Laju mini-bus hitam itu biasa-biasa saja membelah kebekuan malam di atas jalan beraspal mulus. Di kejauhan, meski gelap, namun bayang perbukitan sudah terlihat jelas seolah tirai besar yang menghalangi cahaya sang bulan.
Desau angin layaknya belati es yang dingin menusuk hingga ke tulang, masuk lewat celah jendela mobil yang tak tertutup sempurna sebab satu-dua dari penumpangnya lebih suka menikmati aroma tembakau yang dibakar daripada segelas kopi hangat.
“Lo bisa gak sih, Lex,” dengus Gita cemberut sembari mengenakan tudung dari jaket yang ia kenakan. “Matiin tuh rokok and close that goddamn window!”
“Santuy aja kali, Buk…!” kekeh Alex menikmati isapan asap rokok di tangan.
“Serah lo, Pak,” dengus Gita melipat kedua tangan di depan dada.
“Kalian itu kenapa sih?” kekeh seorang rekan di bangku paling belakang, ia dan teman di sampingnya sama tengah menikmati kopi hangat. “Ribuuut mulu kalau ketemu.”
“Shut up, Ron!” Gita melampiaskan kekesalannya pada makanan ringan yang tergeletak manja di antara posisi ia duduk dan Ayunia di sisi kanannya.
“Gita sebenernya naksir ma gue, Bro—”
Duaak…
Alex melenguh kala sandaran kursi yang ia duduki ditendang sedemikian rupa oleh Gita yang duduk tepat di belakang Alex.
“Adduuh…,” Juna yang duduk di belakang di samping Ronald menepuk jidat, bahkan bunyi tepukan itu sendiri cukup kencang. Alhasil ia pun meringis mengusap-usap kening. “Hancurin aja, Git, mobil Bokap gua ini, hancuriiin…”
“Sorry,” ujar Gita datar sembari menikmati makanannya. Di sampingnya, Ayunia kelihatan pulas dalam balutan sweater abu-abu di tubuh. Gita mendengus geli sebab sedikit bisa mendengar dengkur halus dari mulut temannya itu.
“Lu diem-diem bae, Roy,” sambung Juna menyindir rekan mereka yang sekarang tengah memegang kendali akan arah dan laju mobil. “”Masih idup gak tuh? Lex, coba tolong digampar!”
“Tidur dia,” sahut Alex acuh tak acuh saja menikmati rokoknya.
“Pulang-pulang tinggal nama doang ini,” balas Juna sebelum menyeruput lagi kopi di tangan.
“Sesuai permintaan Anda, Tuan Muda,” kekeh Roy sembari terus memperhatikan jalanan. “Kita mati bersama.”
“Waaa…!”
Semua penumpang di dalam mobil sama berseru riuh rendah sebab Roy tiba-tiba membawa mobil tersebut dengan kecepatan tinggi dan bergerak zig-zag. Alex berseru sebab gara-gara gerakan zig-zag itu tak sengaja justru ujung rokoknya yang terbakar tersenggol tangannya sendiri hingga ia melonjak-lonjak kepanasan. Juna dan Ronald sama mengutuk Roy dengan lantang sebab kopi di tangan sama berhamburan membasahi pakaian dan celana mereka. Gita terpekik sebab tubuhnya oleng dan pelipis kiri membentur jendela mobil, dan lantas melempar sejumput makanan ringan di tangan pada Roy yang terkekeh puas mengerjai teman-temannya tersebut.
“Aaa,” Ayunia mendengus dalam tidurnya, antara sadar dan tidak. “Alex!” serunya tanpa membuka mata sama sekali, bahkan posisi tubuhnya masih sama seperti sebelum Roy mempermainkan laju mobil.
“Eeh…!?” delik Alex, dan menahan tawa melihat ekspresi tidur cewek yang satu itu.