Seseorang dengan gerak-gerik mencurigakan terbungkuk-bungkuk, menyeret-nyeret sesuatu di antara kelebatan semak belukar. Suara dengus dan helaan napasnya yang tak beraturan menyiratkan jika benda yang ia hela setengah mati itu adalah sesuatu yang besar dan berat. Cahaya bulan di sepertiga awal malam kali ini tak banyak membantu, sosok itu tidak terlihat begitu jelas, pun begitu dengan benda yang ia seret. Sesekali ia mengawasi keadaan, memandang ke sekeliling di antara kegelapan yang ada, dan kembali menyeret sesuatu tersebut.
Di tempat terpisah, lima orang muda-mudi seperti menyisir lantai hutan—tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan. Berbekal lampu senter di tangan masing-masing, kelimanya menyerukan satu nama yang sama. Cahaya senter menyorot acak ke beberapa titik.
“Roy…!”
“Roy, please…!”
“Ayolah men—Roy, jangan becanda!”
“Ke sana, ayoo!”
“Roy…!”
Kelimanya berbelok, menyisir ke sisi kiri kegelapan setelah seorang di antara mereka mencoba memeriksa jejak pada rerumputan basah oleh embun yang mulai meniti malam. Suara panggilan kembali bergema di keheningan, sesekali ditingkahi kelebat sayap kelelawar dan nyanyian serangga malam.
Sosok mencurigakan hentikan aksinya, mendongakkan kepala. Pendengaran dipentang lebar, deru napas seakan mampu menghadirkan uap menutupi wajah. Benar, ada suara-suara yang sayup-sayup sampai ke telinganya. Kelebat cahaya senter juga terlihat di kejauhan, sepasang mata menyipit, pantulan redup cahaya bulan seakan kilat menyambar dari bola matanya.
Didahului sebuah dengusan, sosok tersebut bergegas menghela benda yang kini terlihat siluetnya, dan itu seperti satu tubuh seseorang yang… mungkin dalam keadaan tak sadarkan diri. Ia menyeret-nyeret dengan cepat. Belasan langkah di belakangnya ada satu lubang. Lubang yang cukup lebar dan itu sepertinya galian baru, tumpukan tanah basah teronggok di beberapa sisi lubang. Aroma humus sedikit menyiksa indra penciuman.