Kisah dimulai di negeri Sakura. Hiro membuka jendela kamarnya yang berukuran besar. Wajah pucatnya diterpa hembusan angin. Helaian rambut hitamnya pun menari-nari diatas kepalanya. Saat ini, ia tinggal seorang diri di rumah kuno yang lumayan besar. Ditengah cuaca yang dingin, ia menyeduh tehnya sambil berdiri di samping jendela kamarnya yang kokoh dengan warna cat yang memudar. Cuaca sungguh dingin dimusim semi pertamanya. Bola matanya berkaca-kaca terkena angin sepoi-sepoi yang terus memasuki jendela kamarnya. “Kring... Kring..”, Seketika sekelebat koran mengenai kepalanya dan diiringi suara lonceng sepeda. Tak salah lagi, itu Mitsuo Masato teman sekelasnya. Pemuda berkacamata dengan senyum khasnya. Seketika itu, ia teringat akan pertemuan pertamanya dengan pemuda itu.
Malam itu sungguh menegangkan. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Kao tumbang. Seiring ia melangkahkan kaki, ia terus menerus menyalahkan dirinya sendiri. “Seharusnya saat ini Kao masih hidup. Mengapa orang-orang yang kusayangi meninggal dengan tragis..? Ibuku dan adik perempuanku. Sekarang, Kao, pengawal kerajaan yang sekaligus menjadi sahabat karibku. Selama ini hanya dia yang setia mendengarkan semua keluh kesahku disaat semuanya sibuk dengan penugasan masing-masing. Apakah aku membuat kesalahan dengan keberadaanku di dunia?”
“Bodoh..!!”, Hiro memukul kepalanya sendiri beberapa kali. “Hei..! Siapa disana?!”, suara terdengar dari arah yang berlainan. Tampak seorang pemuda berkacamata berjalan mendekati. Hiro masih tak dapat melihat jelas wajah pemuda itu. Lampu jalan yang remang-remang menerangi sebagian sisi trotoar, sisanya gelap total. Pemuda itu kini berdiri tepat dihadapan Hiro. Wajahnya tampak asing baginya. Kini ia menatap langsung ke mata sipit pemuda berkacamata itu. Tiba-tiba, pemuda itu mendekatkan wajahnya ke wajah Hiro sambil sedikit menyipitkan matanya yang sudah sipit. “Kau pendatang baru ya..?”, ia kembali ke posisi semula lalu membetulkan letak kacamatanya yang sedikit turun. Hiro terdiam seribu kata. Tak tau harus berkata apa. Bahasa yang diucapkan pemuda itu terdengar sangat asing bagi Hiro.
Sepertinya, pemuda itu dapat membaca tatapan kebingungan dari Hiro. “Kalau begitu, kenalkan. Aku Mitsuo Masato”, pemuda itu menyodorkan tangannya. Tertera senyuman yang sangat khas diwajahnya. Hiro melihat tangan pemuda itu yang mengantung dihadapannya. Ia tampak ragu awalnya. Apakah pemuda dihadapannya saat ini sedang memperkenalkan dirinya? Hiro perlahan menyambut tangan itu. “Hiro. Dai Akihiro.” Dengan secercah senyuman, pemuda itu berkata, “Ngomong-ngomong, dimana kau tinggal? Mungkin saja kau salah satu tetanggaku. Dan... lihatlah, pakaian apa yang kau kenakan itu? Tampak sangat…… bagaimana aku mengatakannya? Sangat….. tampak sangat klasik. Tetapi tidak terlalu buruk. Aku menyukainya. Apa yang kau lakukan diluar sini? Di malam-malam seperti ini, umumnya orang-orang sudah terlelap didalam mimpi masing-masing. Tetapi malang sekali nasibku, kawan. Aku mengidap insomnia dan setiap malam kesusahan untuk tidur.” Pemuda bernama Mitsuo Masato itu terkekeh pelan. Perkataan pemuda itu yang panjang lebar menciptakan percikan-percikan hebat di otak Hiro bak syaraf-syarafnya yang bekerja dengan sangat gesit. Mempelajari, menyerap, menghafal, dan menyimpannya. Hiro tampak memutar bola matanya dan agak ragu untuk menjawab. “A-aku... Aku baru saja tiba dari luar kota. Apa kau tau rumah yang hendak disewakan?”
