Seorang gadis cantik tengah termenung di balkon kamarnya, menatap kosong pemandangan indah yang tersuguhkan untuk ia lihat. Tak ada senyum di wajah gadis itu, yang ada hanya kulit seputih kapas, bibir Semerah darah, tatapan tajam, iris mata merah, hidung mancung dan keempat pasang taring yang terlihat saat ia menghela nafasnya. Ia adalah Ralissa Grace Houtman.
"Aku sangat bosan berada di sini." Gumamnya. Ia menangkup pipinya dengan kedua tangannya. Ia terlihat sangat bosan dan malas dengan kegiatannya saat ini.
Selang beberapa detik ia merasa ada yang mendekati kamarnya. Ia mulai mengendus-endus aroma yang semakin mendekat. Iris matanya berubah menjadi semakin pekat layaknya darah.
Ralissa berusaha dengan susah payah menahan hasratnya untuk tidak menerkam siapa saja yang akan melewati kamarnya. Ia memejamkan matanya ketika ia merasa orang itu sudah berada di depan kamarnya.
Aroma darah segar sudah tercium oleh indra pembaunya. "Oh Shit! I can't!" Umpat Ralissa.
Ia segera melesat ke pintu kamarnya dan membukanya, terlihatlah seorang maid yang sedang mengangkat tangannya seperti hendak mengetuk pintu kamar Ralissa.
"Maid baru rupanya. Pantas saja." Ucapnya menggumamkan namun didengar oleh maid itu.
"Tu-tuan put-" Belum selesai maid itu berucap Ralissa sudah menariknya masuk ke kamarnya. Tak lupa ia langsung menutup pintu kamarnya.
"Maaf, tapi aku tidak bisa menahannya lagi." Ucap Ralissa.
Maid itu tidak mengerti akan maksud dari ucapan Ralissa ia hanya bisa diam dan menunduk, takut dianggap lancang karena baru beberapa hari bekerja di kerajaan Vampire itu.
Ralissa menyeringai melihat maidnya menunduk. Dengan cepat ia menggigit leher maid itu dan menghisap darahnya dengan rakus.
'Rasanya lumayan. Bukankah begitu Claris?' Ucapnya bertanya pada jiwa wolfnya masih menyesap rasa darah yang memenuhi Indra pengecapnya.
Aku lebih suka kalau kau mengoyak dagingnya. Balas Claris dengan sadis.
"Dengan senang hati!" Ucap Ralissa mulai menggigit maid itu semakin dalam.
Maid itu sudah tak sadarkan diri sejak Ralissa menghisap darahnya rakus.
Ralissa mengusap bibirnya yang terdapat sisa darah dari maid itu. "Maid ini terlalu lemah untuk memberontak." Ucapnya menatap maid yang tampak mengenaskan tak bernyawa tanpa rasa iba di benaknya.
Setiap hari pasti ada yang mati ditangannya. Baik itu maid, para penjaga, atau vampire guard sekalipun pernah menjadi mangsanya. Karena itu, Ralissa memilih untuk berdiam diri di kamarnya. Mencoba untuk mengendalikan hasratnya untuk tidak tergoda oleh aroma darah yang selalu menjadi pemicu dirinya untuk menghisap darah dari si pemilik darah yang ia cium.
Tapi, sampai sekarang tidak ada perubahan. Bahkan ia pernah hampir menggigit ibunya yang mampir untuk menemuinya, beruntung ayahnya datang menghentikan dirinya yang sudah diluar kendali.
Ceklekk..
Suara pintu terbuka mengagetkan dirinya. 'Kenapa aku tidak bisa merasakan kehadirannya?' Batinnya melihat pintu mulai terbuka. Ia mulai waspada.
"Hai Ralissa." Sapa orang yang baru memasuki kamar Ralissa.
Seketika rasa lega menyelimuti hatinya melihat orang yang ada dihadapannya.
"Paman Theron!" Pekiknya senang lalu memeluk pamannya itu.
"Ah, kau membuat masalah lagi." Ucap Theron ketika melihat maid yang tergeletak di lantai kamar keponakannya itu.
"Ah, itu-" Ralissa menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Theron menggelengkan kepalanya menatap keponakannya yang masih belum bisa mengendalikan nafsunya. Ia pun mengarahkan tangannya pada maid yang tak bernyawa itu. Seketika tubuh maid itu menghilang.
"Entah apa yang terjadi padaku kalau aku tidak menggunakan sihirku sekarang." Ucap Theron.
"Mungkin sama seperti yang tadi." Balas Ralissa tanpa beban.
"Apa kau tak merasa iba?" Tanya Theron sambil melepas pelukan Ralissa. Ia tidak percaya kalau gadis yang masih 17 tahun itu membunuh lebih dari 10 orang setiap harinya.
"Tidak. Tapi, sudah ada kemajuannya." Jawab Ralissa.
"Sepertinya tidak." Balas Theron.
"Oh, ayolah paman! Yang tadi itu adalah yang pertama untuk hari ini." Ucap Ralissa mencoba membela diri.
"Bohong." Balas Theron tahu kalau keponakannya sedang berbohong padanya.
Ralissa mengerucutkan bibirnya. "Hmmm, baiklah aku jujur dia yang ketiga!" Jujur Ralissa.
"Sudah paman duga." Theron menarik tangan Ralissa menuju balkon kamar keponakannya itu.