Dimas berjalan meninggalkan kapel dengan wajah yang tampak serius. Baru saja keluar, lelaki itu seketika menghentikan langkahnya dan mengalihkan pandangan ke langit cerah. Dia menarik napas panjang lalu mengeluarkannya secara perlahan, seakan ingin meredakan pikirannya yang terbebani. Setelah mengetahui sejarah kelam Eoggavar, pemuda itu merasa diberi tanggung jawab yang amat sangat besar. Dia beranggapan Farus adalah ancaman nyata yang sangat berbahaya bagi kelangsungan dunia ini.
Dimas sangat terfokus menatap langit, sampai-sampai tak mnyadari bahwa Elina menghampirinya. "Dimas, kamu kenapa melamun begitu? Apa ada masalah?"
Seketika Dimas tersentak karena lamunannya buyar begitu saja. Dia menoleh ke arah Elina dan mendapati bahwa wanita itu membawa keranjang berisi makanan. Dengan wajah gugup sembari menggaruk kepala, Dimas berkata, "Oh. Hai, Elina. Aku hanya kepikiran sesuatu."
Elina mengangkat sebelah alis, seolah ada rasa penasaran yang mengisi pikirannya. "Apa kamu mau cerita padaku?"
Dimas hanya menggeleng pelan. Dia tidak ingin wanita bersurai pirang tersebut mengetahui apa yang dikhawatirkan olehnya. Pemuda itu langsung mengalihkan pandangan ke keranjang berukuran besar dalam dekapan tangan Elina. Merasa pertanyaanya tak dijawab, wanita penyembuh itu kembali bertanya dengan penasaran. "Kenapa kamu diam saja, Dimas?"
"Sepertinya belanjaan kamu banyak sekali. Boleh aku bawakan?" tanya balik Dimas mengubah topik pembicaraan.
Elina hanya menggeleng dan tersenyum. "Tidak usah. Aku tidak mau merepotkan kamu."
"Tenang saja, aku tidak merasa kerepotan sama sekali," ucap Dimas.
"Jika kamu tidak keberatan, boleh saja," jawab Elina lalu tersenyum kembali.
Dimas langsung mengambil keranjang bawaan Elina lalu melangkah beriringan. Di tengah suasana kota yang cukup dipadati oleh penduduk, kedua insan itu berjalan menuju Howell’s Smithy disertai obrolan ringan. Elina memberitahu akan membantu ibunya memasak makan sang sepulang berbelanja, lalu menawari Dimas untuk makan bersama. Namun, Dimas menolak secara halus dengan alasan tak ingin merepotkan wanita tersebut beserta keluarganya.
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa kini mereka tiba di depan Howell's Smithy. Elina mengambil belanjaan dari pria yang bersama dengannya lalu tersenyum. " Terima kasih, Dimas. Padahal kamu tidak perlu repot-repot."
Dimas hanya menggeleng pelan. "Tidak apa-apa. Aku sudah bilang kalau aku tidak merasa kerepotan."
Dengan wajah yang tersipu malu Elina berucap, "Umm, apa kamu mau mampir dulu? Atau mungkin ingin makan bersama keluargaku?”
"Eh? Umm, se—sepertinya aku mau lihat-lihat senjata saja," jawab Dimas canggung. Jantungnya berdegup kencang karena menganggap Elina seolah ingin menemui keluarganya dengan lelaki itu.
"Sudahlah, anggap saja aku ingin berterimakasih padamu." Elina seketika menarik tangan Dimas dan masuk ke dalam rumahnya.
Suara gemerincing bel terdengar saat pintu terbuka. Tepat di balik meja kasir, seorang pemuda berusia 20 tahunan akhir sedang duduk di kursi sambil memberi tatapan datar. Dia memiliki ciri-ciri rambut pendek lurus belah kanan berwarna pirang, tinggi badan sekitar 183 cm dengan otot yang mengisi kedua lengannya, dan mengenakan rompi tanpa lengan.
"Oh. Jadi kau sudah pulang, Elina. Cepat siapkan makanan, aku lapar sekali," ketus pemuda itu.
Elina menoleh ke arah lelaki yang berada di balik meja kasir, yang tidak lain adalah kakak kandungnya sendiri. Dengan wajah cemberut perempuan itu berujar kesal. "Sabarlah, Kak Edward! Aku baru saja datang!"
Edward mengangkat sebelah alisnya, seakan penuh dengan kecurigaan. "Siapa lelaki yang bersama denganmu? Nampaknya kalian mesra sekali."
Menyadari masih menggenggam tangan Dimas, Elina buru-buru melepaskan tangannya. Dalam sekejap wajah wanita tersebut merah padam sepenuhnya. "Eh, ti—tidak seperti itu. A—aku hanya ingin mengajak Dimas untuk makan siang bersama kita!" jawabnya gelagapan sembari menahan malu.
Edward tersenyum menyungging, seolah ingin meledek adik perempuannya. "Kalau begitu, kenapa kau masuk sambil memegang tangannya?"
"I—itu…, karena dia sempat menolak ajakan dariku! Ja—jangan salah paham!" ujar Elina berdalih dan masih merasa malu.