Sekolah itu terletak tidak jauh dari stasiun kereta. Halamannya dicor semen dan berfungsi sebagai lapangan upacara. Pada papan nama yang terpasang di depan halaman, tertulis nama sekolah tersebut. SMK Berkarya Untuk Indonesia, SMK BUI.
SMK BUI menyelenggarakan pendidikan kejuruan dan sebagai sekolah alternatif bagi masyarakat pinggiran di wilayah Timur. Sekolah itu menampung murid-murid yang siap kerja, sehingga secara psikologis anak-anaknya nampak lebih dewasa disbanding murid-murid sekolah menengah atas. Walau terkadang dalam pandangan masyarakat, murid-murid STM lebih terkenal sebagai anak-anak yang suka tawuran. Sebagian besar murid-murid SMK BUI berasal dari luar kota. Mode transportasi mereka berupa motor atau naik kereta, sehingga ketika masuk atau bubaran sekolah menampilkan kebisingan dan hiruk pikuk lalu lintas sekitarnya.
Pagi itu di halaman sekolah SMK BUI tampak penuh murid-murid yang terlambat. Oleh Guru Piket, mereka yang terlambat distrap atau ditahan di lapangan sebelum mereka diizinkan masuk kelas. Mereka disuruh berbaris di tengah-tengah lapangan di dekat tiang bendera.
Bel sudah berbunyi hampir setengah jam yang lalu. Namun karena sebagian besar anak-anaknya masih tertahan di lapangan, sehingga banyak kelas yang masih kosong.
Seorang guru bergegas masuk kelas XI Elektro yang terletak di lantai dua. Guru itu nampak kecewa karena kelas baru terisi sebagian. Pak Sidhi, Guru Bahasa Inggris, keluar lagi dan melongok ke bawah. Dari lorong kelas di lantai dua, Pak Sidhi mengamati kedatangan murid di halaman sekolah. Di halaman bawah sana terlihat beberapa anak-anak yang datang terlambat. Tak heran bila sekarang kelasnya baru terisi sebagian karena selebihnya masih di bawah sana, di barisan anak-anak terlambat itu.
Pak Aritonang, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, berteriak-teriak ke arah anak-anak itu. Dia memberi komando kepada anak-anak yang terlambat untuk berlari-lari mengelilingi lapangan basket.
“Hei, lari yang kenceng! Jangan seperti cowok kaleng-kaleng…!” teriaknya. Mendengar itu segera beberapa anak mempercepat larinya.
“Sini kamu, jongkok!” teriaknya lagi kepada beberapa anak yang masih males-malesan berlari, “Kalau kamu ogah lari, sit-up lima puluh kali…! Cepat!” Anak yang ditunjuk itu pun melakukan apa yang diperintahnya. Wajahnya merah. Entah karena kepanasan atau karena menunjukkan perasaan tidak suka kepada gurunya.
Sementara itu, masih di lantai dua, Pak Sidhi sudah masuk ke kelas. Dia membagikan kertas ulangan kepada beberapa anak yang sudah siap di kelas.
“Okay, pay attention please! As I told you some days ago, today we’re having weekly test. Do you remember?” tanyanya pada anak-anak di kelas. “Bapak sudah mengingatkan bahwa hari ini kita ada ulangan. Kalian masih ingat?”
“Yes, Sir!” jawab anak-anak.
“Ya paaaak, saya masih remember!” sahut seorang anak lelaki kurus dari pojokan kelas.
“Okay, terima kasih kalau masih ingat! Sebelum kalian mengerjakan ulangan Bahasa Inggris ini, tolong dengarkan sebentar!” katanya sambil menatap anak-anak itu. “Mungkin lembaran itu menjadi ulangan yang terakhir bila pesertanya hanya separo kelas. Artinya, Bapak tidak mau memberi kesempatan kedua untuk susulan ulangan. Oleh sebab itu Bapak tidak ingin kalian selalu terlambat seperti ini. Kalian harus mencoba disiplin dan tepat waktu…!” Pak Sidhi tidak melanjutkan kalimatnya. Kata-katanya mengambang di udara. Dia sendiri ragu apa yang harus disampaikan kepada anak-anak ini. Dia tidak yakin dengan komitmen murid-muridnya tentang kesungguhan mereka untuk belajar. Dia menyadari bagaimana kondisi murid-murid di SMK ini. Rata-rata mereka berasal dari lingkungan yang kurang peduli terhadap pendidikan. Sebagian dari mereka sekolah supaya punya bekal agar bisa cepat kerja, dan sebagian lainnya ke sekolah hanya untuk mengisi waktu daripada menganggur di rumah.
