Tika membiarkan Profesor Arga dan Komandan Jonathan melakukan diplomasi, dan memilih untuk mengamati sekitarnya.
Avamar merupakan seorang Anur Arta, seperti Varka. Tubuhnya langsing dan kulitnya biru gelap seperti lautan yang dalam. Rambutnya yang hitam keunguan dihiasi oleh batu-batu gemerlap yang membuatnya terlihat seperti langit malam bertabur bintang. Ia mengenakan gaun putih panjang yang anggun.
Di sisi Tika, si kembar Bayu dan Indah berdiri. Namun sementara Indah terlihat bosan dengan basa-basi yang berlangsung, Bayu memandang Avamar dengan mulut setengah ternganga. Pada akhirnya, Indah menyikut Bayu dan Bayu pun menunduk malu.
Varka berdiri di sisi lain Tika. Posturnya sigap, seperti seorang tentara, dan Tika berusaha keras untuk tidak memandangi lengannya yang berotot. Namun tampaknya Varka menyadari pandangan Tika. Ia pun menoleh ke arahnya dan memberikan senyuman yang membuat jantung Tika berdebar-debar. Tika membalas senyumannya dengan gugup sebelum mengalihkan perhatiannya kembali ke arah Komandan Jonathan dan Profesor Arga. Kendati demikian, ia dapat merasakan wajahnya menjadi merah merona.
Basa-basi pun selesai tidak lama kemudian. Avamar membawa mereka menuju ke ruangan sebelah, dimana sebuah gerbong kereta berbentuk kapsul telah menunggu mereka. Tika dan rekan-rekannya memasuki gerbong tersebut, disusul oleh Avamar, Varka, dan para Anur Arta lainnya. Setelah mereka semua duduk, gerbong kereta itu pun mulai melaju cepat.
Sama seperti pesawat yang membawa mereka ke Velrakis, dinding gerbong kereta mendadak menjadi transparan. Kali ini, Tika dan rekan-rekannya telah siap oleh perubahan ini dan mereka menggunakan kesempatan ini untuk menikmati pemandangan di luar gerbong.
Di luar, Tika dapat melihat padang bersalju yang luar biasa luasnya, ia hampir tidak percaya semua ini berada di dalam sebuah kapal induk.
“Ini adalah Tlaki’i Pata’li, padang bersalju luas yang dirancang sedemikian rupa agar mirip dengan biosfer planet es bersalju, yang merupakan tempat tinggal kaum Jotnar dan kaum Loria”, Avamar menjelaskan. “Di sebelah kiri, Anda sekalian dapat melihat kota tempat tinggal kaum Loria, yang telah kehilangan planet mereka sembilan ribu tahun yang lalu.”
Kota tempat tinggal kaum Loria sangatlah indah, dengan menara-menara transparan yang menjulang tinggi, seperti diukir dari es murni. Jembatan-jembatan melengkung yang sama transparannya menghubungkan menara-menara tersebut, dan bangunan-bangunan seperti kristal berderet di kaki-kaki menara. Pesawat-pesawat kecil terbang berseliweran seperti lebah yang sibuk di antaranya. Di jalan-jalannya, Tika dapat melihat kaum Loria berjalan lalu-lalang.
Kaum Loria tampak mirip seperti kucing berwarna putih bersih bagaikan bola salju dan berbulu tebal. Beberapa dari mereka memiliki corak merah yang menghiasi dahi, telinga, atau ekor mereka. Mereka mengenakan ponco warna-warni berhiaskan manik-manik yang membentuk pola-pola geometris indah. Beberapa dari mereka, khususnya anak-anak, menoleh ke arah kereta yang melaju dan melambaikan tangan mereka sambil tersenyum ceria.
Sulit rasanya membayangkan kaum ini telah kehilangan planet mereka sembilan ribu tahun yang lalu. Pun sulit membayangkan bagaimana rasanya tinggal di dalam pesawat luar angkasa bergenerasi-generasi lamanya. Sembilan ribu tahun yang lalu, umat manusia bahkan belum memiliki moda transportasi modern, apalagi yang dapat membawa mereka melintasi galaksi-galaksi.
Kota kaum Loria pun berakhir dan mereka menuju ke daerah pegunungan dimana rumah-rumah seperti diukir di permukaan tebingnya yang terjal.
“Kota tempat tinggal kaum Jotnar”, Avamar berkata. “Mereka kehilangan planet mereka seratus tahun yang lalu akibat perang nuklir. Sangat disayangkan, kami hanya dapat menyelamatkan lima puluh dari kaum mereka.”
Kaum Jotnar berkulit biru, sama seperti kaum Anur Arta, namun mereka tidak bisa lebih berbeda dari kaum Anur Arta. Tidak seperti kaum Anur Arta, kaum Jotnar sangatlah besar, kira-kira lima meter tingginya, dengan mata merah menyala seperti lava. Kulit mereka ditandai oleh pola geometris yang rumit dan berwarna biru muda, dan kepala mereka dihiasi tanduk spiral mirip kambing gunung. Beberapa dari mereka memiliki tanduk yang luar biasa besar sehingga kelihatannya kepala mereka tiga kali lebih besar dari ukuran normal.
Sama seperti kaum Loria, beberapa kaum Jotnar menoleh dan melambaikan tangan mereka ke arah kereta yang melaju.
“Apa semua kaum yang tinggal di Velrakis telah kehilangan planet mereka?” tanya Profesor Ratri ketika kereta yang membawa mereka melesat memasuki sebuah terowongan.
“Kebanyakan memang seperti itu”, Avamar menjawab. “Pada mulanya, Kapal Induk Velrakis memang dibangun sebagai kapal evakuasi milik kami, kaum Anur Arta, setelah planet kami dihancurkan oleh kaum Ursii lebih dari sepuluh ribu tahun yang lalu.”