Utusan Kristal Suci

Kecoak Terbang
Chapter #13

012: Langkah Awal Mereka

Malam pun tiba. Dimas yang bermalam di penginapan terlihat sedang duduk santai di atas ranjang. Dari jendela di samping ranjangnya, dia menatap pemandangan malam ibu kota Henada, yang diterangi cahaya bulan dan diselimuti langit gelap penuh bintang. Namun, wajah lelaki tersebut terlihat murung, berbanding terbalik dengan suasana indah di luar kamarnya. 


Dalam pikirannya, Dimas masih teringat kejadian sore tadi. Apa lagi jika bukan perlakuan Cheryl padanya. Benak Dimas masih mengingat dengan jelas bagaimana ekspresi wajah perempuan pemburu itu, begitu sinis seakan penuh amarah. Dimas menarik napas sedalam mungkin, mengeluarkannya secara perlahan sembari memijat keningnya. Lelaki itu terus berpikir apa penyebab Cheryl berperilaku seperti itu? Jika dipikir-pikir lagi, Dimas merasa tidak pernah melakukan hal yang tidak-tidak pada Cheryl. Dia sendirilah yang selalu memperlakukan lelaki itu dengan dingin.


Dimas terus memijat kening seraya mengatur napasnya. Kejadian sore tadi benar-benar membuat lelaki itu tak berhenti untuk terus memikirkannya. Untuk menenangkan pikiran, dia merebahkan tubuh dan menatap langit-langit kamarnya. Merasa bosan, Dimas mengalihkan pandangannya ke arah cahaya lilin dari lentera gantung dan menatap api yang bergoyang mengikuti arah udara. Perlahan matanya mulai merasa berat, bahkan sampai sedikit terpejam untuk sesaat. Akhirnya dia pun tertidur dengan pulas, seolah tidak menyadari ada bahaya yang mengancam ibu kota Kekaisaran Henada. 


*** 


Beralih ke gudang senjata, yang berada tak jauh dari istana. Di dalam sana, tiba-tiba muncul sebuah kepulan asap hitam dan mengeluarkan sesosok pria berzirah hitam. Dia tak lain adalah Diky, sang Kesatria Kegelapan. Pikirannya terfokus pada satu tujuan; menyusup ke dalam istana dan membawa lari sang Putri Kekaisaran. Dengan perlahan dia membuka pintu untuk melihat keadaan di luar, takut ada prajurit yang kebetulan sedang berpatroli. Beruntung, Diky tak mendapati kehadiran satu orang pun tentara Kekaisaran yang sedang berjaga. Merasa lega, Kesatria Kegelapan itu kembali masuk ke gudang senjata, menutup pintu lalu menguncinya dengan sihir telekinesis. 


Diky mengganti zirah kegelapan miliknya dengan zirah standar Kekaisaran Henada, yang dilengkapi dengan pelindung kepala untuk menyembunyikan wajahnya. Tidak lupa pria itu juga mengambil pedang berbilah lurus dan sebuah tombak, yang biasa digunakan prajurit saat berpatroli. Setelah itu, Diky membuka sebuah portal hitam untuk menyembunyikan perlengkapan beratribut kegelapan miliknya. Merasa persiapannya sudah selesai, pria tersebut membuka kunci pintu lalu keluar dari gudang senjata dengan penampilan lengkap seperti tentara Kekaisaran Henada. 


Diky berjalan di sekitar gudang senjata, seolah seperti prajurit yang sedang berpatroli malam. Sial, seorang tentara lain yang kebetulan sedang ikut berpatroli malam ini melihat Diky yang sedang menyamar dari kejauhan. Tentara tak dikenal itu berjalan mendekat seraya berujar dengan lantang. "Hei, kau yang di sana! Berhenti!"


Seketika Diky menghentikan langkahnya karena terkejut. Dia mendapati seorang tentara Kekaisaran yang mendekat sedang menatap heran. Tak disangka, dia justru tertawa dengan keras. Setelah puas tertawa, tentara tersebut berujar dengan nada mengejek. "Jangan bilang kau ini adalah rekrutan baru?"


Diky hanya mengangguk pelan lalu menghentakkan ujung tombak ke tanah, yang menjadi kode etik prajurit Kekaisaran. "Benar sekali, Pak. Saya baru saja bergabung." 


Prajurit tak dikenal itu mengangguk beberapa kali lalu kembali tertawa, seolah sedang menertawai kebodohan Diky. Walau dalam hati merasa sedikit kesal, dia hanya diam seraya berusaha mengendalikan diri agar tidak menimbulkan keributan. Setelah puas tertawa, tentara tersebut berujar, "Kau tidak tahu kapan giliranmu patroli, ya?! Lebih baik kau kembali ke istana, lalu berjaga di dalam sana!" 


"Baik, Pak." 


Diky langsung pergi ke istana tanpa banyak bicara. Dalam perjalanannya, dia hanya tertawa kecil. Lelaki itu senang karena penyamarannya sangat sempurna, hingga sama sekali tak dapat diketahui. Diky sangat yakin, rencananya untuk menculik sang putri akan berjalan dengan mulus.


Setibanya di istana, Diky dihadang oleh dua tentara yang menjaga pintu masuk. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, Diky berdalih ingin berjaga di dalam istana. Untuk semakin memperkuat alasannya, dia mengatakan bahwa dirinya masih berstatus prajurit rekrutan baru. Tidak mau ambil pusing, dua tentara penjaga tersebut akhirnya mempersilakannya untuk masuk.


Diky berjalan menyusuri lorong yang sedikit remang. Lentera berisikan bola sihir yang menyala rupanya tak cukup menerangi lorong yang sepenuhnya terbuat dari batu. Di terus berjalan menyusuri lorong hingga mencapai tangga, lalu naik ke lantai dua. Setelah berjalan cukup lama, pria tersebut melewati sebuah ruangan yang diketahuinya sebagai tempat untuk berdoa.


Di dalam sana, terdapat seorang wanita muda dengan rambut hijau panjang membelakangi. Dia sedang duduk bersimpuh dengan kedua tangan yang mengatup rapat. Di sekitarnya terdapat empat peri kecil yang terbang mengelilingi perempuan tersebut. Diky mengenali sosok tersebut adalah Beatrix Henada, yang tidak lain adalah target sasarannya. 


Diky terus menatap Beatrix yang masih berdoa. Dia tampak serius, sehingga tidak menyadari kehadiran orang yang mengawasi dirinya. Sementara itu, para peri asyik terbang di sekitar sang putri. Tak berselang lama, datang seorang perempuan berujar di belakang Diky. "Hei! Jangan ganggu Tuan Putri yang sedang berdoa! Lancang sekali kau ini!" 


Diky terkejut bukan main, seolah jantungnya hampir saja copot. Dia bahkan sampai menarik napas beberapa kali untuk menenangkan diri. Setelah perasaannya dirasa sedikit membaik, dia berkata, "Ma—maafkan saya, Komandan! Saya hanya …," Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Catalina berkacak pinggang seolah penuh amarah. Dia menunjuk ke samping lalu berujar kesal.

Lihat selengkapnya