“Oh, kalau begitu kau ikut aku saja. Kebetulan, pamanku punya rumah kosong. Tetapi rumah itu terlihat sangat kuno. Apa tak masalah?” Hiro mengangguk cepat setelah mendengar perkataan dari pemuda yang bernama Sato itu. Iapun secara tidak sadar menyunggingkan senyuman untuk pertama kalinya pada pemuda itu dan memperlihatkan gigi kelincinya. Pemuda dihadapanya terhenyak sejenak, terpesona. Dalam perjalanan mereka, angin tampak tak bersahabat. Ujung-ujung helaian rambut hiro terombang-ambing karenanya. Hiro tampak mendesah pelan. “Apakah begini sambutan untuk kedatangan putra mahkota raja..?”, ia tampak sesekali membetulkan posisi rambutnya.
“Darimana asalmu?”, suara Sato memecah keheningan jalan. Hiro bergumam sejenak lalu berkata, ”Aku dari ibukota.” Hiro mulai membuka bibirnya yang nyaris kering karena terkena angin malam. Pemuda disampingnya tampak sedikit melirik ke arahnya, “Kau dari Tokyo? Pasti sangat menyenangkan bisa tinggal disana. Andai saja aku bisa kesana, pasti aku akan lebih sedikit pintar dengan sistem pendidikan dan teknologi yang lebih maju dibanding kota-kota lain.” “Jadi Tokyo ya?” Mereka berdua terdiam sejenak. Lalu Sato memulai pembicaraannya lagi. “Aku sebenarnya hanya sekedar mencari angin segar saja. Terkadang orang yang mengidap insomnia membutuhkan suasana yang meneduhkan suasana hati, lalu aku dapat mencoba tidur kembali”, terlihat senyuman kecil dibibir pemuda berkaca-mata itu. “Sepertinya, kau seumuran denganku. Apakah kau sudah memutuskan untuk melanjutkan sekolah dimana?” lanjut Sato. “Sekolah?” Hiro tak langsung menjawab. “Belum”, jawab ringan Hiro. “Bagaimana kalau di sekolahku? Pasti akan sangat menyenangkan karena kita sudah saling kenal”, mata Sato yang sipit itu terbuka lebar dengan senyuman merekah dibibirnya. Hiro melamun sejenak lalu mengangguk.
Entah telah berapa menit mereka berjalan. Akhirnya Sato menunjukkan sebuah rumah kuno diseberang jalan. Sebernarnya lebih pantas disebut dengan rumah angker. Didukungnya dengan pepohonan lebat mengitarinya serta beberapa lampu redup yang hanya menerangi sudut-sudut halaman. Dan sesekali terlihat sesuatu yang berjalan diantara pepohonan yang kokoh lalu menghilang dengan cepat. Ketika Sato mencoba membuka gerbang tua itu, seketika sesuatu berterbangan ke angkasa. Entah itu burung ataukah kelelawar. Dengan suara-suara khas mereka, seakan-akan tengah memanggil datangnya angin bertiup kembali untuk kesekian kalinya. “Selamat.... Datang.... Tuan... Muda...”, suara itu terdengar nyaris seperti bisikan kecil tepat ditelinga kanan Hiro. Ia seketika menoleh ke sisi kanannya. Namun ia tak melihat apa-apa. “Maklumlah.... Rumah tua...”, Sato masih berusaha membuka gerbang karatan itu dengan paksa. “Tampaknya gerbang ini telah mati!”, Sato terkekeh memecah keheningan malam. Menambah humor atas kegagalannya itu. “Akan kucoba”, Hiro melangkahkan kakinya mendekati gerbang itu. Terlihat jelas warna hitam pekat yang melapisi gerbang itu. Tampak masih cukup terawat dan tak mungkin kalau gerbang ini telah berkarat.
