VAY

Zulfara Wirawan
Chapter #11

Tiba-tiba Detektif

Sony. Nama Kakak kacamata teman sekelasnya Kak Yugie yang mirip Harry Potter, bernama Sony, bedanya dengan si Harry Potter; Sony memiliki kulit sawo matang khas lelaki Indonesia pada umumnya alih-alih seputih Harry atau bahkan Kak Yugie. Dia memang manis, apalagi saat tersenyum.

Aku baru tahu rumah Sony ternyata tak jauh dari sekolah. Hanya sekitar tiga ratus meter jalan kaki ke sebuah gang kecil, dan masuk sedikit melewati dua rumah, di sanalah rumahnya. Aku tahu ini, sebab aku pernah melihat Sony saat istirahat mampir ke kantin dengan baju bebas, ia saat itu menggunakan kemeja flanel kotak-kotak hitam yang tak dikancing dengan dalaman kaus polos putih, celana jeans agak sobek-sobek, dan sepatu Adidus. Kebetulan hari itu aku sudah ada janji ke TU sekolah sebelum pulang sekolah, sebab aku ingin membicarakan tentang uang pangkal gedung sekolah yang mau kulunasi sesuai pesan Umiku. Jadi hari itu, tentu saja aku tak bisa pulang bareng seperti biasa bersama Niar dan Atin. Baru saja aku selesai dari ruangan TU, aku kembali melihat Sony baru keluar dari gerbang sekolah. Entah apa yang ia lakukan di sore hari itu, di luar jam sekolahnya ia berkeliaran di lingkungan sekolah dengan baju modis selain seragam. Aku hanya mengernyit, dan Pak Ismet sempat mengagetkanku. Akhirnya kutanyakanlah padanya. "Pak, tadi lihat ada anak kelas tiga masuk sini pake baju bebas enggak, sih? Barusan kayaknya dia keluar gerbang," kataku usai menenangkan diri karena dikagetkan Pak Ismet.

Pak Ismet malah terkekeh, ia pun menjawab, "Jadi yang bener yang mana, Non? Dianya masuk apa keluar?"

Aku ikut terkekeh saat baru sadar dengan kekontradiktifan pertanyaanku dalam satu kalimat tadi. "Eh, maksudku. Tadi kayaknya ada kakak kelas yang masuk sini pakai baju bebas, tapi tadi kayaknya dia sudah keluar gerbang lagi, Pak," ralatku cepat-cepat.

"Oh, si Sony?"

Pak Ismet kenal Sony?

"Bapak kenal?" tanyaku segera.

Pak Ismet pun mengangguk. "Ya kenal, Non. Orang tetangga saya. Dia mah rumahnya deket, tuh di situ. Di gang Ceri," kata Pak Ismet sambil menunjuk ke utara dengan dagunya seolah menunjukkan arah rumah Sony.

"Gang Ceri?"

"Iya, Non. Akamsi dia. Mungkin tadi ke sini ada urusan sama encingnya. Yang dagang warung di kantin. Itu kan encingnya dia," jelas Pak Ismet lagi dengan logat betawi yang kental seperti biasanya.

"Warung ibu kantin yang juga suka jualan nasgor itu, Pak?"

"Iya, Non. Itu encingnya si Sony. Lah tetangga saya semua itu mah. Kecuali kang bubur si Ujang. Anak rantau dari Cilacap kalau dia."

Aku samar-samar mengangguk-anggukkan kepala. Dan seketika jadi punya ide untuk mencoba "survey" langsung ke Gang Ceri yang tak begitu jauh dari sekolah, di mana rumah Sony berada.

"Yasudah, Pak Ismet. Kalau gitu aku pamit pulang, ya?"

Meskipun Pak Ismet hanyalah seorang satpam sekolah, tetapi, aku, Niar dan Atin selalu menghormati Pak Ismet dengan mencium tangannya kalau kita pamit habis mengobrol, sebab beliau orang tua. Dan menurut Pak Ismet, hanya kita bertigalah yang tak malu melakukan hal itu.

"Hati-hati ya, Non. Mau dipanggilin ojek?" tawarnya membuatku tergelak kecil.

Lihat selengkapnya