Pak Sidhi, sebagai seorang guru swasta dia diperbolehkan mengajar di beberapa sekolah. Kebijakan di sekolah swasta biasanya mengakomodir hal tersebut sehingga tidak menjadi masalah, yang penting guru-guru itu bisa membagi waktu dengan jam pelajaran yang menjadi tugasnya. Tidak seperti teman-temannya yang sampai mengajar di 3-4 sekolah, Pak Sidhi hanya mengajar di dua sekolah dengan alasan agar tidak terlalu menyibukkan dirinya. Saat ini saja jadwal mengajarnya sudah sangat padat untuk mengajar di SMK BUI dan SMA DJ.
SMK BUI dan SMA DJ. Ya ibarat dua kutub yang berlawanan, atmosfir sekolah yang bertolak belakang. Dia bisa merasakan perbedaan kondisi di kedua sekolah tempatnya bekerja. Seperti dua kasta yang berbeda.
SMA DJ, salah satu sekolah swasta favorit di ibu kota. Dia merasa beruntung dia bisa mengajar di situ. Sebuah institusi sekolah yang mempunyai lingkungan dan atmosfir yang ideal untuk pembelajaran. Selain sarana belajar yang representative, sekolah itu juga mempunyai program-program kegiatan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman. Murid-murid di SMA DJ pun lebih mandiri dan antusias dalam proses belajar dan melaksanakan tugasnya. Mungkin karena anak-anak itu berasal dari keluarga yang berlatar belakang melek pendidikan sehingga mereka juga mempunyai motivasi yang tinggi dalam belajar. Atau karena orang tua mereka yang sudah membayar mahal biaya sekolah, sehingga mereka mempunyai ekpektasi yang tinggi pula terhadap pencapaian prestasi anak-anaknya. Hal tersebut membentuk semangat dan motivasi anak-anaknya dalam menuntut ilmu di SMA tersebut.
Sementara SMK BUI, seperti yang digambarkan masyarakat, adalah sebagai lingkungan belajar atau sekolah nomor sekian. Selain sekolahnya terletak di lingkungan yang tidak kondusif dengan sarana belajar yang tidak memadai, murid-muridnya pun berasal dari keluarga yang kurang peduli pendidikan. Mereka menyekolahkan anak-anaknya sebagai pengisi waktu saja. Sukur-sukur setelah lulus dan mendapat ketrampilan, anak-anaknya mendapat pekerjaan. Sebagian besar orang tua itu tidak tahu lika-liku dunia pendidikan. Mereka tidak tahu apa yang dilakukan anaknya di sekolah, mata pelajaran apa yang diikuti, atau bahkan mereka juga tidak peduli dengan apa yang dilakukan anaknya setelah pamit keluar rumah. Hal tersebut pula yang menjadikan murid-murid di SMK ini cuek, kurang sungguh-sungguh, dan tidak disiplin. Dan di tempat ini dia dituntut untuk menyesuaikan gaya belajar anak-anak SMK yang cenderung lebih longgar.
Bagi Pak Sidhi, sebenarnya bukan masalah sarana atau nama sekolah yang membuat dirinya kurang merasa nyaman mengajar di SMK BUI ini. Pendekatan kepada murid dalam mendisiplinkan mereka dan model pengajaran di sekolah ini yang tidak sesuai dengan cara pengajarannya.