“Kalau kalian mengenal siapa aku, maka ijinkanlah aku masuk.” Hiro menggapai kedua besi dihadapannya. Ia tampak menghembuskan nafas panjangnya lalu perlahan ia menarik tuas itu. Tanpa ada sedikit perlawanan, gerbang itu terbuka dengan mudahnya. “Wow... well done, Hiro. Sepertinya rumah ini telah menerima kedatanganmu”, Sato menepuk pundak Hiro dengan ekspresi takjub. Hiro hanya tersenyum puas lalu melangkahkan kakinya. “Berapa aku harus membayar sewa rumah ini?”, Hiro menoleh ke arah Sato. “Ini gratis untukmu. Lagipula, tidak ada seorangpun yang mau untuk menempati rumah ini selain kau”, jawab entengnya. “Terima kasih, Mitsuo_san”, senyum kecil tertuju pada Sato. “Jangan terlalu kaku seperti itu. Panggil aku Sato saja.”
“Selamat datang pangeran...”, beberapa pohon tampak menyapaku. Aku hanya tersenyum kecil menyadarinya. Disamping dari itu semua, aku masih berputar-putar dengan pertanyaan besar didalam pikiranku. Apakah kedatanganku ini telah dinanti..? Ada apa dengan semua kejadian aneh ini?
“Desain bangunannya sangat klasik, berbeda dengan rumah yang lainnya”, kataku singkat. Sato tampak menerawang jauh. Terlihat tengah mencari kata-kata untuk memulai bercerita. “Konon kata pamanku, rumah ini adalah milik seseorang yang pernah ia kenal. Tiba-tiba ia menghilang begitu saja, dan meninggalkan sebuah surat. Surat itu berisi bahwa pamanku berhak untuk mengambil alih rumah itu sampai akhirnya nanti seorang keturunannya menempati dan tinggal dirumah itu. Sampai sekarang, tak ada kabar tentang hal itu.” Hiro tersenyum kecil memahami alur cerita Sato. Kini ia dapat memahami mengapa semua ini begitu familiar baginya. Beberapa hari sebelum terjadi penyerangan itu, ayah memanggilku untuk membicarakan sesuatu yang tampaknya serius. Entah mengapa, seketika ayah membicarakan tentang dunia manusia padaku. Suatu hal yang baru kuketauhi bahwa aku dilahirkan didunia manusia. Aku tau betul, posisiku selalu membawa aura peperangan. Perang dingin sampai perang panas. Bahkan, sejak kecil aku telah diperlihatkan oleh jasad prajurit dan orang-orang yang mati akibat peperangan. Sungguh mengerikan bagi seorang anak kecil. “Tidak apa-apa, kakak. Semua akan baik-baik saja”, Berkali kali, adik perempuanku menenangkanku. Namun pada akhirnya, ia juga menjadi korban dari semua itu. Aku naik pitam saat melihat adikku satu-satunya meninggal dalam pelukanku. Namun apa yang dapat kulakukan? Aku hanya dapat memendam gejolak kencang dalam diriku yang saat itu masih seorang anak kecil. “Jangan menangis, kakak. Aku tak suka melihat wajah jelekmu saat menangis.”, kulihat ia mengalirkan air matanya sekali lagi. Namun, air mataku jauh lebih deras darinya. “A-apa yang dapat ku lakukan untuk menolongmu? Katakan, apa yang harus kulakukan saat ini?”, aku berusaha berbicara ditengah tangisku.
