Kembali ke Baviles. Setelah membereskan pendaftaran, Dimas dan Elina pergi meninggalkan gedung Serikat Petualang. Setibanya di luar, Elina yang merasa penasaran melontarkan pertanyaan pada Dimas. “Habis ini kamu mau pergi ke mana?”
Dimas terdiam seribu bahasa dan hanya menggeleng sesaat. Dalam hatinya, lelaki itu kebingungan harus pergi ke mana, mengingat dia sama sekali tak memiliki kenalan maupun sanak saudara. Hal ini cukup beralasan, mengingat Dimas tiba-tiba terlempar ke sebuah dunia asing bernama Eoggavar, tempat yang berada jauh dari Bumi.
Untuk memecah keheningan, Elina pun kembali bertanya, “Bagaimana jika kita pergi ke rumahku saja?”
Jantung Dimas seakan meledak dan seketika wajahnya memerah. Dia sama tidak pernah diajak pergi ke rumah seorang wanita sebelumnya. “Ehh? Umm. U–untuk apa?” tanya balik lelaki itu sembari mengalihkan pandangan untuk menyembunyikan ekspresi wajahnya.
Melihat reaksi lelaki itu, Elina menutup bibirnya lalu tertawa pelan. “Aku hanya ingin mengajakmu membeli senjata dan baju zirah. Soalnya keluargaku menjalankan usaha pandai besi.”
Dimas hanya menggaruk kepalanya karena canggung. Dalam hati dia mengumpati diri sendiri, yang menyangka kalau gadis itu akan mengajaknya berkencan. “Ehh. Jadi begitu, ya? Ehehehe.”
Elina hanya tersenyum menggoda dan bertanya, “Kenapa wajahmu memerah begitu? Apa kamu pikir kita akan berkencan?”
Seketika jantung Dimas berdetak kencang, dengan wajah yang merah padam sepenuhnya. Dia kembali membuang pandangan ke arah lain dan berpikir: Bagaimana mungkin gadis pirang itu bisa mengetahui pikirannya? Apa dia bisa membaca pikiran seseorang?
Elina tersenyum kecil untuk menahan tawa. Namun, dalam sekejap wajahnya berubah murung. Dia hanya menunduk, menatap jalan bebatuan yang dipijaki. Nampak jelas sebuah kesedihan merundung hati perempuan penyembuh itu.
Melihat perubahan reaksi dari wanita itu, Dimas mengangkat sebelah alisnya. “Ehh? Ke–kenapa kamu diam saja?”
Namun, Elina terus menatap ke bawah dan menelan ludah. Kata-kata yang akan dia ucapkan seakan masuk kembali ke dalam kerongkongannya. Untuk mengubah suasana, Dimas menepuk bahu gadis itu dan bertanya, “Apa ada sesuatu yang mengganjal? Ceritakan saja.”
Elina sedikit terperanjat karena terkejut. Kemudian ia menggeleng pelan, sembari mencoba untuk tersenyum. “Tidak apa-apa, Dimas. Ayo kita pergi sekarang.”
Di tengah langit senja yang mulai menyelimuti Baviles, dua insan berbeda kelamin itu pun melanjutkan perjalanannya. Namun, Dimas masih merasa penasaran dengan kejadian barusan. Dia sangat yakin Elina sedang menutupi sesuatu, yang mungkin sangat menyakiti hatinya. Merasa tak enak hati, lelaki itu mengurungkan niatnya untuk mencari tahu lebih jauh.
Dimas dan Elina terus berjalan menyusuri jalan bebatuan yang cukup ramai dipadati penduduk. Namun, tak satu pun dari mereka yang berani bersuara. Elina tampak diam membisu, seolah dirundung kesedihan. Sementara itu, Dimas hanya berjalan mengikuti wanita bersurai pirang itu dari belakang.
Tak lama kemudian mereka tiba di distrik timur, yang dikenal sebagai sentra perdagangan Bavilés. Puluhan toko dengan bangunan bernuansa abad pertengahan berjajar di sisi jalan, menjajakan penganan manis dan perlengkapan bertualang. Tak hanya itu, di sana pun berdiri beberapa kios kecil yang menjual bahan makanan berupa sayuran, buah-buahan, daging dan juga roti.
Untuk mengalihkan perhatian, Dimas melihat toko di sekitarnya. Dia tampak kagum dengan suasana ibu kota Kekaisaran, yang sangat berbeda dengan tempat asalnya. Selain bangunan dengan nuansa klasik, kios yang hanya beratapkan kain semakin menambah suasana tradisional. Dimas merasa dirinya seolah terlempar ke masa lalu, mengingat dia sangat menyukai sejarah dunia.
Tak berselang lama, Dimas dan Elina tiba di tengah distrik. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, sebuah toko dengan pelat yang menggantung di samping pintu berlambang palu dan paron terpampang di hadapannya. Di bagian bawahnya terdapat pelat yang lebih kecil dengan ukiran Howell’s Smithy. Tidak salah lagi, itu adalah tempat Elina beserta keluarganya tinggal dan menjalankan usahanya.
Elina menoleh ke arah Dimas dan berkata, “Kita sudah sampai, Dimas. Ini adalah rumah sekaligus tempat usaha keluargaku.”
Dimas hanya berdiri mematung dengan tatapan penuh kekaguman. Baru kali ini dia melihat toko bergaya klasik terpampang jelas di hadapannya. Berbanding jauh dengan Bumi, yang mayoritas bangunannya bergaya modern. Elina berdehem untuk menarik perhatian lelaki itu lalu berkata, “Jangan diam saja, Dimas. Ayo masuk.”
Dimas hanya mengangguk sesaat lalu mengikuti Elina di belakang, Denting lonceng terdengar saat pintu dibuka, seakan memberitahu jika ada pelanggan datang berkunjung. Seketika seorang pria berusia 50 tahunan, dengan rambut beserta kumis dan jenggot yang telah memutih seluruhnya, menyambut mereka dengan senyuman dari balik meja kasir. “Selamat datang. Oh, rupanya kamu sudah pulang, Elina.”
Elina hanya mengangguk pelan dan menjawab, “Iya, Ayah. Maaf jika aku datang agak terlambat.”
Ayah dari perempuan itu dengan santai hanya tertawa. “Tenang saja. Ayah tahu kamu pasti akan pulang dengan selamat. Hahaha!” ujar lelaki paruh baya tersebut sembari berkacak pinggang penuh bangga.