Di SMK BUI ini, pendekatan yang diterapkan adalah model kekerasan. Bila ada murid yang berlaku indisipliner, entah anak terlambat, atau ketahuan merokok, mungkin anak berantem, atau anak tidak bawa tugas, sudah dipastikan mereka mendapat sangsi yang sama, yakni hukuman fisik. Hukuman berupa lari keliling lapangan, dibotaki rambutnya, disiram air, bahkan berupa pemukulan, menurutnya sudah tidak sesuai dengan kejiwaan anak-anak. Murid-murid itu bukannya jera, tetapi malah menjadi lebih bebal dan susah diatur. Entah kenapa rekan-rekan guru di SMK ini senang dengan pendekatan yang menurutnya kurang tepat.
Dalam beberapa rapat dewan guru dia sudah menyampaikan, bahwa anak-anak itu sebenarnya harus sudah dianggap seperti manusia dewasa. Harus mendapat perlakuan yang dewasa pula. Mereka tidak mau mendapat hukuman fisik dan tidak rela pula dipermalukan. Maka sangsi yang diberikan kepada yang bermasalah pun harusnya yang sesuai dengan perkembangan kejiwaan mereka. Dalam rapat guru dia sudah sering menyampaikan, namun pendapatnya itu sering ditentang oleh guru-guru yang lain. Bahkan beberapa dari mereka menganggap cara itu terlalu lembek.
Dalam sebuah rapat bulanan yang penuh ketegangan, hampir terjadi baku hantam antar guru. Agenda diskusinya waktu itu tentang hukuman bagi murid yang terlambat. Dari data guru piket, jumlah murid yang terlambat semakin banyak. Banyak murid yang datang lebih dari pukul 07.00, waktu bel berbunyi. Beberapa guru mengusulkan agar memberi hukuman, dari model penyetrapan sampai mengunci gerbang sekolah. Ada beberapa guru yang memberi usulan lebih moderat, agar ada diberi kelonggaran sampai 07.15. Pak Sidhi mengusulkan supaya jam masuk sekolah diundur saja menjadi 07.30. Dia punya argumen, karena sebagian besar murid-muridnya tinggalnya jauh dari luar daerah. Mereka naik angkot atau kereta api ke sekolah dengan durasi 1-2 jam, sehingga kalau jam masuknya pukul 7 tepat mungkin kurang pas. Menurutnya, daripada banyak murid yang terlambat lebih baik peraturannya yang disesuaikan. Hal ini, sekali lagi berdasar kenyataan bahwa anak-anak itu rumahnya sangat jauh. Lokasi sekolah yang berada di dalam perkampungan, sangat menyulitkan bagi sebagian murid yang tidak punya kendaraan pribadi. Hanya beberapa anak dari mereka yang ke sekolah bawa motor.
Pak Sidhi tahu benar kondisi anak-anak, karena pernah bercerita kepadanya di sela-sela belajar atau waktu mereka bermain ke rumahnya. Dengan dua kali naik angkot atau metro mini, mereka mencoba ke sekolah tepat waktu. Tapi karena memang kondisi kemacetan yang luar biasa setiap pagi, anak-anak itu mengaku sulit untuk tiba di sekolah pukul tujuh tepat. Walau pun, katanya dari rumah jam lima, tetap saja terlambat.
“Belum lagi kalau kita ketemu anak-anak dari sekolah musuh di jalan, Sir”! kata salah satu murid waktu itu, “Jadi kita harus berurusan dululah dengan mereka. Ya, paling gak bacok-bacokan dikit-lah….!”, lanjut anak itu yang diikuti tawa dan celoteh teman-temannya.
“Karena mereka suka provokasi kita, kan jadinya cekcok, Sir. Karena ribut dulu, adu bacot dulu, akhirnya sampai di sekolah jam delapan lewat, Sir!”
“Lagian kenapa sih kalian ini suka berantem? Ribut sama sekolah lain, tawuran segala macem?”, tanyanya kepada mereka.
“Sebenarnya kita itu damai and adem Sir. Tapi mereka itu reseh….! Bla-bla-bla….!”, ujar salah satu murid menjelaskan duduk perkara kenapa mereka suka berantem dengan anak-anak sekolah lain.
