VALE N' TINO

Yant Kalulu
Chapter #9

BUCIN

Suara bel panjang berbunyi. Dari pintu-pintu kelas di SMK BUI berhamburan murid-murid keluar dengan mencangklong tasnya. Jam baru menunjukkan pukul sepuluh pagi. Tetapi mereka sengaja dipulangkan lebih pagi karena dewan guru mau mengadakan rapat. Seperti bunyi edaran yang kemarin dibagikan ke murid-murid, bahwa hari ini guru-guru mau ada meeting bulanan.

Sudah menjadi kebiasaan bagi murid-murid seusia mereka, kalau mendapat kesempatan pulang pagi, tidak ada satu pun dari mereka yang langsung ke rumah. Pasti mereka pergi main atau entah kemana.

Setelah keluar parkir, Tino membawa Vespanya menuju ke warung Bu Indun. Di sana teman-temannya sudah menunggu. Si Gun mau ngajak ke pergi ke SMU Pahlawan. Katanya lagi ada Students Expo. Anggota gengnya tertarik mau ikut. Tapi Tino sendiri ragu-ragu karena sudah terlanjur janji mau nemenin Vale siang ini.

“Cuy, ikut kita ke Students Expo yuk!” ajak Si Gun.

“Sampai jam berapa?” dia balik bertanya.

“Yaa, sebelum maghrib kita pulang deh!”

“Waduh, gue gak bisa ikut kalau acaranya sampai sore! Pastinya kita pulang jam berapa?” tanya Tino setelah temannya menjelaskan tujuan mereka.

“Idih, loe kaya cowok pingitan aja sih, mau main pake nanya-nanya kapan pulangnya.” ujar Benny, salah seorang temannya. “Mau kita pulang tengah malem, emang siapa yang peduli?”

“Bukan begitu, Ben…” potong Deni, “Tino ini sekarang sudah gak jomblo. Sudah laku dia, makanya belagu. Apa-apa harus tepat waktu.”

“Iya, kalo gak on-time bisa diceraiin dia!” ledek Coky.

“Bukan begitu, gue udah terlanjur janji semalem…” kata Tino menjelaskan, “Gak enak dong kalo tiba-tiba kita batalin. Gimana kesan dia entar ke gue kalo ternyata gue cuma bisa obral janji. Gue bukan tipe cowok yang suka PHP...!”

“Iye-iye, gue paham! Jadi loe gak ikutan nih?” tanya Gun, “Ya udah kita jalan, yuk! Ferdy, loe gak ikut juga, nyesel loe. Di sana gebetannya cakep-cakep lagi…!”

“Gue juga ada acara entar siang. Titip aja ya, bawain cewek yang bening tiga!”

“Sorry, yang ini bukan sekelas pizza. Gak bisa dibawa-bawa. Harus habis di tempat, he… he…! Udah, kita jalan, ya. Salam buat emak-emak kalian!” ujar Gun lagi sambil menggeber motornya. Beberapa teman menyusul dari belakang. Tinggal Tino sama Ferdy yang masih duduk di warung Bu Indun.

“Loe mau kemana, Fer?” tanya Tino, “Mau ngapel siang juga?”

“Enggak, gue mau betulin tugas elektro kemarin. Gue penasaran, kayanya udah rapi, eh begitu kemarin gue setel kok kagak ada ngeffect-nya.”

“Loe udah tes power-nya belum?”

“Udah…, gue rasa ada komponennya yang gak bener!” jelas Ferdy, “Loe sendiri bener mau ke Vale? Sudah sampai kemana sih hubungan loe sama dia?”

“Belum apa-apa! kita cuma berteman kok…!”

“Cuma berteman? Berteman gimana maksud loe?”

Tino nampak ragu-ragu mau menceritakan hubungannya dengan gadis murid om-nya itu. Meskipun mereka sudah lumayan dekat tapi dia gak yakin apakah Vale serius dengannya atau hanya sekedar teman biasa. Kalau toh Vale benar-benar ingin berteman, Tino sendiri ragu apakah dia bisa menyesuaikan dengan kehidupan Vale yang borju itu.

“Kadang-kadang gue jadi keder, Fer. Apakah gue bisa jalan bareng sama Vale?” tanya Tino polos.

