“Jadi enam orang, ya,” ujar pria di pos pengawasan setelah menuntaskan keterangan di catatan buku tebalnya di atas meja.
Alex mengangguk seraya menoyodorkan beberapa lembar rupiah pada pria tersebut. Mata Alex menangkap kesunyian di laman catatan si pria. Sepertinya sepi pengunjung, mungin juga dikarenakan sekarang sudah memasuki awal musim penghujan. Jadi ya, tak banyak yang mau berkemah di belantara menghijau di hadapan keenam muda-mudi tersebut, alih-alih mendaki bukit.
“Oh, silakan tuliskan nomor hape yang nanti bisa saya hubungi,” ujar pria itu lagi dengan sopan, bahkan dengan dialek Sunda yang cukup kental.
“Ouh iya, Kang—” sambung Alex sembari menuliskan nomor ponselnya sendiri, lantas menunjuk beberapa temannya dengan maksud tidak hanya satu nomor saja yang mereka tinggalkan di catatan tersebut. Ayunia menggantikan Alex menuliskan nomor ponselnya di lembaran. “—Mobil kita tinggal di sini saja, ya,” sambung Alex dan lantas menadahkan tangan pada Gita. Gita memberikan apa yang dikehendaki sahabatnya itu. “Dan ini tambahan untuk lihatin mobil kita ya, Kang.”
Pria empat puluh tahun tersenyum mengangguk. “Sebentar,” ujarnya.
Lantas pria tersebut menghilang di balik pintu yang ada di belakang satu-satunya meja di ruangan kecil semi-permanen itu.
“Dua nomor saja, ya?” tanya Ayunia pada yang lain setelah menuliskan nomor ponselnya sendiri.
Juna mengangguk. “Cukuplah itu mah. Lagian di atas sana gak bisa calling-calling-an juga kok. Susah sinyal.”
Ayunia melongo, “Terus buat apa dong nomor ini?” tunjuknya pada lembar catatan di atas meja.
Alex terkekeh, menepuk bahu gadis berambut panjang tersebut. “Udaaah…,” ujarnya. “Masih bisa kok—tapi hanya di sekitaran kabinnya saja. Jauh dari itu, yaa kek yang dibilang Juna barusan.”
Semua kepala mengangguk mengerti. Ucapan Alex barusan adalah satu bentuk peringatan pada mereka semua, jika terjadi sesuatu dan sedang berada jauh dari kabin penginapan, sesegera mungkin mereka harus berada tepat waktu di kabin tersebut agar dapat menghubungi si penjaga pos pengawasan—yang sekarang sudah kembali dari ruang belakang.
“Aak, Teteh,” ujar si penjaga pos sopan seraya meletakkan sejumlah barang ke atas meja. “Ini lampu senter masing-masing satu. Tiga parang buat jaga-jaga—apa mau dilebihkan, Aak?”
“Cukup itu mah, Kang,” sahut Roy seraya meraih benda-benda di atas meja tersebut. Membagikan senter ke teman-temannya.
Dan tiga buah parang sepanjang lima puluh sentimeter tersebut untuk sementara dipegang oleh Roy sendiri.
“Me—memangnya di atas banyak binatang berbahaya ya?” Ayunia cukup bergidik melihat ketiga parang di tangan Roy tersebut.
Si penjaga pos terkekeh geleng-geleng kepala. “Jarang-jarang kok, Teteh,” ujarnya.
Lantas ia memberikan masing-masing pada keenam sahabat tersebut satu lembar kertas memo yang berisikan nomor ponsel si penjaga itu sendiri. Tidak, bukan jenis tulisan ketikan, hanya ditulis tangan saja kelihatannya.
“Ya paling enggak, bisa buat motong-motongin kayu bakar kalau mau bikin api unggun, kan?” sambungnya lagi. “Tapi jangan lupa dimatikan kalau udah selesai, ya?”
Semua kepala mengangguk. Tentu saja mereka tidak ingin menjadi penyebab bencana kebakaran hutan hanya karena terlalu bergembira hingga lupa mematikan api.
“Makasih, Kang,” sambut Ayunia menerima lembaran tersebut, begitu juga dengan lima lainnya.