Pak Sidhi tidak tahu mengapa anak-anak SMK itu mempunya ciri khas kegiatan di luar sekolah yakni tawuran. Ikonik banget. Dia juga tidak paham mengapa suatu sekolah bisa menyimpan dendam ke sekolah lainnya turun temurun sampai ke adik-adik kelasnya selama bertahun-tahun. Setiap anak dari SMK A bertemu anak yang beda sekolah atau pakai seragam SMK B pasti rebut dan berantem.
Fakta tentang tawuran dan perkelahian massa, bila dilihat dari catatan media, telah terjadi sejak tahun 60-an. Tawuran tersebut bisa melibatkan antar kelompok organisasi massa, antar geng penjahat, antar pelajar, bahkan bisa antar warga kampung. Bagi para pelajar, penyebab tawuran karena mereka memang sedang mengalami krisis identitas. Identitas diri yang mereka cari adalah bentuk pengalaman terhadap niai-niai yang akan mewarnai kepribadiannya.
Tawuran antar pelajar biasanya dilakukan secara kelompok dalam bentuk perkelahan massal. Penyebab mereka berselisih bisa karena persaingan antar sekolah, karena dendam temurun dari kakak kelas, atau bahkan bisa karena hal-hal sepele misalnya ledek-ledekan ketika mereka berpapasan. Ketika mereka berkelahi tentu bukan hanya menimbulkan kekacauan di lokasi tawuran, tetapi juga berdampak sangat luas yakni menjadi masalah sosial.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat, dalam satu tahun bisa terjadi seratusan lebih tawuran pelajar yang berimplikasi pada masalah hukum. Beberapa kasus bahkan termasuk kepemilikan senjata tajam.
Walau pun akibat dari perkelahian ini sangat serius, bisa menimbulkan luka-luka, bahkan sampai korban nyawa, tetapi mereka tidak pernah jera, bahkan dengan bangga menganggapnya sebagai eksul wajib.
Pak Sidhi ingat, pernah suatu hari dia ke sekolah sambil membawa murid yang berdarah-darah kepalanya karena berantem. Waktu dia mau berangkat ke kantor, terpaksa berhenti karena ada rebut-ribut anak sekolah berantem. Setelah dia lihat ternyata mereka adalah murid-murid dari sekolahnya. Itu terlihat dari jaket yang dipakai beberapa anak itu. Salah satu dari mereka bocor kepalanya karena kena lempar lempengan besi dari musuhnya. Terpaksa dia harus turun dari motornya dan mengantar dulu anak tersebut ke rumah sakit.
“Jangan ditolong..! Biar mampus sekalian!” kata Pak Aritonang waktu itu. Padahal maksudnya waktu itu memang mau menolong. Tapi Pak Sidhi dicap sebagai guru yang terlalu memanjakan anak-anak, tidak tegas, terlalu longgar. Padahal menurutnya, dia hanya bertindak wajar saja. Jangankan muridnya sendiri, bahkan murid dari sekolah lainnya pun pasti dia akan berbuat yang sama, membantunya.
Dari sikap, cara pendekatan Pak Sidhi ke anak-anak, dan juga metode mengajarnya yang sesuai dengan gaya murid-murid, maka hal ini yang membuatnya cukup dekat dengan anak-anak, baik di SMA DJ atau pun di SMK BUI ini.
Dia sering berselisih pendapat dengan guru-guru yang lain. Menurutnya sikap rekan-rekannya itu masih sangat konvensional. Menggunakan pendekatan model zaman dulu. Dan yang lebih membuat dia kecewa karena rekan-rekannya itu nir-empati terhadap permasalahan anak. Hal itulah yang sering membuat suatu kasus menjadi lebih rumit dari yang seharusnya.