Ia tampak menggeleng dan tersenyum kecil. “Tersenyumlah untuk mengantarkanku pergi. Tersenyumlah untuk terakhir kalinya. Aku ingin melihat senyuman itu terakhir kalinya untuk pengantar tidurku.” “Bagaimana bisa?! Bagaimana bisa aku tersenyum disaat-saat seperti ini?!”, nadaku meninggi. “Tentu bisa. Bayangkan hal-hal yang indah. Bayangkan bahwa aku akan baik-baik saja”, nadanya mulai merendah. Seketika tangisku berhenti. Namun setetes demi setetes air mataku masih mengalir. Secara tidak sadar, tatapanku jauh menerawang kearah wajah mungilnya yang polos. Tengkuk belakangnya nyaris putus karena sabetan pedang. “Kau bisa melakukan apapun yang kau mau. Karena kau........... adalah kakakku”, kulihat ia perlahan menutup kedua matanya dan tangannya lemas terjuntai ke lantai. Aku membeku sesaat. Air mata seketika mengalir deras membanjiri pipiku lagi. Aku menggoyang-nggoyangkan tubuhnya yang telah tak bernyawa. Aku berteriak sejadi-jadinya saat itu. Robekan di pelipisku semakin melebar. Terasa sangat perih. Beberapa meter dari tempatku bersimpuh, kobaran api semakin besar mengiringi teriakanku yang semakin menggila. Sejak saat itu, aku hidup berdua dengan ayah.
Tak kusadari, kami telah berada didepan pintu rumah ini. Jujur kukatakan, desain rumah ini begitu klasik mirip seperti bangunan di dunia vampir. Serasa kenangan yang kembali terbuka bagai lembaran-lembaran buku yang siap untuk dibaca ulang. “Pamanku tidak pernah mengunci rumah ini. Namun tak ada seorangpun yang berani mencuri barang-barang di dalam. Lihatlah, rumah ini kalau diperhatikan dari luar sangat mirip dengan rumah hantu. Tetapi, jangan dinilai sesuatu dari luarnya saja. Namun lihat dulu dalamnya seperti apa. Rumah ini memang terlihat angker dari luar. Namun dalamnya…..”, Sato meraih kedua gagang pintu itu dengan sigap. Terdengar suara khas dari pintu rumah kuno yang menambah kesan angker. Kedua daun pintu itupun merespon gaya dorongan dari tangan Sato. Kini, pintu itu telah terbuka dengan lebarnya. Seakan telah kedatangan tamu istimewa.
Kesan pertama kali yang kudapat adalah sebuah ruangan yang sangat gelap. Aku tak dapat melihat apapun yang ada didalam sana. “Dengan sedikit cahaya saja sudah dapat menunjukkan keindahannya”, Sato segera menekan tombol lampu dibalik daun pintu itu. Cahaya-cahaya yang sangat terang dari beberapa lampu pun berlomba memenuhi ruangan yang luas itu. Kini dapat kulihat keindahan interior rumah kuno ini. Dekorasi ruangannya mengingatkanku pada masa-masa renaisans. Sangat elegan dan mempunyai jiwa seni yang berkelas. Serasa seperti di duniaku sendiri. “Banyak orang menilai sesuatu dengan melihat dari sisi luarnya tanpa melihat sisi dalamnya terlebih dahulu. Itu yang membuat rumah ini terbengkalai seperti sekarang dan tak ada yang menghuninya. Selama puluhan tahun rumah ini kosong. Namun, entah mengapa isi rumah ini masih terjaga kebersihannya. Jika rumah ini terjual maka akan laku dengan harga ratusan juta yen. Namun sepertinya roh penjaga rumah ini tidak akan menerima hal itu. Seolah-olah rumah ini telah disegel dan tak ada yang mau membelinya dengan harga yang murah sekalipun”, Sato tertawa sambil menatapku. Untuk saat ini aku hanya dapat terdiam mendengarkannya. Namun, apa yang terjadi? Mengapa tiba-tiba terdengar sebuah jeritan seorang wanita yang memekakkan telingaku? Mengapa hanya aku saja yang dapat mendengarnya?
Beberapa detail ingatanku dimasa kecil telah terhapus oleh kejadian-kejadian yang kelam. Trauma dan takut akan mengingatnya lagi. Hei... dimana aku sekarang? Dan kemana perginya Sato? Kini kusadari bahwa aku tengah berdiri seorang diri didepan pintu rumah ini. Tampak sepi dan sunyi. Lampu-lampu masih berlomba menyinari ruangan yang kosong ini. Tanpa diperintah, kakiku melangkah dengan sendirinya memasuki ruangan. Sekejab aku terhenti. Mataku tertuju pada anak kecil yang tiba-tiba muncul disisi ruangan. Ia tengah duduk meringkuk dan menangis. Anak kecil itu adalah...... aku?
