Seperti yang kalian sudah ketahui, di ceritaku yang sebelumnya. Bahwa aku sempat divonis kemungkinan sulit selamat oleh dua orang Dokter.
Namun, Tuhan benar-benar memberikan keajaiban pertamanya padaku, memberiku kehidupan hingga usia ketiga, agar aku bisa dioperasi dan merasakan bagaimana indahnya menjalani dunia anak-anak, seperti teman-temanku yang lain.
Sakit yang kuderita sejak tiga tahun, membuatku sulit bernapas dan beraktifitas tanpa beban, sebab menurut orang, aku anak yang sangat aktif.
Aku tak bisa ikut berlarian dengan gembira bersama mereka, sebab aku akan mudah sesak napas jika aku melakukannya. Kelainan jantungku juga menyebabkan aku jadi tak punya napsu makan seperti anak lain, inilah alasannya tubuhku jadi sangat kurus, tampak seperti hanya berisi tulang dan kulit saja. Sehingga hal itu dikhawatirkan kedua orang tuaku.
Tiba sehari sebelum operasi, aku mendapatkan kamar rawat inap kelas satu yang kebetulan di kamar tersebut terdapat satu pasien kelainan jantung yang lain.
Walau saat itu aku masih berumur tiga tahun, tapi rasa-rasanya aku cukup ingat soal anak itu, dia adalah anak laki-laki yang usianya mungkin lebih tua setahun dariku.
Mungkin keluhan penyakitnya tak jauh beda denganku. Dan kebetulan, anak itu baru selesai dioperasi dua hari lalu. Aku yang baru dijadwalkan operasi besok pagi, di ranjang rumah sakit dengan infus terpasang duduk memerhatikan anak lelaki yang tampak tidur dengan dada yang masih diplester perban.
Sambil berpikir, "Apakah nanti, aku juga akan seperti dia jika sudah dioperasi? Apakah nanti akan terasa sakit?" tanyaku dalam hati.
Sudah dua setengah hari aku dirawat rumah sakit. Sempat kudengar desas-desus dari Abi dan Umiku saat sedang menungguiku, Dokter yang harusnya lebih cepat menanganiku untuk operasi justru sedang tak ada di tempat. Maka itu, operasi tertunda sampai Dokternya tiba.
Dokter tersebut katanya sedang ada dinas di Singapura. Dan akan kembali ke Indonesia lusa.
"Gak apa, yaa, kalau Neng Fay nunggu sehari lagi? Dokternya belum datang," kata Umiku memberitahu seraya menyelipkan rambut kriwil pendekku ke belakang telinga. Dan aku hanya bisa mengangguk pasrah.
***
Gelap...
Aku bangun dengan kepala berputar, dan langit-langit tampak bergulir di atasku. Aku juga mendengar langkah-langkah kaki seakan tergesa, berbarengan dengan bunyi derit roda di lantai.
Aku menoleh kecil ke sebelah kanan, wajah lelah Umiku tampak jelas dengan sisa air mata masih menggelayut di bulu mata dan pipinya.