Enam tahun silam, Elina yang baru beranjak 18 tahun bertemu dengan Samuel. Dia adalah tentara rekrutan baru di Kekaisaran Henada. Awal mereka berjumpa saat lelaki itu mengunjungi Howell’s Smithy untuk membeli senjata.
Saat itu Samuel tampak ragu saat melihat beberapa jenis pedang berjejeran di sudut toko. Dia merogoh saku bajunya dan mendapati hanya sepuluh keping koin perak kecil saja. Lelaki itu menyadari harga satu buah pedang berkisar antara lima sampai sepuluh koin perak. Samuel berpikir jika mengerahkan semua uang yang dimilikinya untuk sebuah pedang, dia tak akan mampu membeli perlengkapan lainnya, mengingat Kekaisaran hanya memberi baju zirah saja kepada para prajurit baru.
Melihat situasi ini Elina mendatangi pemuda tersebut dan bertanya dengan senyum lembut, “Apakah kamu sedang bingung memilih senjata yang kamu inginkan?”
“Eh, umm... A—aku tidak punya cukup uang untuk membeli pedang yang bagus,” jawab Samuel dengan wajah yang merah padam karena malu.
Melihat kelakuan pemuda itu membuat Elina tertawa geli. Dia mengambil sebuah pedang berbilah melengkung lalu menunjukkannya. “Kalau begitu bagaimana dengan yang ini? Harganya hanya tujuh perak kecil saja.”
“Eh ... Be—benarkah?” kata Samuel sedikit terperangah.
Elina hanya tersenyum meski kekehan pelan keluar dari bibirnya. “Iya. Apa kamu tidak percaya?”
Samuel menggaruk rambut pirangnya yang pendek karena merasa canggung. “A—aku kira pedang ini harganya sangat mahal.”
Elina hanya menggeleng. Dalam batinnya dia tertawa melihat reaksi lelaki itu. Tak lama berselang, wanita itu kembali bertanya, “Baiklah. Apa ada barang yang lain lagi?”
“Se—sepertinya tidak ada.”
Setelah membayar pedang itu Samuel bergegas meninggalkan Howell’s Smithy. Elina hanya melihat kepergian pemuda tersebut dengan senyuman. Dalam batin gadis itu, dia ingin menggodanya jika bertemu lagi suatu hari nanti.
Benar saja. Selang satu minggu kemudian Samuel mengunjungi Howell’s Smithy. Elina yang berada di balik meja kasir tersenyum menyapa pemuda itu. “Ah, kamu datang lagi. Ada perlu apa?”
“Eh, ah, umm... A—aku hanya ingin memperbaiki pedang saja,” jawab Samuel terbata-bata karena gugup, diiringi wajahnya yang merah padam.
Tiba-tiba Edmund–ayah dari Elina–muncul dari dalam dan bertanya dengan nada lantang, “Hoo, jadi kau lelaki yang dibicarakan Elina waktu itu?”
Sontak Elina maupun Samuel terperanjat karena terkejut setengah mati. Bahkan pemuda tersebut sampai jatuh ke lantai dengan posisi duduk saking kagetnya. Dengan wajah cemberut, Elina menatap ayahnya. "Uhh. Berhenti menggodaku, Ayah!"
Tapi Edmund hanya tertawa terbahak-bahak saat melihat reaksi anak gadisnya itu, meski dia semakin cemberut karena kesal. Setelah agak tenang Edmund menatap Elina dan Samuel bergantian. "Maaf, maaf. Apa kalian sedang berbincang?"
"Sa—saya hanya ingin memperbaiki pedang saya saja. Ti—tidak ada maksud lain, Tuan Edmund," sela Samuel dengan wajah bercucuran keringat.