Langit malam yang gelap akhirnya menyelimuti Baviles. Dalam salah satu ruangan penginapan, Dimas merebahkan tubuh di atas kasur dengan kedua tangan sebagai alas kepalanya. Dengan wajah murung pemuda itu menatap langit-langit. Dalam benaknya, Dimas terngiang dengan jelas apa yang telah ia ketahui, dirinya tidak pernah menyangka bahwa di balik sosok Elina yang ceria dan kadang terus menggoda Dimas ternyata terdapat cerita kelam di masa lalunya.
Untuk sedikit menjernihkan pikiran, Dimas beranjak bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke jendela di sudut lain. Dia menatap deretan rumah di sekitar penginapan yang dinaungi cahaya bulan serta beberapa orang yang masih berlalu-lalang. Dimas hanya melamun karena ada hal lain yang mengganggu pikirannya.
Apa lagi kalau bukan ulah Kesatria Kegelapan dan goblin bawahannya.
Dalam benaknya, Dimas mendapat penglihatan jika para goblin akan menyerang Baviles. Suasana ibukota Kekaisaran Henada yang tenang seketika berubah mencekam. Jerit wanita-wanita terdengar riuh dan para tentara bertarung melawan goblin, selayaknya dalam film laga. Yang paling menakutkan adalah mayat-mayat para penduduk, tentara dan monster bergelimpangan di mana-mana. Keadaan semakin kacau dengan rumor mengatakan bahwa Kesatria Kegelapan memiliki kekuatan besar sehingga tidak dapat tertandingi oleh siapapun.
Seketika Dimas terperanjat, mendapati keadaan di luar penginapan seketika kembali normal seperti sedia kala dalam sekejap mata. Dia kebingungan bagaimana ia bisa mendapat penglihatan aneh barusan. Terlepas dari semua itu, terlintas sebuah keraguan dalam benak Dimas: Mungkinkah dia bisa melawan Kesatria Kegelapan jika harus bertarung satu lawan satu? Secara pria dari Bumi tersebut belum banyak pengalaman dalam bertarung.
Dimas terus merenung tanpa henti, hingga tak sadar malam pun semakin larut. Pemuda itu akhirnya kembali merebahkan tubuh ke ranjang. Namun, rasa kantuk belum menyerang kedua matanya. Dia hanya terus menatap langit-langit kamar, tanpa mampu mengalihkan pikirannya yang masih kacau. Beberapa menit berselang, rasa kantuk mulai membuai lelaki itu hingga membuat kedua matanya berat untuk terus terjaga. Tak terasa kedua mata Dimas tertutup dan tertidur dengan lelap.
***
Cahaya mentari pagi yang menerpa wajah Dimas membuatnya terbangun. Dia segera duduk dan mengangkat kedua tangannya untuk meregangkan tubuh. Tidak dipungkiri semalam pemuda itu kurang tidur, hingga mulutnya menguap sangat lebar. Dengan mata yang masih setengah terbuka, Dimas beranjak dari tempat tidur lalu meninggalkan kamarnya. Meski sedikit sempoyongan karena masih mengantuk, dia turun meski harus memegang pegangan tangga dan berjalan menuruni tangga dengan penuh kehati-hatian agar tidak terjatuh. Setibanya di lantai dasar, dia pun berjalan menuju meja resepsionis.
Margaret, pemilik penginapan sekaligus kedai makan dan Serikat Petualang, merasa khawatir saat melihat keadaan Dimas. Wanita itu pun berkata, "Sepertinya kamu kurang tidur. Apa kamu bermimpi buruk semalam?"
Dimas sedikit terkejut dengan pertanyaan barusan. Dalam hatinya ia tidak ingin membuat wanita 30 tahunan itu mengetahui apa yang dipikirkannya semalam. Pemuda tersebut menggeleng dan menjawab dengan gugup, "Eh, ti—tidak ada apa-apa. Saya hanya tidak bisa tidur dengan nyenyak saja."
"Apa kamu sedang banyak pikiran?" tanya Margaret kembali, seakan mengerti dengan keadaan pemuda berambut hitam pendek itu.
Dimas hanya menggeleng beberapa kali. Dia takut akan membuat Margaret semakin khawatir jika menceritakan apa yang sedang dipikirkannya semalam. "Eh, umm. Ti—tidak. Tidak sama sekali," ucap Dimas gugup.
Margaret hanya tersenyum lembut. “Kalau mau, aku bisa menyiapkan makanan khusus untukmu. Siapa tahu itu bisa membuatmu merasa lebih baik.”
Dimas hanya menggaruk kepala karena merasa canggung. "Eh, umm, baiklah. Terima kasih banyak, Nyonya Margaret."
"Sudahlah, tidak perlu formal begitu. Panggil saja Margaret," ucap wanita itu lalu kembali tersenyum.
Dimas hanya mengiyakan, meski dia nampak menggaruk kepala karena merasa canggung. Sementara itu, Margaret beranjak dari meja resepsionis lalu memasuki dapur kedai. Dimas yang masih sedikit mengantuk hanya duduk menunggu di salah satu meja, sembari menahan diri agar tetap terjaga. Tak peduli seberapa kerasnya berusaha menahan kantuk, lelaki itu pun akhirnya tertidur di meja.
“...an Dimas. Bangun, Tuan. Makanan sudah siap.”
Dimas yang setengah sadar seketika membuka mata lalu menegakkan tubuhnya kembali. Dia mendapati seorang gadis remaja yang bekerja sebagai pelayan kedai membawakan makanan berupa baguette utuh dan semangkuk sup. Untuk mengusir rasa kantuk yang tersisa, Dimas mengucek matanya dan berkata, “Oh, maaf. Aku tidak sengaja tertidur.”