“Hiro, kita harus pergi sekarang juga”, seorang wanita paruh baya menghampirinya. Seketika kedua mataku tertuju pada wanita yang berwajah mirip seperti ibuku itu. Anak laki-laki itu tangisnya semakin menjadi-jadi. “Aku tidak mau! Aku takut kembali kesana!”, rengeknya. “Tak apa Hiro. Kau tak akan melihat hal seperti itu lagi”, seorang laki-laki yang berbadan kekar datang menghampirinya. Lalu ia menggendong anak laki-laki itu. Anak kecil itupun menghentikan tangisnya dan mengusap air mata dipipinya. “Janji?”, ia mengulurkan jari kelingking. Lalu ayahnya tersenyum dan mengangguk. “Ayah berjanji”, lelaki itu menyambut jari kelingking kecilnya. Aku hanya dapat terdiam melihat semua adegan itu. Bertanya-tanya apa yang sebenarnya tengah terjadi. Apakah aku bermimpi? Namun semua ini terlihat begitu nyata. Beberapa saat kemudian, mereka berjalan dengan terburu-buru kearahku. Dan anehnya mereka melewatiku begitu saja. Seakan- akan mereka tak menyadari keberadaanku. Namun kulihat anak kecil itu sekilas menatapku dengan linang air mata disudut matanya.
Ketika mereka hendak keluar rumah... “BRAAKKK..!!” Tenyata ada sepasang tamu yang tak diundang membuka dengan kasar pintu yang tepat berada dibelakangku. “Yang Mulia Raja..... Kerajaan Vampir Chizu, sahabatku. Hendak pergi kemana? Tampaknya sedang terburu-buru. Apakah kedatanganku ini akan menganggumu? Hendaklah anda menjamu terlebih dahulu tamu yang datang dari jauh ini. Kami sangat lelah.” Salah satu wajah dari kedua orang itu sangat familiar bagiku. Bibir sumbingnya, bekas luka dikeningnya.... Tak salah lagi, dia adalah utusan dari Kerajaan Vampir Souka yang telah membunuh ibuku! Namun, siapakah balita yang tengah digendongnya itu? Sekejab pertanyaanku muncul. Aku memiliki firasat buruk tentang hal itu. Disamping itu amarah lamaku kembali bergejolak dalam diriku saat melihat wajah busuknya. Tak pikir panjang, kulayangkan tinjuku tepat diwajahnya. Namun, hanya udara yang dapat kupukul! Tanganku tak dapat menggapai mereka.
Dadaku telah dipenuhi oleh amarah. Namun ucapan pertama yang keluar dari mulut orang itu membuatku tercengang. “Bagaimana dengan kesepakatan kita? Bukankah kau bersedia merawat Hana? Dengan kata lain, Pangeran Hiro akan menjadi milik Rajaku. Sudah menjadi tradisi bukan bahwa suatu hubungan bisa terjalin dengan erat dan cara ini sudah berlaku sejak ribuan tahun yang lalu didunia kita. Sungguh picik bahwa itu hanya berlaku untuk rakyat rendahan, bahkan keluarga bangsawan seperti kitapun dapat melakukannya”, orang itu melipat tangan didepan dadanya dengan senyumannya yang mengembang. “Hana? Gadis kecil yang selalu mengagumiku ternyata bukanlah adik kandungku.....?” “Asal kau tau, aku tidak pernah menyetujui kesepakatan itu!”, baru kali ini aku mendengar nada tinggi dari ayah. Ayah semakin mendekap anak laki-laki yang berada dipelukannya itu. “Apakah ini jawaban yang pantas Paduka ucapkan untuk sahabat karibmu? Dan apakah aku rela menyampaikan pesan menyedihkan ini pada Rajaku? Kalau kau tak mau menyetujui itu, biarlah aku merebut pangeran Hiro dengan caraku sendiri. Jangan menyesalinya jika kau akan kehilangan banyak nyawa.” Kulihat ia mengeluarkan sebilah pedang dari balik punggungnya.
