Benar seperti dugaanku, perang dingin dua kubu antara Atin dan Niar terjadi. Aku dan Pita jadi harus memilih sebelah pihak hanya untuk pergi ke kantin.
"Gue up stand deh kalau kayak gini. Nanti ke kantin pergi sendiri-sendiri aja."
Tulisku pada secarik kertas yang kusobek, dan kuberi pada Pita dengan cara kuselundup dari bawah meja ke tengah kursinya. Pita segera mengambil kertas itu, dia hanya memberikan kode 'ok' pada jarinya usai membaca kertas sobekanku.
Kini sisa tinggal dua puluh menit lagi jam pelajaran ketiga akan selesai dan waktunya kita akan istirahat.
Tak terasa bel pun berbunyi setelah lewat dua puluh menit. "Jangan lupa, ya? PR dikerjakan di rumah, tidak di sekolah. Lusa harus sudah selesai dan kita bahas bersama-sama di kelas."
"Baik, Pak," jawab kami serentak.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."
Guru kami segera berlalu setelah mendengar jawaban salam kami yang serentak. Aku kembali menghela napas karena takut perang dingin ini justru akan memanas seperti tadi pagi. Tetapi aku harus menghadapi mereka, karena mereka kedua sahabatku.
Aku sibuk menutup buku pelajaran barusan dan kumasukkan ke dalam tas supaya mejaku tak berantakan.
"Fay." Seketika kudengar dua suara bersamaan memanggil namaku.
Aku mendongak menatap Niar yang sudah berdiri di dekat meja kami, begitu juga halnya dengan Atin di tempat duduknya. Kutatap mereka berdua bergantian. Niar melirik Atin dengan sinis, tentu Atin juga membalasnya.
"Pita, ayo ke kantin sama gue."
Karena aku tak menjawab ajakan Niar, jadi Niar mengajak Pita. "Okay." Pita segera beranjak.
Sementara Atin masih di sana, mulai mau bertanya lagi padaku setelah Niar dan Pita sudah meninggalkan kelas.
"Fay, mau ke kantin, enggak?" tanyanya.
Tadinya, aku tak mau memihak salah satu, supaya mereka sama-sama berpikir, tetapi sepertinya mereka sendiri yang punya pilihan mau ke kantin sama siapa. Akhirnya, mau tak mau kuanggukkan kepalaku dengan samar. "Ayok, tapi gue ke toilet dulu, ya?"
Atin mengangguk. Karena Atin juga sahabatku, sama seperti Niar. Maka aku tak mungkin menolak ajakannya.
Saat kami baru saja melewati ambang pintu kelas, namaku lagi-lagi dipanggil seseorang dari kejauhan. "Fay!"