Utusan Kristal Suci

Kecoak Terbang
Chapter #15

014: Ingatan Yang Hilang

Setelah mengambil perisai dan makan siang bersama dengan keluarga Howell, Dimas memutuskan kembali ke Serikat Petualang. Dia menemui Margaret untuk menitipkan perisai yang diberikan oleh Edward sebelumnya. Sekilas, pikiran Dimas masih terbebani oleh keadaan finansalnya saat ini. "Umm. Nyonya Margaret, apa saya ..., apa saya boleh bertanya sesuatu?" ucap pemuda itu gugup.


"Silakan. Apa itu?"


Dimas menjelaskan, jika dirinya merasa tak enak hati karena terus menumpang tidur dan makan secara cuma-cuma. Lelaki itu juga menambahkan, sampai saat ini dia masih belum mendapat imbalan dari pekerjaannya sebagai Petualang. Mendengar semua itu, Margaret hanya tersenyum lembut dan berkata, "Tidak masalah. Aku masih ingat dengan jelas, dulu Utusan Suci Pertama yang bernama Diky Ernawan pernah mengalami hal yang serupa."


Mendengar nama Utusan Suci itu, seketika Dimas terdiam. Dalam benaknya, dia merasa pernah mendengar nama itu sebelumnya. Sayang, lelaki itu sama sekali tak bisa mengingat dengan jelas walau sudah berusaha keras menelusuri berbagai kenangan lama dari masa lalunya. Melihat reaksi Dimas, Margaret dengan nada khawatir bertanya, "Kamu kenapa? Apa kamu masih mengkhawatirkan berapa semua biaya selama kamu menginap di sini?"


Dimas menggeleng lemah lalu menarik napas panjang. Pikirannya terus berkecamuk, karena tak kunjung menemukan jawaban atas identitas Utusan Suci sebelumnya. Satu sisi, Dimas sangat yakin pernah mendengar nama Diky Ernawan sebelumnya. Namun di sisi lain, Dimas tak dapat memastikan kapan dan di mana dia mendengar nama tersebut. Melihat lelaki dari dunia lain itu sedang gundah, Margaret kembali tersenyum dan berkata, "Sudahlah. Kamu tidak perlu khawati. Aku akan menangguhkan semua biayamu selama tinggal di sini."


Dimas kembali menggeleng dan berucap, "Bukan itu, Nyonya. Tapi, saya merasa pernah mendengar nama Utusan Suci itu di masa lalu."


Margaret seketika terkejut dan berkata, "Hah? Apa mungkin ..., kamu mengealnya?"


Seketika kepala Dimas terasa sedikit pusing. Dia mengira itu terjadi karena terus memaksakan diri untuk berpikir. Sembari memijat keningnya, lelaki itu menjawab, "Entahlah, Nyonya. Sepertinya saya teringat teman saya saat sekolah dulu, dan kebetulan namanya sama."


"Sudahlah. Lebih baik kamu istirahat saja dulu. Siapa tahu keadaanmu akan membaik," usul Margaret seraya tersenyum.


Dimas hanya mengangguk mengiyakan. Setelah menerima kunci kamar, dia bergegas meninggalkan meja resepsionis menuju ruangannya di lantas atas. Setibanya di dalam kamar, lelaki itu langsung merebahkan tubuhnya di ranjang sembari menatap langit-langit. Rupanya Dimas terus berusaha menggali ingatannya di masa lalu untuk mencari tahu; Siapakah Utusan Suci yang bernama Diky Ernawan itu?


***


Hari pun berganti. Sinar mentari pagi yang menyeruak dari jendela menerpa wajah Dimas hingga membangunkannya. Seketika lelaki itu duduk dan menggeliat, dengan kedua mata yang setengah terbuka. Kemudian dia memegang kepalanya yang dirasa berat seolah sedang tertimpa batu besar. Rupanya identitas Utusan Suci Pertama terus menggerogoti pikiran Dimas, membuat dirinya tidak bisa tidur dengan nyenyak. 


Dengan malas, Dimas beranjak dari ranjang dan membasuh wajah dari ember yang diletakkan di sudut ruangan. Rasa kantuk yang berat membuat dirinya lemas seakan tidak berdaya. Seingatnya, semalam dia hanya tertidur beberapa jam saja. Namun, dia berjalan meninggalkan kamar karena tidak ingin membuang waktu dengan bermalas-malasan, meskipun ia lupa untuk mengunci pintunya kembali. 


Bak orang yang sedang mabuk, Dimas berjalan melewati satu demi satu kamar dengan langkah gontai. Kepalanya cenat-cenut seperti dipukul di sana-sini. Rasa kantuk rupanya masih menghinggapi pemuda itu. Setibanya di tangga, Dimas menuruni satu per satu anak tangga dengan hati-hati menuju lantai dasar. Namun, kakinya tidak sengaja terpeleset sehingga membuatnya terjatuh salah satu anak tangga dengan posisi duduk. Rasa sakit yang menjalar ke sekujur tubuhnya membuat rasa kantuk hilang begitu saja. Pria tersebut langsung berdiri dan mengusap bokongnya yang sakit. 


Margaret yang sedang menunggu di meja resepsionis seketika mendatangi Dimas dan khawatir melihat keadaannya. "Kamu kenapa? Apa kamu terluka?" 


Dengan kedua mata yang masih belum terbuka sepenuhnya, Dimas menatap wajah Margaret. Pemuda itu hanya tertawa canggung karena merasa malu. "Ma—maaf ..., Nyonya Margaret. Sa—saya ..., cuma terpeleset saja." 


Margaret hanya menghela napas panjang lalu menggeleng. "Apa kamu baik-baik saja?"


Dimas hanya menggeleng tanpa berkata apa-apa. Dia berusaha untuk kembali berdiri dengan bantuan teralis tangga. Dengan ekpresi khawatir, Margaret kembali bertanya, “Kamu kenapa, Dimas? Apa mungkin semalam kamu tidak bisa tidur nyenyak?”

Lihat selengkapnya