VAY

Zulfara Wirawan
Chapter #9

Gara-gara Kecap

Semenjak tiga hari lalu, setelah Niar memutuskan untuk meminta kita semua datang ke sekolah lebih pagi, akhirnya, mau tak mau, aku sudah siap-siap pada jam delapan. Padahal kalau mengikuti jadwal jam masuk sebenarnya sih harusnya aku masih tidur, atau kalau pun sudah bangun, pastinya aku lebih memilih untuk bersantai-santai di rumah.

Jarak antara sekolah dan rumahku sebenarnya tak jauh-jauh amat. Lumayan, deh. Cuma karena jalan menuju sekolahku melewati perempatan krusial sebelum masuk gapura perkampungan, aku harus cukup effort kalau berangkat sekolah pagi agar tidak terlambat, karena pasti akan sangat macet. Belum lagi sekitar beberapa ratus meter dari gapura sekolahku, terdapat sekolah swasta lain yang cukup terkenal dan memiliki cabang di mana-mana.

Untungnya, di kelas dua ini aku masuk siang, namun meski begitu, saat ini aku sedang ada misi bersama para sahabatku, mencaritahu ... ah, tidak. Membuat Yugie menyadari keberadaan kami.

Aku tahu, aku tahu kalian akan berpikir kalau hal itu tidak ada gunanya, dan apa masalahnya kalau kakak kelas kita tak pernah menyadari keberadaan kita? Kita tentu baik saja. Masalahnya, saat umur kami masih semuda itu, bagaimana kami bisa berpikir yang lain selain mementingkan gengsi dan ego yang muncul ketika pubertas.

Namanya juga anak-anak SMP yang memiliki rasa ingin tahu melebihi apa pun, rasa gengsi yang mulai timbul, masa-masa di mana kita semua masih berusaha mencari jati diri dan mulai menemukan hal-hal unik lain, misalnya persahabatan yang hampir seperti saudara dan itu belum bisa kita temukan saat di sekolah dasar, atau awal mulanya merasakan jatuh cinta? Menyukai seseorang secara diam-diam, memerhatikannya dari kejauhan meski dalam hati ingin sekali mendekati dan berbincang.

Seperti halnya Niar pada Yugie, atau bahkan Jamas si penggemar rahasiaku yang pernah mengirimiku surat dan aku tak tahu bagaimana rupa yang katanya dia 'Ketua Osis' di sekolah.

Seperti biasa, aku sampai di sekolah menggunakan ojek langganan yang dibayar perbulan oleh Umi untuk mengantarku.

"Makasih, Pak," ucapku saat turun dari motor dan mengembalikan helm bapak ojek.

Kakiku mulai melangkah beberapa meter memasuki gerbang sekolah. Dan di sanalah Pak Ismet dengan secangkir kopi di pagi hari, tersenyum ramah nan semringah, aku segera menyapanya.

"Pagi, Pak Ismet."

"Pagi, Non," jawabnya kemudian ia menyeruput kopi dari gelasnya. "Ngopi dulu, Non."

"Pak Ismet kalau pagi memang sering ngopi, ya?" tanyaku basa-basi.

Pak Ismet pun mengangguk. "Iya, Non. Buat nambah mood. Kalau pagi tuh kan sekalian ngatur lalu lintas, tahu sendiri, kan, gimana repot dan ribetnya kalau anak-anak kelas satu yang baru-baru itu masih banyak yang diantar langsung sama ortunya, belom lagi kalau angkot lewat," jelasnya panjang lebar seraya berkeluh kesah. FYI, sekolahku memang terkenal memiliki rute panjang yang bisa menghubungkan kecamatan ke daerah Ciledug dan Regensi, jadi selalu dilalui oleh angkutan umum.

Aku hanya terkekeh kecil. "Iya, sih. Pasti capek banget, ya, Pak?"

"Beuh, bukan capek lagi, Non. Pegel, kadang sampai perih nih mata gara-gara keseringan kena semburan knalpot mobil dan motor."

"Yah, kalau begini keadaannya, sih ... saya cuma bisa bilang 'sabar, ya, Pak. Resiko jadi sekuriti', tapi omong-omong, Pak Ismet sudah sarapan belum?" tanyaku seketika.

Pak Ismet kemudian nyengir malu sambil berusaha menunduk menyembunyikan wajahnya yang merona. Ia kemudian menggelengkan kepala. "Belum, Non. Kebetulan belum gajian, ini aja kopi boleh kasbon di kantin," jawabnya dengan jujur.

Aku tertawa kecil mendengar jawaban Pak Ismet. Kebetulan di seberang sekolah, kalau pagi masih suka ada yang jualan nasi uduk, jadi aku rasa, tak ada salahnya membelikan Pak Ismet sarapan biar kerjanya lebih semangat.

"Kalau gitu, aku traktir pesan nasi uduk, ya, buat Pak Ismet."

"Eh, nanti ngerepotin, Non. Enggak usah. Non kan juga perlu jajan sampe sore nanti," katanya dengan iba padaku.

"Ah, enggak usah dipikirin. Tenang aja. Pak Ismet kayak sama siapa aja. Tunggu, ya." Aku segera berlari kecil keluar gerbang sekolah dan menyeberang untuk memesankan nasi uduk paket lengkap untuk Pak Ismet dengan extra telur dadar, beserta dua buah gorengan untuk makanan pendamping dan tak lupa teh hangatnya.

"Nanti minta tolong antar ke Pak Ismet ya, Bu," pintaku. "Makasih."

Usai memesankan satu porsi nasi uduk untuk Pak Ismet, aku kembali masuk ke halaman sekolah.

"Pak, sudah, ya. Nanti diantar sama yang jual."

"Ya ampun, Non. Makasih banyak, biar lancar terus rejekinya ya, Non?"

Aku terharu melihat Pak Ismet mengucapkan terima kasih dengan sedikit genangan air mata yang tampak pada matanya saat memandangku. "Sama-sama, santai aja, Pak. Kalau aku sama Niar lagi di sini juga kan kadang Pak Ismet suka nawarin kita gorengan dan makan bareng. Tapi, omong-omong, Niar sudah datang belum, ya?"

"Belum, Non. Soalnya saya belum lihat."

***

Lihat selengkapnya