VAY

Zulfara Wirawan
Chapter #4

Awan

Sama seperti namanya, Abiku bagai awan yang bertakhta tinggi di angkasa. Ia pernah mengingatkanku untuk selalu menatap ke atas, mengejar mimpi setinggi langit. Seperti awan yang melayang-layang di sana, Abiku memberi petuah supaya aku bisa memiliki kebebasan agar jangan pernah malu dan kecil hati menunjukkan hal favorit yang aku banggakan untuk kucapai.

Tapi bagaimana bisa? Aku mungkin punya banyak hal yang bisa kutunjukan pada semua orang, tetapi hal favorit yang bisa kubanggakan hanyalah Abiku seorang. Dan kini, aku tak bisa melakukannya sebab Abi sudah tiada.

Hari ini, tepat satu bulan setelah kepergian Abi. Dan aku, sudah waktunya masuk SD. Hari ini adalah hari pertamaku sekolah. Di suasana pagi yang sembilu itu, aku hanya bisa menatapi pantulan diriku di cermin dengan seragam putih dan merah baru yang sudah kupakai.

Di balik tatapanku yang mengarah pada pantulan seragam baruku, aku kembali mengingat bagaimana senyum bahagianya Abiku ketika melihat sureprise yang kuberikan waktu kupakai seragam baru ini.

Ada rasa bangga dan terharu tampak menghiasi wajahnya kala itu. Aku tak berdaya lagi sekarang, rasanya hampir sama seperti saat aku tergeletak beberapa minggu di atas kasur rumah sakit dengan keadaan terlungkup usai operasi dulu, tapi kali ini rasanya lebih sakit, dulu aku bisa tahu alasannya mengapa aku tak berdaya dan merasakan sakit, tapi sekarang? Aku sendiri tak tahu bagaimana wujud rasa sakit itu, sebab rasa sakit ini sungguh hebat melebihi sakit dari yang waktu itu aku rasakan.

Aku kemudian menundukkan kepalaku dalam-dalam, sebab aku mulai merasakan gumpalan kekecewaan dan rasa marah dari perut sampai merangsek ke dadaku. Sehingga membuat mataku mengeluarkan air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Rasanya saat itu sang pilu memelukku begitu erat sehingga menyesakkan.

"Abi sudah janji akan mengantarku ke sekolah di hari pertama. Tapi kenapa abi enggak mau menepati janji dan malah pergi duluan?"

Bisikku sambil menahan sesak yang menyelimuti dadaku, aku berusaha menahan suaraku agar Umi dan kerabat lain di luar tak mendengar tangisku.

Kepergiannya bagaikan gempa bumi yang mengguncang seluruh hidupku. Langit seakan runtuh di atas kepala dan meniban tubuhku sehingga aku tak bisa bergerak. Tiba-tiba semua terasa rapuh dan tak ada artinya lagi. Bagaimana aku tanpa Abiku? Apakah akan seperti kapal tanpa nahkoda, terombang-ambing di lautan sedu?

Bahkan di hari pertama sekolah, dukacita masih menyelimutiku meski sudah lewat satu bulan usai kepergiannya.

Pertanyaan-pertanyaan di dalam otakku hingga sekarang tak henti-hentinya berkeliaran. Mengapa harus Abiku? Mengapa Abiku yang pergi begitu cepat? Mengapa bukan orang lain yang mengalami semua penderitaan ini? Mengapa harus aku?

Begitulah pertanyaan yang sering berseru-seru dalam kepalaku. Sungguh berisik dan mereka tak dapat senyap barang sedetik saja.

Semenjak Abiku meninggal, Umiku sering melamun, bahkan tak jarang ia suka menangis tiba-tiba dalam lamunannya, Umi juga kadang tampak dingin dan skeptis ketika adikku Fawza yang saat itu masih bayi meronta-ronta, menangis ingin digendong, entah lapar, entah mengantuk dan sebagainya. Ia hanya diam dan menatap lurus dengan tatapan kosongnya, dan lingkaran hitam di bawah mata yang tampak makin jelas kian hari berganti.

Beruntung, di rumah ada Kakek, Nenek dan beberapa kerabat Kakek dan Nenek sementara menginap di rumah untuk membantu merawatku dan Fawza, sebab mereka paham bagaimana kondisi Umi setelah Abi meninggal.

Aku tahu, mungkin Umi seperti kehilangan separuh napas dan hidupnya, tentu saja.

Seperti layaknya tulang rusuk kehilangan tulang punggung yang mampu menyokong seluruh tubuh. Ia seakan tak berarti apa-apa tanpa tulang punggungnya itu. Rupanya di sini, sudah jelas tak hanya aku saja yang terpukul atas kepergian Abi.

Lihat selengkapnya