Ayo, buka mulutmu. Aaaaah.”
Wajah Dimas merah padam sepenuhnya. Baru sekali ini dalam seumur hidup ia diperlakukan seperti itu oleh wanita. Selama ini pria Bumi itu sama sekali belum pernah terlibat dalam urusan percintaan. Tetapi dia berusaha untuk tetap tenang demi menutupi rasa malunya. “Ti–tidak usah menyuapiku. A–aku bisa makan sendiri.”
“Yang benar?” tanya Elina dengan senyum genit.
Dimas mengangguk pelan lalu menatap semak-semak. Tetapi dia kebingungan, mana buah beri yang dapat dimakan langsung. Dalam hati ia mengumpati dirinya sendiri, yang tidak mendengarkan penjelasan gadis penyembuh itu sebelumnya.
Seakan tahu pikiran lelaki yang bersamanya itu, Elina tersenyum menggoda dan bertanya, “Apa kamu bisa membedakan mana buah beri yang dapat dimakan atau tidak?”
Karena panik, Dimas sontak memetik beri berwarna merah. Pikirnya, itu adalah buah yang dapat dimakan secara langsung. Tanpa banyak basa-basi ia memakannya. Rasa pahit yang menjalar di lidahnya membuat lelaki itu memuntahkan apa yang dimakan sebelumnya. Ia sampai meludah beberapa kali agar rasa pahit dapat berkurang.
Elina tertawa geli melihat reaksi pemuda itu barusan, sampai-sampai harus memegang perutnya. Setelah agak tenang ia berucap, “Itu salahmu sendiri. Habisnya tidak mendengarkan penjelasanku tadi.”
Dimas hanya cemberut tanpa bicara. Langsung saja Elina menunjuk beri berwarna ungu dan memberitahu, kalau yang itu dapat dimakan secara langsung. Lelaki itu pun memetik buah yang dimaksud dan memakannya. Benar saja, rasa manis menyelimuti lidah lelaki itu. Dia kembali memetik beri berwarna ungu dan memakannya terus-menerus seakan ketagihan.
Namun, seketika Dimas mendadak terdiam. Pikirannya tertuju pada ucapan Cheryl sebelum dia pergi berburu. Rasa penasaran menggelitik batin lelaki itu hingga membuatnya bertanya, “Apa mungkin Utusan Suci sebelum diriku juga berasal dari dunia lain?”