Aku mengingat kejadian ini. Aku pernah mengalaminya. Perlahan air mataku tanpa diperintah keluar begitu saja. “Jangan... Jangan... Jangan lakukan itu!!”, aku berusaha menghentikan ayunan pedang itu. Namun yang kupukul hanyalah udara! Kulihat ayah menyerahkan anak laki-laki itu pada ibu. “Cepat bawa Hiro lari”, bisik ayah pada ibuku. Kedua orang itu berjalan mendekati ayahku. Dan pedang itu masih tercengkram kuat di tangannya. Dengan cepat, salah satu dari mereka berlari menuju ayahku lalu mengarahkan pedang di lehernya. Segera ayah menangkis pedang itu dengan lengannya. Terlihat goresan ringan pada lengan pucatnya itu. Si utusan itu terkejut saat menyadari bahwa pedangnya tiba-tiba tumpul. Itu salah satu sihir ayah. “Sepertinya, pedangmu ini tak berhasil untuk memutuskan lenganku. Memerlukan sedikit bantuan?”, terlihat senyuman sinis dari ayah. Dengan cepat ayah merebut pedang yang digenggamnya itu lalu memukul dengan keras dada laki-laki itu hingga terhempas menghantam tembok. Dengan satu ayunan ayah menggesek ujung pedang itu pada lantai yang bertekstur gerigi itu dan sekali gesekan cukup membuat ujung pedang menjadi runcing. Tak pikir panjang, kulihat ayah segera melempar pedang dan menembus leher lawannya diseberang sana membuat badannya menancap dipermukaan dinding. Disamping sisi, vampir yang memiliki bibir sumbing itu melayangkan pedangnya tepat pada ibuku yang hendak melarikan diri ke pintu belakang. Tiba-tiba, benda tajam itu menusuk punggungnya begitu dalam. Menyaksikannya, kedua kaki ku terasa lemas sehingga aku jatuh berlutut dilantai. Kudengar tangisan anak kecil itu seiring tubuh ibuku yang lemas dan tergeletak di lantai.
“Hiro....”, wanita itu berusaha melepaskan pedang yang menancap pada punggungnya. “Ibu….”, pipiku semakin dibanjiri air mata ketika melihat ibuku tengah kesakitan yang teramat sangat. Mendengar tangisan putranya, ayahku segera memutar badannya untuk melihat keadaan anak dan istrinya. Satu detik...... dua detik...... bahkan sampai detik ketiga, ayah masih terpaku berdiri ditempat. Ekspresinya menunjukkan sebuah kesedihan yang teramat dalam. “Maafkan aku, Yang Mulia. Namun, ini bukanlah sepenuhnya kesalahanku. Andai saja kau bisa diajak bekerjasama, tentu saja hal seperti ini tak akan terjadi”, kata utusan itu dengan tanpa rasa bersalah sedikitpun. “Dasar kau iblis”, dengan langkah cepat ayah berlari kearahnya dengan mengarahkan tinjunya kearah wajahnya. Namun dengan mudahnya ia dapat menangkis serangan ayahku. Sehingga membuatnya jatuh terpental beberapa meter. Ayah menahan tubuhnya yang terhempas dengan kaki kanannya kearah belakang sehingga membuat suara decitan dilantai. “Dulu, kau telah mengajariku dengan baik teknik ini, kawan. Kau melupakan kenangan bersejarah itu?”, jawab sinisnya. “Kau telah salah jalan, temanku”, kata ayah sambil beranjak berdiri. Ayah meraih sebilah pedang yang terpajang didinding dan duel dimulai. Sudah tertera goresan demi goresan pedang pada kulit mereka yang pucat itu. Perih dan kadang mati rasa karena ada syaraf yang terputus.