“Ha.. ha…, loe itu norak ya! Kenapa mesti berpikir seperti itu. Kalau orang mau nge-date mah cuek aja. Bersikaplah seperti air, mengalir dan nikmati. Ikuti aja kemana dia menuju. Sebagai pihak yang posisinya under-dog loe jangan ngasih janji-janji,” kata Ferdy panjang lebar, “Lagian kalau gue lihat, dia anak baik and gak matre, karena pada dasarnya dia sudah tajir!”

“Jadi gue harus gimana?”

“Yang pasti, don’t change your color! Karena dia itu tertarik ke loe pasti karena ngelihat loe apa adanya. Be yourself, gak usah neko-neko!” ujar Ferdy lagi, “Seperti sekarang nih, sorry gue kritik penampilan loe. Gue yakin loe mau berusaha agar Vale terkesan sama loe, ya kan? Tapi dengan berubah seperti ini dia justru malah akan kaget. Belum tentu dia suka dengan perubahan gaya loe,” kata Ferdy sambil memegang-megang rambut Tino.

“Maksud loe potongan rambut gue ini?” tanya Tino.

“Yuupp, loe gak harus tampil beda. Dengan bentuk rambut Mohawk seperti ini, so what gitu lohh! Loe mau jadi siapa? Karena jujur aja loe kelihatan lebih cool dengan gaya rambut yang kemarin-kemarin…!”

Mendengar kritikan dari temannya tentang penampilannya, Tino diam. “Ooh gitu, ya? Thank you Fer, loe udah ngasih masukan yang bagus buat gue!”

“Tapi itu menurut kacamata gue sih, Tin. Semuanya sih terserah loe…!”

“Enggak Fer, loe benar! Gue emang gak mesti berubah untuk membuat dia terkesan. Vale juga pasti lebih suka dengan aku apa adanya.” kata Tino sambil beresin tasnya, “Ya udah gue jalan dulu, Fer!”

“Langsung ke rumah Vale?”

“Enggak, dia belum pulang dari sekolah.” kata Tino sambil beranjak menuju ke Vespanya, “Gue mau ke salon, ngrapiin rambut gue dulu!”

“Sippp…! Salam buat Vale. Gue juga mau langsung pulang, nih!” ujar Ferdy pula.

  

----- ***** -----

  

Hari sudah larut, di dalam kamarnya di sebuah apartemen Vale terlihat masih ngobrol dengan seseorang lewat telpon. Di seberang telpon, tantenya membujuk Vale agar pulang. Dia mengingatkan bahwa papinya marah-marah karena ngijinin dia nyewa apartemen sendiri.

“Besok loe mesti pulang, Vale!” kata Tante Becca, “Gue yang kena damprat papimu. Dibilangnya gue melindungi seorang pemberontak!”

“Udah, cuekin aja, Tante! Orang di rumah juga percuma. Sama-sama sepi gak ada penghuni!”

“Iya, tapi menurut papi loe mendingan loe tinggal di rumah Tante jadi ada yang ngawasin!”

“Yaa, papi emang kolot. Masak gue mesti diawas-awasin, emang gue gadis pingitan. Hari gini masih suka ngatur, gak jaman deh!”

“Gue bilang juga begitu, tapi papimu tambah marah!” ujar tantenya, “Ya udah terserah Vale, tapi loe kudu bisa jaga diri, ya! Kalo ada apa-apa buruan telpon Tante, okey!”

“Sipp lah Tante! Ehh, tapi Tante gak ngasih tau kan alamat apartemen ini?”

“Papimu sih ngebujuk Tante supaya ngasih tau. Tante bilang loe akan ngasih tau sendiri kalo loe-nya udah tenang. Gitu kan?”

“Ya, benar! Thank you, Tante! Udah ya Vale mau bobo dulu…!”

“Ya udah, jangan banyak bolos loe ya!”

Vale merasa lega setelah menerima telpon tantenya. Berarti semuanya masih aman. Meski papinya marah-marah tapi menurut tantenya dia belum berniat memaksanya pulang. Sebenarnya dia ngeri juga membayangkan kalau papinya marah dan berbuat nekat.

Setelah meninggalkan pesan ke Bi Siti, Vale pamit tidur. Vale mencoba memaksa menutup mata dan berusaha untuk tidur, tetapi semakin berusaha justru rasanya semakin segar. Akhirnya daripada capek gulang-guling, dia memutuskan untuk menghubungi Tino. Beberapa saat kemudian dia asyik chatting dengan Tino.

Lihat selengkapnya