Kadang-kadang dia merenung, kalau bukan karena Si Farid, dia mungkin sudah keluar dari sekolah ini. Farid adalah sohib waktu kuliah dulu. Dia yang membantu mencari kamar buat kos ketika baru tiba dari kampung. Karena belum mampu mencari tempat yang murah di dekat kampus, akhirnya Farid menawarkan salah satu kamar di rumah buatnya. Keluarganya menggratiskan kamar kosnya itu sampai akhirnya dia mampu mencari kontrakan yang lebih luas. Kebetulan babenya, Pak Haji Ridwan adalah ketua yayasan dan pengelola sekolah di SMK ini. Dulu disebutnya STM. Waktu awal berdirinya sekolah ini, Farid pernah minta tolong supaya dia ikut membantu mengajar di sekolahnya. Sementara Si Farid sendiri bekerja di pabrik mobil. Jadi, untuk membalas budi Farid dia ikut membesarkan sekolah ini.
Entah kenapa murid-murid biasa memanggil Pak Sidhi dengan sebutan Mr. Jawa. Baik di SMA DJ atau di SMK BUI anak-anak merasa akrab dengan panggilan tersebut. Mungkin panggilan itu diberikan karena logat Pak Sidhi yang kental medok jawa-nya. Pak Sidhi kelahiran Jawa Tengan, tepatnya dari Magelang. Walau bernada Jawa, namun ketika sedang berbicara dalam bahasa Inggris, bicaranya sangat fasih dengan aksen British-nya sangat kentara.
Kalau lagi semangat ngajar, ngomongnya nerocos berbahasa Inggris tanpa jeda, sampai akhirnya salah seorang anak nyeletuk, “Sir... Sir, ngomong apaan sih, Sir? Jangan cepet-cepet apa!”
Pak Sidhi masih bujangan. Dia tinggal di kontrakan bersama dengan Tino, keponakannya. Anak itu dititipkan oleh kakaknya karena tidak mampu membiayai sekolah anaknya. Pak Sidhi tidak keberatan, justru dia senang karena ada teman di kontrakannya. Pesan ayah Tino, dia dia ingin anaknya bisa bersekolah yang bisa cepat mendapat kerja agar bisa membantu orang tuanya di kampung. Akhirnya Tino diajaknya bersekolah di SMK BUI, satu sekolahan dengan tempatnya mengajar.
Dari Tino-lah kadang-kadang Pak Sidhi bisa mendapat info tentang masalah murid-murid SMK BUI. Atau kadang-kadang teman-teman Tino main ke kontrakan untuk curhat kepadanya. Pada saat itu mereka bercerita kepadanya tentang berbagai masalah atau mengeluhkan sikap guru Anu dan guru Anu. Meski tidak semua kebijaksanaan sekolah itu jelek, tapi menurut mereka sebagian besar peraturan sekolah itu sangat egois, begitu mereka menyebutnya. Menurut anak-anak, sekolah maunya menang sendiri. Pak Sidhi cuma tersenyum mendengar pengaduan anak-anak itu.
Dari murid-murid yang sering main ke kontrakan, dia hafal nama beberapa anak, terutama sahabat Tino. Ada Deni, anaknya cukup cerdas. Penampilannya pun cukup gaul. Ada lagi Coky, anaknya cukup macho dengan penampilan sok cool. Biasa dipanggil Coy. Lalu ada Benny, agak-agak kuper tapi cerdik. Karena postur badannya yang bulat, teman-temannya memanggilnya Big Ben. Ada satu lagi Teman Tino yang kelihatan bener belajarnya, yakni si Ferdy.
Sebenarnya bukan hanya anak-anak SMK saja yang sering main ke rumahnya, anak-anak SMA DJ pun tak jarang mengunjunginya. Dengan mengajar di kedua sekolah tersebut, dia bisa menemukan perbedaan yang kontras. Bahkan ketika mereka main ke rumah, tanpa keluar rumah pun dia bisa tahu murid dari sekolah mana yang datang. Tentu saja dari suara kendaraan yang mereka pakai.
Bila yang terdengar suara knalpot Vespa, pasti teman-teman Tino atau anak-anak SMK BUI. Tapi bila desisnya lembut, bahkan nyaris tak terdengar pasti anak-anak SMA DJ yang datang dengan mobil mewahnya. Dia suka tersenyum bila mengingat hal tersebut. Memang sangat beda. Karakternya. Semuanya.
----- *** -----