Suara pedang yang beradu itu membuat lampu ruangan semakin redup. Redup dan semakin redup disebabkan oleh suasana hati yang penuh amarah di dalam ruangan itu. “Wahai Sang Raja Penguasa, jika sekarang kuputuskan batang lehermu itu, siapakah yang akan menolongmu? Pengawalmu, prajuritmu, ataukah panglima perangmu? Tak ada seorangpun disini kecuali aku. Mulailah memohon, maka akan kupikirkan kembali.” Nyawa ayah sekarang bagai diujung tombak. Tubuhnya sekarang terpelanting dan pedangnya terlepas dari tangannya. Terlihat senyuman kecil pada sudut bibir ayah, “Tentu bukanlah pengawalku, prajuritku, bahkan bukan juga panglima perangku yang akan menolongku. Tetapi Allah yang akan menolongku!” Mendengar kata ‘Allah’, tangan si utusan itupun menjadi gemetar dan jatuh berlutut. Dengan sigap ayah merebut pedang lawan lalu segera berdiri. “Bagaimana jika sekarang aku yang akan menusukkan pedang ini ke lehermu, temanku? Siapakah yang akan menolongmu?”, kata ayah dengan suara lantang dan mengarahkan mata pedang kearah wajah lawannya itu, tepat beberapa senti didepan wajahnya. Beberapa detik tercipta suasana hening disana. “Jika kau benar-benar mengayunkan pedang itu padaku, tidak akan ada yang bisa menolong nyawaku. Bahkan diriku sendiri belum tentu bisa untuk menghadangnya. Kecuali kau mengampuniku”, terlihat ekspresi tegang di raut mukanya. Sesekali ia melirik ke mata pedang yang tengah tertuju kearahnya.
“Mengampunimu? Apakah aku punya alasan untuk itu? apakah kau pantas untuk mendapatkan pengampunan dariku? Kau harusnya berpikir dua kali sebelum datang kemari”, tak pikir panjang, ayah menebas lehernya sampai putus. Sesaat setelah itu ia segera berlari ke tubuh ibu yang sudah tidak bernyawa lagi. Ia duduk berlutut sambil menompang tubuhnya. “Ayah, ada apa dengan ibu? Kenapa ia tak cepat bangun?”, rengek anak kecil itu. “Hiro, ayah masih disini untukmu. Semua akan baik-baik saja.” Suara tangisan putranya semakin menjadi-jadi dipelukan ayahnya. Perlahan, penglihatanku semakin lama semakin memburam. Lalu gelap semuanya.
“Hiro_kun? Daijoubu?”, terdengar suara Sato samar-samar. Ku buka kelopak mataku yang terpejam. Lalu aku segera mengangguk. “Hontou?”, tanyanya memastikan. “Tentu”, senyumku padanya. “Kalau begitu ayo masuk”, ajakan Sato langsung kurespon dan mengikutinya ke arah ruang keluarga. Terlihat piano kuno yang bercorak coklat dan hitam didekat perapian. Ukiran-ukiran dipermukaannya mirip dengan salah satu piano di istana. Serta piringan hitam yang terletak tak jauh dari piano itu. Kulihat pula ada tiga orang laki-laki disana. Salah seorang yang berdiri ditengah kira-kira berumur 50 tahun, dan dua orang lainnya sekitar umur 20-an. Mereka berpakaian sederhana dan menyambutku dengan ramah. Mereka juga membungkukkan badan tanda memberi salam padaku. Akupun membalas senyuman mereka. “Siapa mereka?”, bisikku pada Sato. “Mereka?”, ia seketika menghentikan langkahnya. Sato menatapku dengan tatapan aneh. “Ayolah Hiro, jangan bercanda. Disini tidak ada siapapun kecuali aku dan kau”, katanya. “Ssst, jangan membuat mereka tersinggung”, kataku sambil memukul lengannya pelan. Ia menghela nafas panjangnya lalu berkata, “Sungguh, kau mulai membuatku takut.”
*Hontou= Sungguh*