VAY

Zulfara Wirawan
Chapter #5

Dua-tiga

"Assalamu'alaikum, Teh?"

"Jadi gimana, Mi, rapatnya?" tanyaku sekonyong-konyong pada Umi yang baru saja pulang dari sekolahanku. Dengan senyum semringah penuh rasa penasaran.

Hari ini adalah hari terakhir aku libur kenaikan kelas. Sebelum liburan, pihak sekolah sudah memberikan ultimatum kepada semua siswa kelas satu yang akan naik kelas dua dengan surat edaran untuk mengundang para wali murid agar hadir dalam rapat besar yang akan mereka selenggarakan, ya. Dan itu adalah tepat hari ini.

"Lho, Uminya pulang, bukannya disambut dan dijawab salam malah langsung ditanya-tanya," ledeknya padaku yang hanya mesem kecil.

Aku baru ingat itu. "Maaf, lupa, Mi. Saking senangnya aku mau naik kelas dua. Wa'alaikum salam," kataku membalas salam yang baru kuingat belakangan.

Umi hanya tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya. "Yasudah, bikinin Umi teh manis, ya? Umi habis ini mau kerjakan laporan untuk kantor dulu."

Aku hanya mengangguk setelah Umiku sempat mengusap kepalaku dan berlalu ke kamar.

Sesuai perintah Umiku, aku bergegas ke dapur dan membuatkan teh manis dingin kesukaannya. Minuman favorit Umiku sejak dulu memang teh manis, apalagi kalau dikasih pandan dan sedikit jahe. Oh iya, aku belum ceritakan sama kalian.

Finansial keluarga kami mulai kembali stabil ketika Umi mulai bekerja lagi, tidak main-main, sekalinya dapat pekerjaan, Umiku menjabat sebagai Kepala Manager di perusahaan milik Koko Bertrand. Sudah hampir empat tahun Umiku bekerja di perusahaan Koko Bertrand setelah mereka bertemu di salah satu pesta teman lama mereka.

Besok, hari minggu Umi janji mau ajak aku dan Fawza untuk pergi menbeli perlengkapan sekolah yang baru. Fawza sendiri saat ini juga akan naik ke kelas dua sekolah dasar.

Sejak Abiku meninggal dan Fawza beranjak dewasa, aku mulai dipanggil Teteh oleh Umiku, sedangkan panggilan Fawza di rumah adalah Aa. Itu karena Abiku adalah orang sunda asli yang memiliki keturunan darah biru di leluhurnya, akan tetapi walau Abiku berasal dari keluarga berada, Umi tetap berusaha kerja keras tanpa meminta bantuan sepeserpun pada keluarga Abi.

"Teh,"

"Ya, Mi?"

Aku sedang membereskan gelas bekas teh yang diminum Umi dan piring camilan kami beberapa waktu tadi.

"Teteh kan sekarang sudah kelas dua SMP. Umi cuma mau ngingetin, jangan genit-genit ya di sekolah? Kalo bisa jangan pacar-pacaran. Nanti aja, itu mah ada waktunya. Fokus sekolah dulu, belajar yang bener. Jadi contoh yang baik buat Fawza."

Aku cuma menunduk sambil mengangguk kecil atas ucapan Umiku.

"Ngerti, kan? Jaman sekarang itu mulai edan. Umi liat di berita tuh, anak-anak SMP pada bikin video-video enggak semestinya, ada yang jadi simpanan om-om, berbuat enggak senonoh sampe hamil. Nauzubillah, jangan sampe deh anak Umi kayak gitu," cerocosnya akhirnya membuatku membuka suara.

"Umi emang enggak percaya sama Teteh? Teteh bisa jaga diri, dan tahu mana yang boleh Teteh lakukan dan mana yang enggak. Lagian, belum kepikiran juga pacaran. Cowok-cowok di sekolah Teteh enggak ada yang menarik," jawabku sambil mengangkat tumpukan barang pecah belah di tangan, lalu kulirik Umiku.

Tanpa disadari, Umi tampak senyum kecil di bibir, membuatku juga akhirnya menyinggungkan senyum sehingga senyuman Umi kini tampak melebar dan terlihat jelas. Dan akhirnya kami berdua tertawa bersama-sama.

"Sudah, sana taruh dulu piringnya di belakang. Besok biar dicuci sama mbak," katanya.

Aku hanya mengangguk dan kembali ke dapur untuk membawa piring beserta gelas ke wastafel cuci piring.

***

Aku merasa sedih pada hari itu. Sungguh, aku sangat terpukul. Kami bertiga menangis tersedu-sedu, sambil berpelukan melingkar.

"Kalian kenapa pada nangis begitu?" tanya seorang teman sekelas kami yang memang kadang suka tengil, Zac.

"Ngapain, sih, lo di sini?" ujar sahabatku Dwi.

"Dih? Aneh, ya gue lewatlah, mau ke kantin."

"Yaudah sana kalau mau lewat ya lewat aja. Enggak usah peduliin kita!" Niar ikut ngomel pada Zac walau air mata masih menempel di pipinya.

Aku yang masih terisak juga ikut mendongakkan kepala dan menatap Zac dengan sebal. "Lo cuma mau ngeledekin kita kan, Zac? Dasar cowok! Bisanya cuma bisa ngeremehin rasa emosionalnya cewek."

Kami bertiga tampak melihat Zac menghelakan napas dengan tatapan bosan pada kami. "Jangan bilang kalian nangis karena pengumuman acak kelas?" sambernya lagi.

Sejak tadi, memang itu yang sedang kami lakukan. Kami menangisi perpisahan kelas salah satu di antara kami bertiga. Dwi, si paling pintar dan mungil antara aku dan Niar. Meski aku juga terbilang mungil alias pendek, tetapi dibanding aku, Dwi lebih mungil lagi. Sebab, hanya aku dan Niar yang akan kembali bersama-sama di kelas baru nanti. Sementara Dwi harus pindah ke kelas dua yang lain. Napas kami bertiga masih tersendat-sendat.

"Ngapain masih di sini? Pergi sana," usir Niar yang memang terkenal lebih ceplas-ceplos dan tomboi di antara aku dan Dwi.

"Huh ... dasar cewek." Zac tampak melengos sambil menggeleng heran melihat tingkah kami yang menurutnya 'lebay'.

Lihat selengkapnya